Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Lebih Baik

Sabtu, 14 November 2009

Media Dituding Rugikan Perempuan

JURnaL - Media massa dituding merugikan perempuan. Selain mengeksploitasi perempuan, media massa juga dinilai belum berpihak pada gerakan-gerakan jender.

Pernyataan ini diungkapkan peserta diskusi tentang etika jurnalistik dan kontrol publik yang dilaksanakan, Jumat (13/11/2009) petang di Ruang Pertemuan YLP2EM, Parepare, Sulwesi Selatan.

Diskusi yang diikuti utusan dari organisasi masyrakat sipil (OMS) dan jurnalis ini digelar JURnaL Celebes bekerja sama dengan Yayasan Tifa.

Peserta dari People Care menyatakan, berita tentang gerakan eksisntensi perempuan jarang dipublikasikan media massa. Kalaupun terpubliksi, itu hanya berupa berita pendek dan dimuat di pojok-pojok halaman surat kabar.

Sebaliknya, jika ada peristiwa yang menyangkut perempuan, media justru membesar-besarkan informasi iu, bahkan jika seorang public figure, media massa selalu mengeksploitasi . Dalam kasus-kasus tertentu, misalnya perceraian dan poligami, media dianggap melakukan diskriminasi terhadap perempuan.

Karena itu, OMS peduli perempuan di Parepare berharap, dalam upaya menegakkan etika, media massa atau jurnalis tidak mendiskriminasi kaum perempuan. Mereka juga meminta media agar tidak menyepelekan isu-isu tentang perempuan.

Pada diskusi serupa yang digelar di Palopo, Kamis (12/11/2009), peserta menilai saat ini media massa cenderung mengutamakan aspek bisnis dan keinginan pemilik modal. Hal ini kemudian mempengaruhi orientasi media massa yang kadang mengabaikan kepentingan pembaca, etika jurnalistik , dan idealism.

Peserta diskusi di Parepare maupun di Palopo menilai banyak media massa tidak professional dengan memproduk wartawan yang tidak professional. Fenomena ini sulit diatasi, karena di satu sisi wartawan sebagian wartawan berproses kea rah professional, sementara di sisi lain ada sebagian wartawan yang justru hanya memanfaatkan profesi untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan kepentingan tertentu. (m)

OMS di Palopo dan Parepare Bentuk Forum Pemantau Media

JURnaL - Sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil (OMS) di Kota Palopo dan Kota Parepare, Sulawesi Selatan sepakat membentuk forum pemantau media. Kesepakatan ini dicapai setelah melakukan diskusi regular tentang kode etik jurnalistik dan kontrol publik yang digelar JURnaL Celebes di kedua kota tersebut.

Diskusi tematik ini merupakan bagian dari inisiatif pengembangan koalisi organisasi masyarakat sipil pemantau media sebagai strategi peningkatan kualitas jurnalistik dan media di Sulawesi Selatan kerjasama JURnaL Celebes dan Yayasan Tifa.

Diskusi di Palopo yang digelar, Kamis (12/11/2009) membuahkan kesepakatan 18 OMS membantuk koalisi untuk memantau media. Mereka juga menetapkan Iqbal dari Yayasan Wallacea dan Rahmat Nugraha dari BEM STAIN Palopo yang akan mewakili forum tersebut bersama koalisi dari Parepare dan Makassar pada kegiatan menggagas koalisi tingkat provinsi sekaligus mengikuti workshop pemantauan media (media watch).

Sedangkan forum pemantau media di Parepare disepakati usai diskusi regular pada Jumat (13/11/2009) dari 16 OMS. Koalisi ini merupakan bagian forum yang digagas sebelumnya oleh OMS di Parepare yang diberi nama Ruang atau Forum Warga. Ruang nantinya akan merekomendasi dua orang yang mewakili OMS di Parepare dalam kegiatan menggagas koalisi level provinsi dan workshop media watch yang rencananya digelar, Sabtu (21/11/2009) di Makassar.

Sebagai proses pembelajaran tahap awal , tim koalisi OMS dari Makassar, Parepare, dan Palopo yang telah mengikuti workshop pemantau media, akan melakukan praktik pemantauan media selama enam bulan. Media partisipan yang akan dipantau masing-masing Harian Fajar, Harian Tribun Timur, Harian Seputar Indonesia Sulawesi Selatan, Harian Ujungpandang Ekspress, Harian Berita Kota Makassar, Harian Pare Pos, dan Harian Palopo Pos.

Setiap tiga bulan, tim pemantau berjumlah 10 orang ini akan mengekspos hasil pemantauan dalam sebuah diskusi publik dengan melibatkan berbagai pihak. Selain itu, hasil pemantauan juga akan dikrim ke media partisipan untuk menjadi bahan evaluasi internal media masing-masing.

Pada enam bulan pemantauan, tim pemantau dari OMS kembali merekapitulasi hasil pemantauan, dan nantinya mengumumkan media partisipan yang melakukan praktik jurnalistik terbaik dalam penegakkan etika jurnalistik. (m)

Senin, 09 November 2009

Pemerintah Masih Diskriminasi Radio Komunitas

JURnaL - Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan, Aswar Hasan menilai, pemerintah masih mendiskriminasi radio komunitas. Pemerintah masih memandang sebelah mata radio komunitas jika dibandingkan perlakukan terhadap radio siaran swasta. Padahal, radio komunitas selama ini justru menjalankan peran yang seharusnya menjadi kewajiban pmerintah.

Pernyataan ini dikemukakan Aswar Hasan saat menyampaikan materi dalam seminar dan workshop peranan media komunitas dalam penguatan masyarakat sipil, dilaksanakan JURnaL Celebes, di Hotel Bumi Asih, Sabtu (7/11/2009), Makassar, Sulawesi Selatan.

Berbicara pada kegiatan JURnaL Celebes yang dibantu Kedutaan Besar Amerika Serikat ini, Aswar menyatakan, karena tidak memberi perhatian, pemerintah tidak membantu pengelolaan radio komunitas. Justru lembaga-lembaga donorlah yang sering memberikan bantuan dan mendorong tumbuhnya radio komunitas. Padahal, radio komunitas selama ini berperan aktif sebagai media komunikasi dan informasi bagi pembelajaran masyarakat, terutama masyarakat akar rumput. Peran radio komunitas itu dilakukan secara sukarela oleh pengelolanya.

Asawr menilai, pemerintah terkesan masih memiliki persepsi lama yang memandang radio komunitas sebagai radio liar. Padahal setelah terakmodasi dalam UU Nomor 32 Tahun 2002, radio komunitas membenahi diri dan menjadi sarana informasi dan komunikasi sangat strategis.

Disamping itu, menurut Aswar, pemerintah masih cenderung melihat peranan radio komunitas sebagai gerakan oposisi. Faktor ini pula membuat pemerintah kurang member perhatian serius pada potensi radio komunitas.

Untuk itu, LSM atau pengelola radio komunitas agar tidak reaktif terhadap sikap pemerintah yang tidak menguntungkan itu. Pengelola radio atau LSM pendampaing radio komunitas, menurut Aswar, harus proaktif. Sebab, jika selalu reaktif, makin menjadi alasn justivikasi bagi pemerintah untuk tetap mendiskriminasi radio komunitas.

Narasumber yang lain dalam seminar dan workshop ini, Prof. Hamdan Juhannis, PhD, guru besar Uniniversitas Islam Negeri (UIN) Makassar menyatakan, penguatan masyarakat sipil atau masyarakat madani tidak bisa terwujud bila tidak ada proses domokratisasi. Pertumbuhan demokrasi akan mandeg, kalau tidak ada peran maksimal media massa.

Karena itu, menurut Hamdan, radio komunitas memiliki peranan sangat penting dan strategis. Media ini menjadi sarana informasi dan pengetahuan yang benar-benar milik masyarakat, terutama masyarakat akar rumput.

Kemudian pada sesi workshop yang difasilitasi Syamsu Rijal Ad’han dari Lembaga Pendidikan dan Advokasi Anak Rakyat bersama Basri Andang dari Yayasan Sahabat Masyarakat Sulawesi (SMS) menghasilkan beberapa rekomendasi untuk penguatan radio komunitas dan peningkatan peran adio komunitas dalam mendorong pertumbuhan demokrasi.

Seminar dan workshop ini dihadiri 45 peserta antara lain dari organisasi masyarakat sipil, pengelola radio komunitas, anggota legislatif. (m)

Pengelola Rakom Sambut Gembira KaBaR Komunitas

JURnaL - Pengelola radio komunitas yang terhimpun dalam Jaringan Independen Radio Komunitas (Rakom) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Jirak Celebes) menyambut gembiara pengadaan kantor berita radio komunitas yang diinisiasi JURnaL Celebes. Wadah ini akan semakin menguatkan interaksi antarsesama pengelola radio komunitas.

Kegembiraan pengelola radio komunitas ini diungkapkan pada kegiatan seminar dan workshop peranan media komunitas dalam penguatan masyarakat sipil dilaksanakan JURnaL Celebes di Hotel Bumi Asih, Sabtu (7/11/2009), Makassar.

‘’Alhamdulillah, sudah lama sebenarnya kita tunggu ada sarana seperti ini. Kami akan berpartisipasi mengembangkannya,’’ ungkap Muh. Amir dari radio komunitas MBS FM Bantaeng.

JURnaL Celebes memberi nama kantor berita ini dengan KaBaR Komunitas akronim dari kantor berita radio komunitas. Setiap bulan KaBaR Komunitas membuat paket produksi siaran dengan tema-tema tertentu. Paket siaran tersebut kemudian didistribusikan ke radio-radio komunitas di Sulawesi Selatan. Para pengelola radio komunitas juga berkontribusi dalam setiap pembuatan paket acara berupa materi siaram baik dalam bentuk berita, iklan layanan masyarakat, feature radio dan lain-lain.

Dengan pola ini, seiap informasi di berbagai daerah akan dipublikasikan lewat radio komunitas di daerah-daerah lain untuk menjadi pembelajaran.

Pada edisi perdana November 2009, KaBaR Komunitas yang baru direalisasikan pada akhir Oktober ini mengemas informasi tentang eksistensi dan peran radio komunitas. Dilanjutkan pada edisi kedua di bulan Desember dengan tema hak atas pendidikan. (m)

Rabu, 04 November 2009

Dewan Pers Kurang Berdaya

JURnaL - Dewan Pers sebagai satu-satunya institusi pengawasan media dinilai memiliki kekurangan daya untuk mendorong tumbuhnya profesionalisme media. Dewan yang terdiri atas representasi wartawan dan perusahaan media ini juga dinilai terlalu sentralistik. Dengan demikian, idealnya peranan dewan pers dikembangkan ke daerah-daerah, agar fungsinya lebih efektif, efisien dan strategis.

Dalam diskusi yang dihelat JURnaL Celebes di Warkop 76 Makassar, Sabtu (31/10/2009), persoalan ini diungkapkan peserta diskusi terdiri atas organisasi masyarakat sipil dan para jurnalis. Diskusi tematik ini digelar JURnaL Celebes bekerja sama Yayasan Tifa ini merupakan rangkaian program pengembangan organisasi masyarakat sipil (OMS) pemantau media di Sulawesi Selatan.

Dewan pers dinilai kurang berdaya karena keterbatasan sumber daya untuk memantau banyaknya wartawan dan media serta berbagai masalah, terutama setelah era reformasi. Inisiatif untuk penetapan standat profesi dan standar kepalayakan media massa juga belum terealisasi. Belum lagi urusan sosialisasi regulasi dan lain-lain yang juga harus dilakukan Dewan Pers sendiri.

’’Kalau tidak sanggup dilakukan, Dewan Pers seharusnya punya perpanjangan tangan ke daerah-daerah atau ke lembaga-lembaga pemantau media. Bisa memberdayakan instistusi di daerah, supaya tidak terlalu terkesan sentralistk,’’ ungkap Jumadi Mappanganro, jurnalis dari Harian Tribun Timur.

Peserta diskusi juga menilai masyarakat memiliki kekuatan sangat strategis untuk mengawasi praktik media massa. Hanya saja, selama ini masyarakat kurang memiliki akses memadai atau ruang yang layak untuk berpartisipasi mendorong tumbuhnya media profesional. Masyarakat bingung kalau mendapati media yang melakukan kesalahan, di mana harus mengadu. Karena itu, jika ada upaya melibatkan masyarakat sipil dalam berpartisipasi, maka salah satu prasyarat adalah ada upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam memahami media massa.

Dalam diskusi itu juga menyoroti banyaknya wartawan menjalankan profesi yang tidak jelas. Banyak juga media hanya untuk memenuhi kepentingan tertentu. Media dan jurnalis seperti inilah sebenarnya menjadi ancaman bagi masyarakat.

Kemudian upaya mendorong media profesional dihadang berbagai kendala. Selain wartawan mengabaikan Kode Etik Jurnalistik, juga kehendak pemilik modal, atau kepentingan bisnis media. Karena itu harus ada kompromi antara pemilik modal dan pngelola di bidang redaksi. (m)

Publik Tidak Terbiasa Hak Jawab

JURnaL - Dalam diskusi tentang peranan media, etika jurnalistik dan kontrol publik yang dilaksanakan JURnaL Celebes, Sabtu (31/10/2009), peserta menilai masyarakat atau publik saat ini belum terbiasa menggunakan hak jawab, ketika dikorbankan media massa. Sebagian masyarakat langsung membawa kasus tersebut ke kepolisian, yang kemudian penyelesainnya menggunakan pidana umum.

Ketika merasa diciderai oleh pemberitaan media massa, masyarakat menilai hak jawab tak mampu ’’menghapus’’ aib mereka yang sudah terlanjur diketahui masyarakat, apakah pemberitaan itu benar ataupun tidak benar. Publik menilai ketika diberitakan dan kemudian dibaca pembaca, nama mereka sudah tercemar. Pembaca sudah terlanjur mengetahui perbuatan yang diberitakan. Karena itu, mereka cenderung tidak ingin menggunakan lagi hak jawab. Mereka lebih memilih diam atau melaporkan ke polisi, atau berupaya untuk membalas dendam.

Menanggapi fenomena ini, Anwar dari LBH Makassar menyatakan jurnalis dan media harus memahami realitas seperti ini, untuk tidak terlalu memaksakan kehendak berdasarkan kebabasan pers. Jurnalis agar tidak terlalu arogan dan merasa diri sebagai warga istimewa yang harus diistimewakan.

Sebab, menurut Anwar, melihat kondisi masyarakat belum memahami budaya hak jawab, tidak akan menggunakan hak jawab, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

Menanggapi hal ini, Jumadi Mappanganro, wartawan Harian Tribun Timur meminta agar masyarakat diberi pemahaman kalau merasa dirugikan oleh pemberitan, agar tidak mengadukan ke kepolisian. Masyarakat harus diajari bahwa kata-kata harus dijawab dengan kata-kata.

’’Sebab bila kata-kata tidak dijawab dengan kata-kata, maka selamanya pelanggaran lewat kata-kata yang dilakukan oleh media, tetap tidak terklarifikasi selamanya,’’ ungkap Jumadi.

Menanggapi realitas ini, Syamsul Ridjal dari Lembaga Studi dan Kajian Pesantren mengatakan, masyarakat kita masih merupakan masyarakat berbudaya lisan, belum berbudaya tulisan. Dengan demikian, mereka menilai berita pun berdasarkan budaya lisan. Budaya tulisan dianggap tidak mampu mengakomodasi nilai-nilai.

’’Karena itu, mereka menganggap hak jawab itu adalah budaya tulisan, yang tidak mampu meyakinkan publik atas pemberitaan media yang sudah tersebar,’’ papar Syamsul dalam diskusi yang digelar JURnaL Celebes yang didukung Yayasan Tifa. (m)