Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Lebih Baik

Sabtu, 24 September 2011

Deklarasi Rongkong : AMAN Minta Pemerintah Cabut UU Kehutanan dan Minerba


Peserta Rakernas AMAN disambut di Rongkong
JURnaLCelebes-Rinding Allo. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang melaksanakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) mulai 20-23 September 2011 di Desa Rinding Allo, Kecamatan Limbong, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan merumuskan sebuah deklarasi yang dinamakan Deklrasi Rongkong. Di antara poin penting deklarasi ini adalah AMAN meminta pemerintah mencabut Undang-Undang Nomor 41 tantang Kehutanan dan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara (minerba) dan menggatinya dengan undang-undang yang mengakui dan melindungi masyarakat adat.
AMAN menilai Undang-Undang Kehutanan dan UU Minerba menjadi sumber konflik dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) terhadap masyarakat adat. AMAN juga mendesak pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlinudngan Masyarakat Adat yang saat ini sudah tercantum dalam Program Legislasih Nasional (Prolegnas).
Dalam deklrasi ini, AMAN menyatakan bersedia bekerjasama dengan pemerintah dan semua pihak yang relevan untuk mencapai pemenuhan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Kegiatan yang digelar selama tiga hari di wilayah adat Komunitas Rongkong ini, Pengurus Besar, wilayah dan daerah yang berjumlah 140 orang itu merumuskan deklarasi yang merupakan bagian dari hasil rapat, yang terakomodasi dalam 30 poin untuk berbagai persoalan.
 Rangkaian Rakernas dimulai sejak 18 September yang diawali dengan Rapat Umum dan Konsultasi Nasional. Dua kegiatan ini dilaksanakan 18-19 di Lapangan Sabbang, dan di Masamba, ibukota Kabupaten Luwu Utara.
Berikut Deklarasi Rongkong :

DEKLARASI RONGKONG
ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN)
Desa Rinding Allo, Kec. Limbong Kab. Luwu Utara, 22 September 2011

Pada tanggal 18-22 September 2011, telah dilakukan suatu rangkaian proses Rapat Kerja Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke-II, yang dimulai dengan Rapat Umum dan Konsultasi Nasional Masyarakat Adat Nusantara.
Rapat Umum, Konsultasi Nasional dan Rapat Kerja ini dihadiri oleh seluruh Dewan AMAN (DAMAN), Pengurus Besar (PB AMAN), Badan Pelaksana Harian (BPH) AMAN Wilayah, Dewan AMAN Wilayah, Badan Pelaksana Harian (BPH) AMAN Daerah dan Dewan AMAN Daerah.
Kami mengucapkan terimakasih kepada BPH AMAN Wilayah Sulawesi Selatan dan BPH AMAN Wilayah Tanah Luwu yang telah membantu kelancaran proses Rapat Umum dan Konsultasi Nasional di Masamba, Luwu Utara pada tanggal 18-19 September 2011, juga kepada Masyarakat Adat Rongkong di Desa Rinding Allo, Kec. Limbong, Kab. Luwu Utara, yang telah menyediakan wilayah adatnya sebagai tempat berlangsungnya Rapat Kerja II AMAN, pada tanggal 20-22 September 2011.
Kami, Masyarakat Adat Nusantara, yang mendiami wilayah-wilayah pegunungan dan hutan, hingga pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, masih terus menghadapi tantangan besar dalam berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, budaya, politik maupun wilayah dan sumber daya alam. Perkembangan pembangunan yang masih berorientasi pada peningkatan ekonomi makro mempengaruhi eksistensi, identitas dan ketahanan dari tatanan kehidupan tradisional komunitas-komunitas adat. Salah satu persoalan utama yang hingga saat ini masih menjadi persoalan berat bagi komunitas-komunitas Masyarakat Adat adalah konflik wilayah dan sumber daya alam.
Wilayah adat, yang di dalam dan di atasnya mengandung sumber-sumber agraria berupa tanah dan beragam sumber daya alam, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan Masyarakat Adat. Wilayah adat tidak hanya dipandang sebagai sumber ekonomi dan kelangsungan hidup komunitas, tetapi juga merupakan identitas; identitas suatu eksistensi yang terkandung dalam sistem nilai, baik sosial, budaya maupun spiritual, yang diwariskan secara turun temurun. Dengan nilai-nilai itu, Masyarakat Adat terus berupaya menjaga dan mempertahankan wilayah adatnya.
Upaya-upaya menjaga, melestarikan dan mempertahankan wilayah adat ini mengalami tantangan sangat berat. Selama 4 dasawarsa sejak Rejim Pemerintahan Orde Baru dan Orde Reformasi, berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan telah menyebabkan terjadinya praktek-praktek perampasan, penghancuran dan penghilangan atas wilayah adat. Umumnya wilayah-wilayah adat ini dikuasai oleh pihak lain melalui sistem perijinan yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-dulu HPH), Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Tanaman Industri (IUPHHTI-dulu HTI) dan Kawasan Pertambangan (KP). Masyarakat Adat dipaksa dan ditaklukkan oleh sistem perijinan yang menghilangkan hak-hak dasar, serta menyebabkan terjadinya pemiskinan dan kerawanan pangan.
 Kami menyatakan bahwa, Masyarakat Adat selama ini mampu mengelola dan menjaga sumber dayanya secara berkelanjutan secara turun temurun di bumi. Hubungan antara alam sebagai ibu bumi dan sumber kehidupan, dengan Masyarakat Adat sebagai penjaga alam demi masa depan anak cucu, merupakan suatu fakta yang tak terbantahkan.
 Kami menegaskan, bahwa secara universal, Hak-Hak Masyarakat Adat diakui dan dilindungi oleh Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan secara nasional diakui dan dilindungi dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18b dan 28i, Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), serta Ketetapan MPR No. 9 Tahun 2001 mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
 Oleh sebab itu, kami menyambut baik perkembangan terkait Hak-Hak Masyarakat Adat atas wilayah adat, yang ditandai dengan ditandatanganinya MoU antara AMAN dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tanggal 18 September 2011, untuk bekerjasama memastikan Hak-Hak Masyarakat Adat atas wilayah adat dalam kebijakan nasional dan administrasi negara.  Kami juga menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang pada tanggal 19 September 2011, telah mengabulkan tuntutan Judicial Review atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dengan menghapuskan pasal-pasal yang mengkriminalisasi petani dan Masyarakat Adat yang mempertahankan tanah dan wilayah adatnya dari agresi perkebunan.
Kami menyadari, masih banyak tantangan dalam memastikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat Nusantara. Oleh sebab itu, kami, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),

Terkait dengan Kebijakan Negara :
1.     Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera mempercepat proses pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) yang saat ini telah tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010-2014.
2.  Mendesak Pemerintah Indonesia untuk mencabut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, karena Undang-Undang ini telah menjadi sumber konflik dan pelanggaran HAM terhadap komunitas-komunitas Masyarakat Adat, kemudian menggantinya dengan Undang-Undang yang mengakui dan melindungi Hak-Hak Masyarakat Adat.
3.       Oleh sebab itu, Hutan Desa, HKM, HTR dan bentuk program kehutanan yang dihasilkan oleh Undang-Undang 41/1999 tentang Kehutanan, kami nyatakan, TIDAK BERLAKU di wilayah-wilayah adat.
4.     Pemerintah Indonesia harus memberikan pengakuan formal atas wilayah-wilayah adat dan membentuk suatu badan atau lembaga yang berfungsi untuk melakukan registrasi wilayah adat. BRWA harus dapat menjadi acuan dalam proses-proses registrasi wilayah adat yang dimaksud.
5.  Semua kebijakan yang terkait, atau yang akan berdampak terhadap wilayah adat dan tata kelola tradisional, sebagai contoh Peta yang dihasilkan Bakosurtanal atau kebijakan tentang Tata Ruang, harus dibuka kepada public dengan mengutamakan prinsip transparansi sesuai dengan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi.
6.     Menyerukan kepada Pemerintah Indonesia di semua tingkatan untuk tidak memberikan ijin kepada pihak manapun untuk melakukan eksploitasi terhadap hutan dan sumber daya alam yang berada di wilayah-wilayah adat tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat yang bersangkutan melalui mekanisme yang disepakati bersama.
7.       Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa atau Nama Lain yang sedang disusun saat ini, harus mengakomodir sistem-sistem adat yang berlaku di komunitas-komunitas serta otonomi asli Masyarakat Adat.
8.       Mendesak Presiden Republik Indonesia untuk segera mengeluarkan Kepres tentang Pengakuan Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) sebagai implementasi dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berikut Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaannya.
9.       AMAN mendukung proses penyusunan Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) oleh Kementrian Lingkungan Hidup sebagai implementasi dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Terkait dengan Hak dan Prinsip atas Free, Prior and Informed Consent (FPIC) :
10.   Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah berikut implementasinya di komunitas Masyarakat Adat harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip FPIC.
11.   FPIC sebagai prinsip dan hak masyarakat adat harus diketahui oleh seluruh level pemerintahan dan menjadi landasan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan serta program.

Terkait dengan Perubahan Iklim, Krisis Pangan, Energi dan REDD+:
12.   Lahan-lahan produktif, sumber-sumber pertanian dan kelautan Masyarakat Adat, sumber-sumber air dan sumber-sumber pangan organik harus dilindungi dan dilestarikan. Tanah-tanah Masyarakat Adat dan petani merupakan sumber-sumber produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional tersebut, oleh sebab itu, harus dilindungi. Hal ini disebabkan karena kedaulatan atas pangan harus menjadi tujuan Pemerintah Indonesia. Kedaulatan atas pangan tidak sama dengan ketahanan pangan. Ketahanan pangan dapat berarti Negara bertumpu pada hasil bumi atau produk-produk impor dari luar untuk memenuhi kebutuhan atas pangan, sementara kedaulatan atas pangan bertumpu pada kekuatan lokal dalam negeri, untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
13.   Pemerintah harus melindungi pangan lokal sebagai makanan pokok di masing-masing daerah dan komunitas-komunitas adat sebagai dasar dari kekuatan pangan nasional.
14.   Sebagian besar sumber energi kita saat ini masih bertumpu pada minyak bumi dan batubara. Pemerintah Indonesia harus melakukan identifikasi dan mendorong pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan, misalnya panas bumi, mikrohidro, panas matahari, atau gas dari kotoran hewan, yang dapat diakses dan dikelola oleh masyarakat adat.
15.   Masyarakat Adat harus dilibatkan dan diutamakan dalam proses-proses perubahan iklim dan REDD+, karena Masyarakat Adat sebagai pemilik wilayah adat, hidupnya sangat tergantung pada hutan. Hutan merupakan identitas Masyarakat Adat. Hilangnya hutan menyebabkan hilangnya identitas Masyarakat Adat.
16.   Menegaskan kembali, bahwa semua inisiatif untuk melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus didasarkan pada prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC), melaksanakan proses-proses konsultasi dan menjamin pelibatan Masyarakat Adat dalam proses-proses pengambilan keputusan.
17.   Menyatakan, bahwa semua inisiatif Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD) harus memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat termasuk perlindungan terhadap hak atas tanah dan wilayah adat, ekosistem dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi komunitas-komunitas Masyarakat Adat.
18.   Menyepakati dan Menegaskan kembali, bahwa tanpa jaminan atas hak-hak ini, Masyarakat Adat menolak segala bantuk implementasi REDD maupun inisiatif-inisiatif mitigasi perubahan iklim lainnya.
19.   Secara khusus, mendesak Bank Dunia yang sedang dalam proses meninjau kembali semua kebijakan-kebijakannya, untuk memastikan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, termasuk Free, Prior and informed Consent (FPIC), diakui dan dilindungi dan diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan Bank Dunia, termasuk dalam kebijakan-kebijakan terkait REDD+.
20.   Semua pendanaan internasional dan nasional yang diperuntukkan untuk REDD+ harus memastikan hak-hak Masyarakat Adat, termasuk melibatkan Masyarakat Adat dalam kebijakan, implementasi dan Monitoringnya (MRV).

Terkait dengan Pertanahan :
21.   Pemerintah harus menata kembali politik hukum sistem pertanahan dengan mencabut berbagai kebijakan pertanahan yang melanggar Hak-Hak Masyarakat Adat.
22.   Pemerintah harus menggunakan MoU antara BPN dan AMAN sebagai landasan untuk mengidentifikasi, menginventarisasi dan meregistrasi wilayah-wilayah adat
23.   President harus mengeluarkan Inpres kepada BPN untuk mencabut Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang bermasalah di wilayah-wilayah Masyarakat Adat.

Terkait dengan Departemen Sosial :
24.   Depsos harus melakukan perubahan definisi soal kemiskinan. KAT dapat mendukung perubahan situasi di Masyarakat Adat melalui program-program pemberdayaan komunitas adat, SESUAI dengan kebutuhan Masyarakat adat yang bersangkutan. Free, Prior and Informed Consent (FPIC) harus menjadi landasan dalam upaya-upaya menyusun program bersama komunitas. AMAN dapat bekerjasama dengan Dirjen KAT untuk mengidentifikasi komunitas-komunitas adat tersebut dan kebutuhan-kebutuhannya.
25.   Depsos harus menghentikan program resettlement terhadap komunitas-komunitas adat, karena program ini telah menyebabkan konflik horizontal, serta menyebabkan hilangnya sistem budaya komunitas adat yang bersangkutan.

Terkait dengan Kementrian Dalam Negeri :
26.   Sistem-sistem kepercayaan asli atau agama asli di komunitas-komunitas adat, harus diakui secara formal oleh Negara. Tidak adanya pengakuan ini telah menyebabkan terjadinya diskriminasi sosial dan politik terhadap komunitas-komunitas adat yang menganut sistem-sistem kepercayaan asli tersebut. Negara harus memberikan pelayanan yang sama dan setara bagi semua penganut agama dan pemeluk kepercayaan asli.
27.   Pemekaran-pemekaran propinsi, kabupaten/kota atau desa yang terjadi selama ini telah menyebabkan terjadinya banyak konflik tapal batas antar komunitas adat, serta menghancurkan sistem budaya dan kekerabatan di komunitas-komunitas adat. Oleh sebab itu, pemekaran propinsi, kabupaten/kota atau desa harus dilakukan sesuai prinsip-prinsip FPIC.
28.   Pemerintah harus mengakomodir penyelesaian konflik oleh komunitas-komunitas adat, terkait dengan tapal batas administrasi negara yang berada di wilayah-wilayah adat.

Terkait Hal Khusus :
29.   Mendesak Pemerintah untuk mengakui Masyarakat Adat Rongkong, termasuk Lembaga Adat, Hukum Adat dan Tanah Adatnya.
30.   Meningkatkan taraf hidup Masyarakat Adat Rongkong dengan mempercepat model-model pembangunan yang sesuai dengan keingingan Masyarakat Adat Rongkong.

Sebagai penutup dari Deklarasi ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membuat langkah-langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan konflik-konflik terkait tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah-wilayah Masyarakat Adat.
Kami Masyarakat Adat Nusantara bersedia bekerjasama dengan Pemerintah dan semua pihak yang relevan untuk mencapai pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia.
Disepakati dengan kosensus, oleh seluruh peserta Rapat Kerja II, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (RAKER II AMAN), 22 September 2011, di Desa Rinding Allo, Kec. Limbong Kab. Luwu Utara, Sulawesi Selatan. (Jopi Peranginangin/PB AMAN)

Senin, 19 September 2011

Rakernas AMAN : Wabup Minta Cabut HGU Seko Fajar


Indah Putri Indriani

JURnaL Celebes-Sabbang. Wakil Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani kembali meminta kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Seko Fajar Plantation di Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara. Pemkab Luwu Utara, Sulawesi Selatan menilai, HGU di atas lahan 23.718 hektar itu merugikan masyarakat adat yang mediami tujuh desa di Seko.
Permintaan itu disampaikan Indah Indriani pada pembukaan Rapat Kerja Nasional dan Konsultasi Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Lapangan Sabbang, Luwu Utara, Minggu (18/9/2011). Indah mengemukakan permintaan ini saat tampil sebagai narasumber Konsultasi Nasional sebelum giliran Kepala BPN Joyo Winoto menyampaikan pidato yang saat itu dilanjutkan dengan penandatanganan nota kesepahaman antara AMAN dan BPN.
Menurut Indah, semua proses pencabutan HGU PT Seko Fajar sudah direalisasikan, namun belum juga ada rekomendasi dari BPN.
Sementara Kepala BPN Joyo Winoto kepada wartawan setelah acara pembukaan Rakernas dan Konsultasi Nasional AMAN menyatakan bahwa permohonan dari Pemkab Luwu Utara untuk mencabut HGU PT Seko Fajar sudah diterima dan semua persyaratannya sudah lengkap. Namun, pihak BPN masih mengkaji permohonan tersebut sebelum mengeluarkan rekomendasi.
PT Seko Fajar Plantation memegang HGU sejak 1995. Perusahaan itu hanya satu tahun melakukan aktivitas pembibitan dan penanaman teh. Setelah itu, lahan HGU yang meliputi 85 persen luas wilayah Kecamatan Seko itu ditelantarkan hinga saat ini.
HGU PT Seko Fajar Plantation awalnya akan memanfaatkan lahannya untuk bidang perkebunan seperti teh hijau, kopi arabika, markisa dan tanaman hortikultura lainnya. Bukti penguasaan HGUnya tersendiri terlihat dalam sertifikat HGU Nomor 1/1996 tanggal 10 Agustus 1996 dengan lahan seluas 12.676 hektar dan berakhir hingga 16 Agustus 2020 sedangkan HGU yang kedua bernomor 02/1996 tertanggal 16 Agustus 1996 seluas 11.042 hektar dan berakhir tanggal 16 Agustus 2020.
Masyarakat Seko kemudian merasa resah dengan kondisi ini, karena menduga ada kepentingan lain dari perolehan HGU yang kemudian ditelantarkan ini. Atas keserahan tersebut, masyarakat adat Seko meminta Pemkab Lutra untuk mencabut HGU tersebut karena merugikan masyarakat karena wilayah yang masuk HGU untuk merupakan kawasan keloa masyarakat.
Pada tahun 2009 lalu, Pemkab Luwu Utara ketika itu masih dipimpin Bupati Luthfi A. Mutty juga telah mendesak BPN untuk mencabut HGU perusahaan itu.  (must)

AMAN : Depsos Harus Hentikan Pola KAT


JURnaL Celebes-Masamba. Seluruh peserta Konsultasi Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Minggu (18/9/2011) malam, meminta Departemen Sosial menghentikan program pemberian bantuan dengan pola memindahkan atau mengubah (resettlement ) pemukiman masyarakat adat lewat program Komunitas Adat Terpencil (KAT). Keseluruhan pengurus AMAN menilai program ini menimbulkan konflik horisontal dan hilangnya sistem budaya komunitas adat.
Dalam acara yang merupakan rangkaian dari kegiatan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN, di Hotel Remaja Indah Masamba ini, peserta mendebati narasumber Sonny W. Wanalu, Kepala Sub Direktorat Pemberdayaan KAT, Departemen Sosial.
Menurut sekitar 140 peserta konsultasi nasional AMAN yang hadir malam itu, KAT menggunakan dimenasi kemiskinan dalam menentukan katagori terhadap sebuah komunitas masyarakat adat untuk memberikan bantuan. Hal ini menyebabkan bantaun salah sasaran, tidak memenuhi kebutuhan, malah kemudian menimbulkan konflik. Di banyak kasus, bantuan KAT berupa pemukiman, kemudian tidak diterima komunitas adat karena tidak sesuai pola hidup komunitas. Program KAT kemudian hanya mengejar realisasi target proyek.
Dalam perdebatan itu kemudian peserta memberi catatan akan mendukung program KAT apabila  Departemen Sosial melakukan perubahan devinisi soal kemiskinan. Apabila KATdapat mendukung perubahan di masyarakat adat melalui program-program pemberdayaan komunitas adat sesuai kebutuhan masyarakat adat.
Peserta konsultasi nasional menekankan paling penting mekanisme KAT harus berlandaskan pada prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) atau memberi informasi yang layak sebelum mengimplementasikan program dan memenuhi penerimaan tanpa paksaan dari masyarakat adat. Jika ini terpenuhi, maka AMAN dapat bekerjasama dengan Dirjen KAT untuk mengidentifikasi komunitas-komunitas adat dan kebutuhan-kebutuhannya.
Rakernas dan konsultasi nasional AMAN berlangsung mulai 18-22 September di Masamba, Ibukota Kabupaten Luwu Utara dan Desa Rinding Allo, Kecamatan Limbong, Kabupaten Luwu Utara. Konsultasi nasional dan rapat umum dilangsungkan di Masamba, sementara rakernas dihelat di Desa Rinding Allo, sebuah kampung komunitas adat Rongkong di dataran tinggi gugusan verbek Sulawesi. (mustam arif)

Sony Keraf : Pemerintah Abaikan Kedaulatan Pangan


(Tanah Adat dan Petani Jadi Sumber Utama Pangan Nasional)

Sony Keraf
JURnaLCelebes-Masamba. Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Sony Keraf, mengkritik pemerintah karena hanya mengejar ketahanan pangan dan mengabaikan kedaulatan pangan. Akiabtnya, pemerintah hanya bertumpu pada ketersiadaan hasil bumi dan impor pangan yang justru akan mengancurkan potensi pangan-pangan lokal yang akan berdampak pada krisis pangan nasional.
Pernyataan ini disamapikan Sony Keraf pada Rapat Umum dan Konsultasi Nasional menandai pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Lapangan Sabbang, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Minggu (18/9/2011.
Tampil sebagai narasumber di hadapan sekitar 150 masyarakat adat yang memenuhi Lapangan Kecamatan Sabbang itu, Sony Keraf juga menyatakan tanah-tanah adat dan petani menjadi sumber utama produksi yang memenuhi kebutuhan pangan nasional. Karena itu dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim dan REDD+, masyarakat adat harus dilibatkan karena sebagai pemilik wilayah adat, hidup mereka sangat tergantung pada hutan. Sebagai pengawal hutan dan sumber daya alam, masyarakat adat menjadi benteng terakhir yang menjaga kelangsungan pangan masa depan.
Tentang ketahanan dan kedaulayan pangan, Sony mengatakan, kedaulatan atas pangan tidak sama dengan ketahanan pangan. Ketahanan pangan dapat berarti negara bertumpu pada hasil bumi atau produk-produk impor dari luar untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sementara kedaulatan atas pangan bertumpu pada kekuatan lokal dalam negeri, untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Jika pola ketahanan pangan terus dipertahankan, pemerintah akan merusak potensi lokal dan itu berarti merusak potensi pangan nasional.
‘’Biarkan orang NTT makan jagung, jangan dipaksa makan nasi. Biarkan orang Papua makan sagu dan jangan dipaksa makan nasi, sebab sumber kekuatan lokal mereka adalah jagung dan sagu, bukan beras. Biarkan orang Luwu Utara makan nasi dan sagu karena dua sumber pangan itu berada di sini. Kalau masing-masing daerah sudah bertumpu pada kekuatan pangan lokal masing-masing, pemerintah tidak perlu susah payah dan ironis mengimpor beras, kedele, kacang,’’ papar Sony Keraf.

Penulis buku Etika Lingkungan Hidup ini  juga mengkritik pengelolaan sumber daya energi yang hampir secara keseluruhan masih bertumpu pada minyak bumi dan batubara. Menurut Sony, pemerintah Indonesia harus melakukan identifikasi dan mendorong pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan, misalnya panas bumi, mikrohidro, panas matahari, atau gas dari kotoran hewan, yang dapat diakses dan dikelola oleh masyarakat adat.
‘’Padahal sesuai pengalaman, dua ekor sapi bisa menghasilkan energi gas untuk memenuhi kebutuhan beberapa rumah tangga, selain menghasilkan pupuk organik,’’ ungkap Sony memberi contoh.
Lahan-lahan produktif, tambah Sony, sumber-sumber pertanian rakyat, sumber-sumber air dan sumber-sumber pangan organik harus dilindungi dan dilestarikan. Sepanjang sejarah proses ini telah dilakukan masyarakat adat.
Rakernas dan konsultasi nasional AMAN berlangsung mulai 18-22 September 2011 di Masamba, Ibukota Kabupaten Luwu Utara dan Desa Rinding Allo, Kecamatan Limbong, Kabupaten Luwu Utara. Konsultasi nasional dan rapat umum dilangsungkan di Masamba, sementara rakernas dihelat di Desa Rinding Allo, sebuah kampung komunitas adat Rongkong di dataran tinggi gugusan verbek Sulawesi. (mustam arif)

Tanah Adat Bukan Sejauh Mata Memandang


Kasmita Widodo
JURnaL Celebes-Masamba. Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Kasmita Widodo menyatakan masyarakat adat saat ini harus menyadari bahwa wilayah atau tanah adat bukan lagi dapat diukur dari sejauh mata memandang alias tidak terbatas. Tanah adat saat ini tidak bisa hanya dibuktikan dengan menyatakan batas berupa gunung, bukit, pohon atau batu. Jika masyarakat adat terus beranggapan demikian, tanah-tanah adat akan terus-menerus menjadi milik negara (pemerintah) dan tak lama lagi akan habis diambil dan dimanfaatkan untuk kepentingan negara.
Karena itu, Kasmita yang menjadi narasumber pada Konsultasi Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Senin (19/9/2011) meminta kepada masyarakat adat untuk proaktif mendata dan memetakan wilayah adat masing-masing. Hanya dengan cara ini, kata Kasmita yang juga Koordinator Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), masyarakat bisa mempunyai bukti dan nilai tawar dalam upaya memperoleh pengakuan dan kepastian hukum dalam mengelola wilayah adat.
Menurut Kasmita, dalam meperjuangkan wilayah adat, masyarakat adat harus mempunyai bukti-bukti otentik atas tanah adat, tidak bisa hanya dengan kalim dengan berbatas benda berupa pohon dan batu-batu. Jamainan untuk itu bisa diperoleh jika tanah-tanah adat yang ada sekarang ini harus terpetakan.
''Tidak perlu memikirkan apakah di atas tanah itu ada hutan lindung, wilayah konsensi atau HGU. Yang penting adalah petakan saja, karena dengan memetakan bisa menjadi data untuk kemudian berupaya memastikan wilayah adat tersebut,'' papar Kasmita.
Menurut Kasmita, hingga saat ini dari 1.163 wilayah adat yang terdaftar, baru ada 56 wilayah komunitas adat yang diregistrasi dengan luas wilayah mencapai lebih dari 723 ribu hektar. Dari jumlah itu, baru ada enam wilayah yang diverifikasi atau telah tuntas menjadi peta secara konperensif. Karena itu, ke depan BRWA akan membuka kantor oeprasional di seluruh Indonesia dan Kasmita mengharapkan semua stakeholder berparan mendorong percepatan pemetaan partisipatif wilayah-wilayah adat. (must)

Minggu, 18 September 2011

AMAN dan BPN Bersepakat Jamin Tanah Adat


Kepala BPN Joyo Winoto (kiri) dan
Sekjen AMAN Andon Nababan

JURnaL Celebs-Sabbang. Masyarakat adat memperoleh jaminan dari BPN dalam memperoleh kejelasan hak atas tanah atau wilayah adat. Pada pembukaan Rapat Kerja Nasonal (Rakernas) dan Konsultasi Nasional  Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Lapangan Sabbang, Kabupaten Luwu Utara, Minggu (18/9), AMAN dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menandatangani nota kesepahaman untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat adat dalam konteks pengeolaan tanah adat.
Nota kesepahaman itu ditandatangani Kepala BPN, Joyo Winoto, dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN, Abdon Nababan, diiringi teriakan haru dan tepuk tangan bergemuruh raturan masyarakat adat serta tarian penghormatan di Lapangan Sabbang. Rakernas dan Konsultasi Nasional berlangsung 18-22 September di Masamba dan di Desa Rinding Allo, Kecamatan Limbong, Luwu Utara.
Dalam nota kesepahaman berjangka waktu lima tahun itu disepakati antara lain; mengakomodir hak-hak masyarakat adat dan wilayah adat dalam konteks pembaruan hukum pertanahan, serta pengembangan model-model reforma agraria. Sehubungan dengan itu, melakukan identifikasi dan inventarisasi keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya untuk perlindungan hukum.
Dalam noto kesepahaman itu juga disepakati AMAN dan BPN bersama-sama merumuskan mekanisme dan penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan di wilayah masyarakat adat. Selain itu, AMAN dan BPN juga akan melakukan pertukaran informasi dan pengetahuan untuk meningkatkan peran dan tugas masing-masing.
Sekjen AMAN, Abdon Nababan dalam pidato di hadapan ratusan masyarakat adat di Lapangan Sabbang menekankan AMAN menilai hanya ada tiga aspek yang menentukan ada tidaknya masyarakat adat yakni identitas, darah, dan tanah. Dari tiga aspek itu, tanah merupakan persoalan yang sangat krusial bagi masyarakt adat, karena tanah-tanah adat telah dirampas oleh pengelola negara untuk berbagai kepentingan. Padahal tanah bagi masyarakat adat bukan sekadar tempat untuk bercocok tanam, tetapi merupakan identitas spiritual, kultural dan sosial.
Sementara Kepala BPN Joyo Winoto dalam pedatonya mengharapkan kepada AMAN dan segenap masyarakat adat untuk bersama-sama mendorong reforma agraria untuk kembali menata tanah, agar tanah-tanah di negeri terutama tanah-tanah adat dapat dikelola secara adil dan proposional. Joyo Winoto mengakui selama ini ada penyelewengan dan ketidakadilan dalam implementasi hukum pertanahan, dan konflik lahan menjadi masalah yang tidak pernah selesai. Karena itu, menurut Kepala BPN, sekaranglah waktunya untuk menata kembali tanah di negeri ini, dan cara terbaik adalah lewat reformasi agraria, dan AMAN diharapkan menjadi salah satu lokomotif perjuangan reforma agraria. (mus)

Sabtu, 17 September 2011

Rakernas AMAN: Peserta Mulai Bedatangan


JURnaL Celebes-Makassar. Peserta Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan Konsultasi Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hari ini sudah mulai berdatangan. Direncanakan hari ini akan tiba rombongan AMAN dari Mataram, Banjarmasin, Denpasar, Baikpapan, Maraoke Papua, Ambon, Medan, Jambi, Palembang, Jakarta dan Pintianak. Sedangan malam nanti dari Manado, Bengkulu dan sebagian dari Banjarmasin.
Rakernas, seminar nasional dan konsultasi nasional AMAN akan dilangsungkan mulai 18-21 September 2011, di Masamba ibukota Kabupaten Luwu Utara, dan di wilayah adat Rongkong, Kecamatan Limbong, Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Sesuai informasi, Tim Penjempatan dari AMAN Sulsel, rombongan dari Mataram, Banjarmasin dan Denpasar rencananya akan tiba siang hari ini di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Dari Bandara Hasanuddin, rombongan langsung dijemput oleh bus yang sudah disediakan langsung melanjutkan perjalanan ke Masamba, Ibukota Kabupaten Luwu Utara yang menjadi tempat kegiatan. Perjalanan dari Makassar ke Masamba ditempuh dengan bus sekitar 9-10 jam.
Sedangkan rombongan dari Ambon, Medan, Jambi dan Palembang diperkirakan juga tiba di Bandara Hasanuddin menjelang petang dan langsung ke Masamba. Sedangkan rombongan dari Bengkulu dan Manado diperkiarakan tiba di Bandara Hasanuddin petang hari ini, juga langsung melanjutkan perjalanan ke Masamba.
Kegiatan seminar nasional/konsultasi dihelat di Masamba, ibukota Kabupaten Luwu Utara. Sedangkan rakernas akan dilaksanakan di wilayah adat Rongkong, Kecamatan Limbung, Luwu Utara.
Kegiatan seminar nasional menghadirkan pembicara antara lain Kepala Badan Pertanahan Nasional, Joyo Winoto, Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Ilyas Asaad, Kepala Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Bappenas, Basah Harnowo, dan Bupati Luwu Utara. Sedangkan konsultasi Nasional menghadirkan narasumber masing-masing mantan Menteri Nergara Lingkungan Hidup, Sony Keraf, Sekjen AMAN, Abdon Nababan, Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim. Dalam konsultasi nasional juga diisi oleh materi dari AMAN, Badan Registrasi Wilayah Adat, serta Nonette Royo dari The Samdhana Institute.
Rombongan jurnalis dan media akan berangkat sore hari ini bersama panitia pelaksana dari Makassar dan Jakarta, ke Masamba. (rizal)