Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Lebih Baik

Senin, 17 Januari 2011

Ketimpangan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan SDA di Sulsel



JURnaL. Pengelolaan lingkungan hidup dan Sumber Daya Alam (SDA) di Sulawesi Selatan selama tahun 2010 masih timpang. Meskipun daerah ini meraih sejumlah penghargaan terkait lingkungan hidup dan sumber daya alam, belum bisa menjadi indikator keberhasilan karena program penghijauan cenderung berorientasi pada agenda-agenda seremonial. Penataan tata ruang di daerah ini dinilai tidak mengutungkan masyarakat luas, karena lebih mengakomodasi kepentingan investasi, serta belum singkronnya tata ruang provinsi dan masing-masing kabupaten. Persoalan ini menjadi ''pekerjaan rumah'' bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Demikian bagian dari simpulan dalam Dialog Lingkungan Hidup Awal Tahun yang dilaksanakan
JURnaL Celebes, Walhi Sulawesi Selatan dan Yayasan Tumbuh Mandiri Indonesia (YTMI), di
Makassar, Kamis (13/1/2011). Dialog yang dihelat di Warkop 76 ini diawali dengan presentasi
dari Dinas Tata Ruang Sulawesi Selatan diwakili Kepala Bidang Perencanaan Tata Ruang, Darul Aqsa, Walhi Sulsel diwakili Direktur Eksekutif
Walhi Sulsel, Zulkarnain Yusuf, YTMI diwakili Direkturnya Rusman Medjang, dan Direktur
Eksekutif JURnaL Celebes Mustam Arif mempresentasikan hasil evaluasi dari JURnaL Celebes.
Dalam acara dialog yang dihadiri para jurnalis, organisasi masyarakat silip, serta unsur pemerintah dan swasta ini kemudian mendiskusikan berbagai problem yang terkait lingkungan
hidup dan pengelolaan SDA di Sulawesi Selatan.
Dinas Tata Ruang Sulsel dalam presentasinya memaparkan rencana tata ruang daerah ini yang
telah ditetapkan 2018. Problem yang dihadapi adalah belum singkronnya pengaturan tata ruang di wilayah kabuaten-kabupaten yang sampai saat ini masing-masing kabupaten masih sedang menyusun tata ruang.
Sri Endang Sukarsih dari Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan yang ikut-serta menyusun tata
ruang wilayah Sulsel dalam dialog itu menyoroti mekanisme sosialisasi dan implementasi rencana tata ruang, yang dinilainya masih belum mampu menjawab problem tata ruang di Sulsel, karena itu Dinas Tata Ruang diharapkan membuka ruang dan jejaring lebih luas kepada
pihak untuk berkontribusi.
Walhi Sulawesi Selatan menyoroti pengelolaan sumber daya alam di daerah ini yang lebih berorientasi pada kepentingan kapital dan investasi, sehingga kepentingan masyarakat kecil
diabaikan. Investasi skala besar yang kemudian memonopoli penggunaan lahan, sehingga masyarakat lokal justru semakin menderita.
Seorang peserta dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulawesi Selatan menyatakan
perusahaan skala besar seperti PT London Sumtaera yang memikiki perusahaan perkebunan
di Kabupaten Bulukumba sejak tahun 1960-an, yang punya pengelolaan lingkungan yang bagus. Tetapi, ia mempertanyakan, mengapa London Sumatera yang sudah puluhan tahun beroperasi, tetapi masyarakat sekitar perusahaan justru tidak sejahtra. Karena itu, ia meminta Walhi mengadvokasi masalah ini, apakah karena CSR perusahaan itu tidak memberi kontribusi dengan baik?
Dalam dialog itu, YTMI mempresentasikan pengalaman praktis penghijauan pesisir dengan
penanaman pohon bakau (mangrove). Pola ini kiranya direplikasi di daerah-daerah lain untuk
upaya konservasi lingkungan hidup di wilayah pesisir.
Sedangkan JURnaL Celebes dalam presentasi memaparkan bencana alam terjadi di Sulsel tahun 2010 serta program penghijauan yang dilaksanakan pemerintah di daerah ini. JURnaL menilai penanggulangan bencana di daerah ini belum maksimal. Program penghijauan Sulsel Go Green meskipin sempat meraiah berbagai penghargaan di antaranya memecahkan rekor MuRI, tetapi keberhasilan ini tidak membumi. Penanaman pohon hanya dimobilisasi pemerintah daerah dengan orientasi untuk memperoleh penghargaan (lebih jelas tentang presentasi JURnaL Celebes bisa dibaca di judul lain blog ini). m

Sulsel Terendam, Sulsel Berlimbah, Penghijauan di Awan, Demam Penghargaan


(Presentasi JURnaL Celebes dalam Dialog Awal Tahun untuk Releksi 2010 dan Perpektif 2011 Sulsel, di Warkop 76, Makassar, 13 Januari 2011)


1. Bencana alam 2010, Sulsel Terendam

Januari 2010

Ratusan rumah di Selayar terendam banjir, warga mengungsi dan mengalami kerugian material. Hujan merendam sebagian wilayah kota Bulukumba, termasuk Pasar Sentral, yang mengakibatkan ratusan pedagang mengalami kerugian material.

Maret 2010

Banjir genangan di Barru, merendam puluhan rumah penduduk dan puluhan areal persawahan

April 2010

Sebagian wilayah pemukiman penduduk di Kota Palopo terendam banjir, warga mengungsi dan menderita kerugian material.

Juli 2010

Banjir di Bone, 460 ha tanaman padi terendam dan gagal panen.

Banjir menggenangi beberapa kecamatan di Kabupaten Wajo dan Kota Sengkang. Satu bayi tewas tenggelam, ratusan rumah penduduk terendam. Banjir di Bone merendam pemukiman penduduk dan sebagian jalan poros Bone-Wajo. Ratusan warga mengungsi.

Banjir di Pinrang merendam pemukiman penduduk. Sebanyak 2.469 KK mengungsi, 338 ha sawah terendam, di antaranya kemudian gagal panen.

Banjir merendam sebagian wilayah Pangkajene, Kabupaten Sidrap, ratusan areal persawahan terendam, dan satu warga tewas.

Banjir di Wajo merendam pesisir Danau Tempe hampir satu minggu mengakibatkan aktivitas warga jadi lumpuh.

Agustus 2010

Banjir di Bone merendam 5.861 rumah penduduk dan 6.769 ha sawah, sarana umum dan tempat ibadah. Ratusan warga harus mengungsi.

Ratusan rumah penduduk di Palopo terendam banjir dan lumpur. Sebagian harus mengungsi, selain menderita kerugian material.

Banjir menggenangi sebagian dari empat kecamatan di Kabupaten Sidap. Sebanyak 914 hektar sawah terendam, 6 ton gabah disapu banjir, ratusan rumah penduduk tergenang.

Ratusan hektar sawah di Kabupaten Bulukumba terendam banjir. Aktivitas pertanian terhambat, dan beberapa areal pemukiman juga ikut terendam.

Enam desa di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara terendam beberapa hari akibat meluapnya Sungai Rongkong. Warga menderita kerugian material.

Banjir di Enrekang merendam 50 ha sawah dan mengakibatkan gagal panen. Bencana itu juga menyebabkan 10 ha kebun jagung tidak bisa dipanen.

Banjir kembali melanda Kota Palopo, 1000 rumah terendam dan hanyut, kerugian material diperkirakan Rp 50 miliar.

Banjir kembali melanda Kabupaten Wajo. Sebagian masyarakat pemukim sekitar Danau Tempe tak bisa melaksanakan aktivitas, termasuk beberapa sekolah harus diliburkan sekitar satu minggu karena gedung-gedung sekolah ikut terendam.

September 2010

Banjir menggenangi sebagian sarana publik dan pemukiman warga di Kota Sinjai.

Banjir menggenangi lima desa di Belopa, Kabupaten Luwu. Sebagian areal pertanian terendam, dan aktivitas warga terganggu.

Banjir genangan kembali merendam sebagian Kota Sengkang di Kabupaten Wajo. Sebagian warga tidak bisa melaksanakan aktivitas rutin, proses belajar beberapa sekolah juga terganggu.

Oktober 2010

Ratusan pemukiman penduduk di Kabupaten Luwu bersama ratusan hektar areal pertanian terendam banjir akibat luparan Sungai Lamasi. Tanaman masyarakat rusak dan sebagian warga tidak bisa melaksanakan aktivitas rutin, selain menderita kerugian material.

Banjir kembali menggenangi sebagian wilayah di Kota Palopo. Sekitar 1000 rumah dan 100 ha sawah dan lahan pertanian terendam, serta 300 ha areal tambak juga ikut digenangi banjir. Warga mengalami kerugian material.

2. Tanah Longsor 2010

Longsor di Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, memutus jalan poros Sinjai-Makassar lewat Gowa. Lalulintas perekonomian sempat terisolasi beberapa hari, terutama untuk mengakses ke Makassar lewat Gowa.

Longsor di Enrekang menimpa jalan poros Enrekang-Toraja, serta di jalan poros Kalosi. Aktivitas lalulintas terhambat di wilayah ini yakni dari Toraja melewati Enrekang atau dari Enrekang ke Toraja.

Longsor di Parepare merusak 4 rumah penduduk.

Longsor kembali terjadi di Enrekang, melanda enam desa di Kecamatan Maiwa. Longsor ini memutus jalan poros di wilayah tersebut sehingga sebagian desa terisolir selama beberapa hari.

Longsor di Kabupaten Gowa menewaskan 2 penduduk.

3. Angin Putting Beliung 2010

Selama 2010, bencana angin putting beliuang melanda sebagian wilayah Sulawesi Selatan.

JURnaL Celebes sempat mencatat 324 rumah rusak diterjang puting beliung, 15 lumbung padi juga diporak-porandakan ‘si puting’, 20 lapak pedagang kaki lima ikut dihantam angin kencang itu, dan 3 warga tewas akibat tertimpa rumah dan pohon.

Daerah-daerah yang ditimpa putting beliung antara lain Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Sinjai, Maros, Pangkep, Parepare, Pinrang, Sidrap, Palopo Toraja.

4. Sulsel Berlimbah

Hingga 2010, masalah pencemaran limbah Pabrik PT Barawaja di Makassar belum juga selesai. Konflik yang sempat diseret Kantor PPLH Regional Sulampapua ke pengadilan itu belum juga tuntas. Di pengadilan, saksi yang diajukan Baraja dari penduduk sekitar pabrik, justru menyatakan Baraja tidak mencemari lingkungan. Keterangan ‘aneh’ ini membuat warga masyarakat yang sekian lama menuntut Barawaja jadi geram.

Maskassar dicemari limbah beracun (B3). Puluhan badan usaha di kota ini mencemari Makassar dengan limbah beracun sebagian besar tidak memiliki izin, sebagian kemungkinan memperoleh izin tanpa melewati prosedur yang benar. Badan usaha yang umumnya mengelola bahan bakar atau pelumas bekas itu melanggar UU No.32 Tahun 2009, serta berbagai regulasi yang mengatur pengelolaan limbah B3.

Limba pengolahan kayu juga mengotori pesisir Danau Towuti di Luwu Timur.

Limbah PTPN XIV Burau, Luwu Timur juga diduga mencemari lingkungan. DPRD Lutim mendesak Bapedalda setempat untuk meneliti pencemaran itu.

PT Semen Tonasa diduga mencemari lingkungan sekitar dengan limbah debu. DPRD Pangkep mengajukan anggaran penelitian untuk meneliti pencemaran Semen Tonasa.

Sekitar 200 Kepala Keluarga di Pinrang menuntut sebuah usaha pupuk organik karena dianggap mencemari lingkungan sekitar dalam proses biogas yang tanpa dilakukan dengan prosedur yang layak.

Rumah Sakit Umum Daya, Makassar dianggap mencemari lingkungan dengan limbah rumah sakit mengancam warga.

5. Illegal Logging

Selama tahun 2010, kasus pembalakan liar (illegal logging) masih terjadi di Sulawesi Selatana. Di Luwu Timur ada 4 kasus, Luwu/Palopo 3 kasus, Sidrap dan Parepare masing-masing 2 kasus, dan Wajo 1 kasus

Bulukumba 1 kasus berupa penebangan kayu di areal Tahura Kecamatan Bontomahari oleh PT Sitto Lestari.

Tahun 2010 juga terungkap Makassar menjadi transit perdagangan kayu internasional secara ilegal. Hasil investigasi Telapak dan JURnaL Celebes, didukung Environmental Investigation Agency (EIA).

6. Go Green Tanam Pohon di Awan

Bagian data JURnaL Celebes sempat mencatat 422.375 pohon yang ditanam dalam program penghijauan lewat gerakan Sulsel Go Green.

Tetapi Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo dalam .laporannya kepada Presiden SBY saat acara Hari Menanam Pohon dan Bulan Menanam Nasional di Jeneponto, Oktober 2010 menyatakan Sulsel sudah menanam 2,8 juta pohon melebihi target 8 juta pohon.

Maret 2010 Sulsel mendapat penghargaan MuRI karena penanaman 2 juta pohon, menebar benih ikan dua juta ekor, dan transplantasi 22.222 karang di 101 pulau, secara serentak.

Demam Penghargaan

Selama tahun 2010, Pemerintah Sulawesi Selatan mengejar penghargaan atau sedang demam penghargaan.

Selama 2010, Pemprov Sulsel merebut 28 penghargaan tingkat nasional sebgaian di antaranya terkait dengan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam. Bahkan di awal 2011 ini, Pemprov Sulsel sudah kejatuhan lagi satu penghargaan nasional.

Tanggapan Kritis JURnaL Celebes atas Refleksi 2010

Menghadapi banjir, longsor dan angin kencang yang menjadi bencana rutin, Pemprov Sulawesi Selatan dan pemerintah di kabupaten-kabupaten belum punya program yang riil untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Banjir yang merendam areal persawahan hampir di sebagian besar kabupaten serta mengibatkan gagal panen, sesungguhnya bencana serius karena akan mengarah pada ancaman krisis pangan. Tetapi Pemprov Sulsel belum punya program unggulan menghadapi anomali iklim. Para petani bingung menentukan musim tanam.

Menghadapi bencana rutin terutama banjir, longsor, angin kencang, Pemprov Sulsel dan pemerintah kabupaten/kota belum punya upaya maksimal mengurangi risiko bencana meliputi pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Pemprov dan Pemkab/Pemkot justru hanya berkonsentrasi pada tahap krisis, karenanya hampir semua resources dan anggaran diperuntukan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Pola seperti ini membuat pemerintah di Sulsel justru menunggu datangnya bencana lalu bekerja.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulsel belum bisa berfungsi maksimal. Sesuai informasi, badan ini belum punya alokasi angaran APBD, serta punya kapasitas sumber daya manusia yang tidak mendukung. Badan yang seharusnya antisipatif terhadap situasi darurat dan pengurangan risiko bencana ini terperangkap dalam pola birokrasi yang kaku.

Pencemaran limbah terutama limbah beracun menjadi ancaman serius di Sulawesi Selatan, terutama di daerah-daerah perkotaan dan basis-basis industri yang tidak terhimpun dalam kawasan industri.

Pemerintah Sulsel dan pemerintah kabupaten/kota belum tegas menegakkan aturan. Bahkan masih ada oknum aparat bersekongkol dengan pihak pengusaha untuk melegitimasi perizinan-perizinan yang melanggar undang-undang dan peraturan.

Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan sebuah regulasi yang cukup bagus, tetapi Pemerintah Sulawesi Selatan dan pemerintah kabupaten/kota belum maksimal mengimplementasikan, bahkan UU ini nyaris tidak diketahui.

Dalam pengelolaan lingkungan, belum ada pola kerja sinergis yang maksimal antar instansi, terkesan bekerja secara sektoral dengan ego masing-masing.

Penghijauan di Awan dan Mabuk Penghargaan

Bagi JURnaL Celebes program penghijauan lewat Sulsel Go Green, secara kuantitatif belum berhasil, meskipun sampai meraih rekor MURI bahkan katanya rekor dunia. Jumlah 2,8 juta pohon yang konon sudah ditanam selama 2010, merupakan angka tidak jelas, karena hanya berbasis laporan tiap-tiap kegiatan dari pemerintah kabupaten/kota serta badan-badan usaha, organisasi dll. Tidak bisa diukur karena tidak ada audit lapangan. Tidak tertutup kemungkinan angka-angka itu merupakan angka manipulatif bahkan mungkin di antaranya fiktif karena mengejar target-target tertentu yang cenderung ambisius.

JURnaL Celebes menilai kurang tepat bila keberhasilan program penghijauan diukur lewat volume penanaman, karena menanam pohon belum tentu tumbuh dan berkembang, bila tidak disertai pemeliharaan atau perawatan. Sampai 2010, sesungguhnya siapa yang punya kewenangan memelihara pohon-pohon yang sudah ditanam?

Program penghijauan Sulsel Go Green selama 2010 belum memberdayakan masyarakat. Penanaman pohon mayoritas didominasi pejabat secara simbolik menyusul instansi-instansi yang selalu berorientasi pada ‘’dalam rangka….’’ kemudian merilis laporan kesuksesan yang terasa mengawan-awan.

Sebanyak 28 penghargaan nasional yang diraih Pemerintah Sulawesi Selatan, bagi JURnaL Celebes, bukan indikator kesuksesan termasuk dalam konteks lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam.

JURnaL Celebes menilai, selama 2010 Pemerintah Sulsel terkesan mengejar penghargaan, sehingga sebgaian target program mengarah pada upaya mendapatkan aneka-award. Dalam penghijauan, rakyat tidak diberdayakan melainkan hanya menjadi objek prasyarat, pemerintah daerah (pejabat) yang bekerja keras mengejar penghargaan. Kesuksesan yang diraih adalah kesuksesan pejabat, lalu kesuksesan rakyat biasanya hanya menjadi retorika dalam pidato-pidato pejabat saat menerima penghargaan.

Rekomendasi JURnaL Celebes untuk 2011

Pemerintah Sulawesi Selatan dan kabupaten/kota agar memberdayakan masyarakat untuk mengurangi risiko bencana lewat peningkatan program pencegahan, mitigasi, dan kesiap-siagaan. Pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang adaptatif dan reseliance terhadap bencana.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) harus ditingkatkan perannya maksimal, tentu harus disertai peningkatan kualitas sumber daya manusia, jaringan parapihak, serta melakukan Rencana Aksi daerah (RAD).

Berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dalam mengurangi risiko bencana, pemerintah daerah sebaiknya membuat perencanaan kedaruratan (kontigency plan) di tiap-tiap wilayah rawan bencana, yang berbasis masyarakat.

Pentinya sosialisasi lebih luas Undang-Undang PPLH, serta implementasi yang tegas di setiap institusi serta badan-badan usaha atau perorangan yang berpotensi merusak lingkungan.

Program penghijauan Sulsel Go Green atau ‘green-green’ lainnya harus menggunakan tolok-ukur kualitatif. Jika 2010 dan sebelumnya keberhasilan penghijauan dikukur dari berapa pohon yang ditanam, maka 2011 sebaiknya menggunakan indikator berapa pohon yang tumbuh dan berkembang.

Berkaitan dengan ini, pemerintah daerah juga memastikan adanya pihak yang berwewenang memelihara pohon.

Seperti tahun sebelumnya, dalam kurun waktu 2010, illegal logging masih banyak terjadi di Sulawesi Selatan. Tetapi masih seperti tahun lalu, masalah ini terakomulasi dalam konflik tenurial, yakni masyarakat kadang tidak tahu kalau lahan kebunnya diubah statusnya oleh pemerintah menjadi hutan lindung, dan ketika menebang pohon yang ditanam di lahan mereka, sering ditangkap dan dikriminalisasi.

JURnaL Celebes kembali berharap, kredibilitas Makassar pintu gerbang Indonesia timur tidak dirusak dengan perdagangan kayu illegal atau menjadi tempat ‘penyucian’ kayu illegal di Papua sebelum dikirim ke luar negeri.

Makassar, 12 Januari 2011