Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Lebih Baik

Kamis, 27 Oktober 2011

BPN Diminta Berani Tuntaskan Sengketa Lahan di Sulsel



Aksi protes masyarakat  terhadap  PT Lonsum di Bulukumba, 
24 Januari 2011. (sumber foto: siklusnews.com)

JURnaL Celebes-Makassar. Para aktivitas LSM di Makassar menyatakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulawesi Selatan dan BPN di kabupaten-kabupaten harus bertindak tegas dan konsisten menyelesaikan kasus-kasus agraria. Sebab, jika tidak mampu menuntaskan secepatnya, bahkan kemudian bila ada kesan oknum BPN ikut 'bermain' dalam setiap sengketa agraria, hal ini makin mendorong konflik agraria terus berkepanjangan, yang berdampak pada keberlanjutannya pemiskinan masyarakat, karena keterbatasan lahan untuk hidup.
Simpulan ini mengemuka dalam diskusi terbatas yang dilaksanakan beberapa aktivis LSM di Kantor JURnaL Celebes, Makassar, Rabu (26/10/2011) petang.
Dalam diskusi yang digelar pascapemadaman listrik bergilir Rabu sore itu juga menginventarisasi sedikitnya tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan yang dililit kasus-kasus pertanahan. Sengketa agraria itu umumnya memertentangkan masyarakat dengan aparat negara dalam sengketa lahan badan usaha yang kuat baik swasta maupun badan usaha milik negara.
Kasus-kasus lahan yang menjadi sumber konflik masyarakat berhadapan dengan aparat itu antara lain di Kabupaten Bulukumba dengan kasus PT London Sumatera (Londsum) dan masyarakat adat Kajang, di Kabupaten Sidrap dengan kasus petani berhadapan dengan PT Buli dan PT Margareksa.  Di Kabupaten Takalar sengketa tak pernah selesai natara masyatakat dengan PT Perkebunan Nusantara XIV (PT PN XIV). Di Kabupaten Wajo ada kasus di Desa Paselloreng dan Keera antara masyarakat berhadapan dengan  PT XIV. Di  Luwu Utara PT PN XIV berhadapan dengan
masyarakat di Uraso. Demikian juga di Gowa, lagi-lagi PT PN XIV bersengketa dengan masyarakat.
Menurut Zulkarnain Yusuf Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulsel sengketa agraria yang terjadi di ketujuh Kabupaten itu semunya menempatkan rakyat sebagai pihak yang kalah. Konflik ini terus berlarut-larut dan saat tertentu menimbulkan korban jiwa.
Dalam konteks ini, BPN dinilai tidak memiliki kekuatan tegas untuk menyelesaikan kasus-kasus lahan. Wewenang pemerintah daerah justru dikendalikan berbagai kepentingan terutama terutama kekuatan modal, termasuk mempengaruhi dan peranan BPN. Hal ini berbahaya karena akan semakin mengikis kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap BPN sebagai institusi yang memiliki kewenangan mengatur pertanahan. Ini menjadi potensi konflik horisontal.
Karena itu menurut Ketua BP Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan, Sardi Razak, jika  sengketa agraria itu tak terselesaikan, akan tetap tumbuh subur. Konflik ini secara regular akan menimbulkan korban jiwa di pihak masyarakat, karena mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan negara dan keamanan perusahaan yang menggunakan senjata.
Asmar Exwar dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Selatan juga menyatakan pemerintah daerah bersama BPN harus berani bertindak untuk menyelesaikan kasus-kasus agraria itu. Selain itu  berharap kepada pemerintah menertibkan kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU) baik HGU baru maupun HGU yang yang menelantarkan lahan. Sebab, HGU-lah yang menjadi sumber sengketa, karena di antaranya ada HGU fiktif yang mengakali penggunaan lahan masyarakat.
Diskusi yang difasilitasi A. Inda Fatinaware dari Sawit Watch ini dihadiri masing-masing Abdul Karim (LAPAR Sulsel), Zulkarnain Yusuf (Walhi Sulsel), Sardi Razak (AMAN Sulsel), Asmar Exwar (KPA Sulsel), Sri Endang Sukarsih (Yayasan Sahabat Masyarakat Sulawesi) dan Mustam Arif (JURnaL Celebes). (mus)

Kamis, 20 Oktober 2011

Sejumlah Pemantau Independen Dilatih PHPL

JURnaL Celebes-Makassar. Pemantau indepeden kehutanan dari LSM di kawasan timur Indonesia mengikuti lokakarya dan pelatihan (lokalatih) Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) di Makassar, mulai Selasa-Sabtu, 18-22 Oktober 20011. Kegiatan ini digelar Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Telapak, Forest Watch Indonesia, dan JURnaL Celebes, didukung Uni Eropa.
Menurut Koordinator Panitia  Pelaksana , Asmar Exwar yang juga Focal Point JPIK Sulsel, kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan membangun kapasitas teknis organisasi masyarakat sipil dan masyarakat adat (lokal) PHPL, sebagai bagian dari dukungan implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Hasil yang diharapkan, masyarakat sipil LSM dan masyarakat lokal tergabung dalam JPIK memiliki kapasitas teknis dalam memanfaatkan data dan informasi yang tersedia. Dengan demikian mampu  melakukan proses pemantauan peredaran sumberdaya hutan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penerapan SVLK . Lokalatih ini juga menargetkan  sekitar 25 pemantau memiliki kapasitas pengetahuan membangun data base yang memadai.
Pada hari pertama, peserta lokalatih memperoleh materi dari Departemen Kehutanan yang disampaikan Koharuddin. Peserta juga mendalami materi tentang pengembagan data base. Sementara proses pelatihan, peserta mendiskusikan berbagai persoalan dalam pelaksanaan pemantauan independen. Selain itu, peserta secara kelompok diberi tugas untuk menemukan solusi-solusi.
Pelatihan yang dilaksanakan di Hotel Bumi Asih ini juga menitikberatkan pada pemahaman teknis dan mekanisme pemantau independen.  (aan kaharuddin)

Rabu, 12 Oktober 2011

Masyarakat Padang Lambe: Kesejahteraan di Balik Bayang-bayang Hutan Lindung




Laporan Ancha
JURnaL Celebes. Tumpang tindih wilayah kelola rakyat dengan wilayah hutan lindung menempati ranking tertinggi dalam kasus tenurial di Indonesia. Hal ini disebabkan karena penetapan sebuah kawasan hutan lindung tidak dilakukan secara partispatif. Realitas ini bagaikan bencana bagi masyarakat yang sewaktu-waktu dapat mencuat karena proses kepentingan, program, politik dan kepentingan-kepentingan lainnya. Ironisnya Dinas Kehutanan saat ini tidak begitu konsisten menjaga wilayah-wilayah klaimnya. Bahkan seakan tak mengenal wilayahnya dan proses penegakan dan penjagaannya pun tak merata.

Salah satu contoh wilayah masyarakat yang di klaim sebagai hutan lindung adalah Kelurahan Padang Lambe, Kecamatan Wara Barat, Kota Palopo. Di wilayah ini beberapa kali terjadi perseteruan anatara masyarakat dan Dinas Kehutanan karena perbedaan persepsi tentang Wilayah Kawasan Hutan Lindung. Hal ini yang menyebabkan Program Rumah Komunitas Adat Terpencil terkatung-katung karena wilayah tersebut diklaim oleh Dinas Kehutanan sebagai hutan lindung.

Masih banyak lagi wilayah kelola rakyat yang ada di Kelurahan Padang Lambe yang masuk dalam klaim hutan lindung, yang notabene masyarakat sudah sejak dulu mengelola wilayah tersebut dan bahkan masyarakat memiliki klaim batas hutan lindung hasil dari penetapan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1980an. Hal inilah yang menjadi patron masyarakat dalam mengelola wilayah. Tapi ironisnya klaim hutan lindung sampai melewati batas dan sampai kewilayah perkampungan masyarakat.
Luas Wilayah Kelurahan Padang lambe adalah 3195.15 Ha dan diklaim oleh Hutan Lindung Seluas 2147.82 Ha


Dari Gambar diatas dapat diketahui total luas wilayah yang diklaim oleh Hutan Lindung dalam Wilayah Kelola rakyat seluas 1149.07 Ha. Yang banyak dikelola oleh Masyarakat Untuk pemukiman, Kebun, Sawah dan Tempat pekuburun

Realitas ini harusnya menjadi acuan Kepada Dinas Kehutanan untuk lebih membuka diri dan mengajak masyarakat untuk duduk bersama untuk menjaga, melestarikan hutan tanpa harus ada yang di korbankan.
Karena Otoritas negara tak akan mampu membendung kesadaran warga atas ketergantungannya terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan. Jika tanah-tanah tersebut akan dipisahkan dari kehidupan mereka maka tentunya riak dan perlawanan akan menjadi konsekuensi dari kebijakan tersebut.

Secara terpisah Hasrul dari Dinas Kehutanan Kota Palopo mengatakan, batas hutan lindung yang dipahami masyarakat tidak sah dan batal secara hukum karena proses penata batasan hutan itu tidak di akui.sehingga Dinas Kehutanan menyarankan kepada masyarakat untuk mengajukan Wiolayah tersebut masuk dalam Skema HKM, HTR atau HD saja, karena ketakutan kita masyarakat akan lebih jauh lagi menyerobot masuk dalam kawasan Hutan.

Dua kubu yang memiliki kepentingan berbeda ini seakan tak ada ujung pangkalnya dan masyarakat secara terpisah akan mempertahankan wilayah kelola mereka sampai kapanpun. Sebab, dengan tanah tersebut mereka mampu menghidupi kehidupan mereka serta menyekolahkan anak-anak mereka secara turun temurun.
Masyarakat Kelurahan Padang Lambe yang banyak menggantungkan kehidupan mereka pada sawah, kebun dan tambak air tawar  sebagai sumber kesejahteraan walau Klaim Hutan Lindung masih membayangi kemerdekaan mereka dalam mengelola Tanah leluhur mereka. Ancha

Senin, 10 Oktober 2011

Empat LSM Riset Kebijakan Media dan Hak Warga Negara


JURnaL Celebes-Yogyakarta. Centre for Innovation, Policy Governance (CIPG) bekerja sama dengan HiVOS, dan Ford Foundation melaksanakan pelatihan riset untuk peningkatan kapasitas organisasi masyarakat sipil diberi nama  Critical Research Methods (Creame) atau metode riset kritis. Pelatihan diikuti utusan dari empat LSM ini berlangsung di Pusdiklat Satunama, Yogyakarta, mulai 3-7 Oktober 2011 lalu. Proses capacity building ini ditindaklanjuti dengan menyusun draft rencana riset tentang kebijakan media dan hak-hak warga negara.
Empat LSM yang menjadi mitra pelaksana riset ini masing-masing ITC Wath, AJI Nasional, Rumah Blogger Bengawan, dan JURnaL Celebes.
ITC Watch akan meneliti peran media hybrid sebagai media alternatif bagi masyarakat. AJI akan meriset dampak konglomerasi media terhadap pekerja media. Rumah Blogger Bengawan akan meneliti peran jurnalistik warga dalam pelayanan publik.
Sedangkan JURnaL Celebes akan melakukan riset tentang akses media massa terhadap masyarakat di sekitar hutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Riset JURnaL Celebes akan memfokuskan pada sejauh mana media massa memberi akses informasi terhadap masyarakat dan sejauh mana masyarakat sekitar hutan mengakses media dalam kaitannya dengan pegelolaan sumber daya hutan. Riset JURnaL Celebes direncanakan dilakukan di Sinjai, Enrekang, Palopo, Maros, dan Luwu Utara.
Riset yang dilakukan selama enam bulan ini merupakan tahap awal dari rencana riset nasional kebijakan media dan dan hak-hak warga negara yang direncanakan CIPG, HiVOS, dan Ford Foundation.  Hasil riset tahap awal ini akan dikemas menjadi buku pembelajaran dalam peningkatan kapasitas dan kemampuan riset bagi organisasi masyarakat sipil.  
Pelatihan selama lima hari di Pusdiklat Satunama Yogyakarta merupakan program pengembangan kapasitas yang bertujuan mengasah kemampuan berpikir dan berargumentasi secara sistematik berdasarkan metoda analisis data yang dapat dipertanggung-jawabkan dalam kaidah-kaidah ilmiah. Program tersebut terdiri atas tiga bagian antara lain pelatihan Creame, mentoring (luring/visitasi dan daring) secara berkala, dan lokakarya visioning. Program pengembangan kapasitas menggunakan pendekatan Enquiry Based Learning dimana peserta didorong mengambil peran sangat aktif.
Topik-topik tersebut akan disampaikan melalui diskusi kelompok, diskusi pleno dan live-in. Peserta Pelatihan Creame dipandu Dr. Yanuar Nugroho, pengajar di Manchester Institute of Innovation Research, Shita Laksmi, Direktur ad interim HiVOS Asia Tenggara, Mirta Amalia,, Direktur Riset CIPG dan mahasiswa doktoral di Manchester Business School, serta narasumber Dr. B. Herry Priyono Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara. (m).