Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Lebih Baik

Rabu, 10 Februari 2010

Gerhan Harus Diaudit

Kamis, 21 Januari 2010, JURnaL Celebes menggelar dialog awal tahun mengekspos hasil catatan tentang sumber daya alam, lingkungan hidup dan bencana ekologis 2009 di Sulawesi Selatan. Narasumber dialog publik ini masing-masing Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi Maluku Papua, Ridwan Tamin, Theodorus dari BPLH Pemprov Sulsel, Kusayeng Kepala BPLH Kota Makassar, dan Mustam Arif dari JURnaL Celebes, dengan moderator Asmar Exwar dari JURnaL Celebes. Diskusi dihelat di Warkop Cappo, Makassar. Berikut catatan JURnaL Celebes yaang disampaikan dalam dialog tersebut sebanyak enam bagian.

Catatan JURnaL Celebes tentang SDA, Lingkungan Hidup, dan Bencana Ekologis 2009, Di Sulawesi Selatan (1)


Luas hutan Sulsel sesuai SK Menteri Kehutanan No.434 Tahun 2009 tercatat 2.725.796 ha terdiri atas kawasan lindung 1.232.683 ha, kawasan suaka alam/pelestarian alam 851.267 ha, hutan produksi terbatas 494.846, hutan produksi tetap 124.024, hutan produksi yang dapat dikonversi 22.976 ha. Data rujukan bersumber dari Dinas Kehutanan Sulsel, sejak 2006-2007 luas hutan Sulsel tercatat 2.121.948 ha. Jika dibanding dengan data yang dikeluarkan 2009 (berarti data 2008) asumsinya ada perluasan (penambahan) kawasan hutan Sulsel 603.848 ha.
Tetapi kemudian sesuai data Bidang Pengawasan dan Perlindungan Hutan, Dinas Kehutanan Sulsel, laju kerusakan hutan (devorestasi) mencapai 10,6 persen pada 2007, sementara 2008 mencapai 30,6 persen (tinroll.com, Januari 2009). Itu berarti selama 2008 hutan Sulsel seharusnya berkurang 763.901 ha. Dengan demikian, meskipun bertambah 603.849, masih ada selisih pengurangan seluas 160.052 ha, berarti luas hutan Sulsel saat ini seharusnya 1.961.896 ha. Artinya hingga 2009, data tentang kehutanan masih belum akurat.
Lahan kritis di Sulawesi Selatan dirilis 2009 (data 2008) tercatat 682.784,29 ha. Mulai tahun 2009, setiap tahun Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan merehabilitasi lewat program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat 20.000 ha dengan dana Rp 2,5 miliar dari APBN dan dana pendamping Pemprov Sulsel (Antara, 26 Juli 2009).
Tahun 2007, Peprov Sulsel dalam kegiatan penanaman serentak di Indonesia dan gerakan perempuan tanam dan peligara pohon dilaporkan telah menanam 2.400.000 pohon. (Fajar, 29 November 2007). Pada tahun 2008, realisasi program Gerakan Nasonal Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) di Sulsel sebanyak 20 ribu ha, dengan anggaran Rp 3,8 miliar. (forestgam.web.id, Februari 2008).
Persoalannya, hingga tahun 2009, masyarakat tidak memperoleh informasi atau data riil tentang (transparan), di mana jutaan pohon dan puluhan ribu hektar yang sudah ditanami.
Program Sulsel Go Green yang dicanangkan 15 Juni 2008, progresivitasnya mewarnai aksi-aksi lingkungan selama 2009. Demikian, tahun 2009 boleh dikatakan menjadi tahun penanaman pohon, bukan hanya di Sulsel, tetapi hampir di semua daerah di Indonesia memanfaatkan isu perubahan iklim dan lingkungan yang menjadi isu global.
Berbagai daerah kemudian menerjemahkan program ini dengan nama berbeda-beda, misalnya Makassar dengan Green and Clean. Yang dicapai selama 2009, belum lebih dari kuatitas hingar-bingar menanam pohon. Tidak ada data riil, tetapi cukup banyak pohon yang ditanam. Di ujung 2009, pencanangan One Man One Tree sesuai laporan berhasil menanam 7000 pohon (6000 dibagikan) dan 1000 pohon ditanam di tempat.
Tahun 2009, Kodan melaporkan menanam 7.600 pohon, Pemkab Bulukumba melaporkan menanam 450.000 pohon, kelompok tani di Sinjai menanam 1.500 pohon. Banyak perusahan swasta, organisasi-organisasi masyarakat melakukan penanaman pohon, jika dihitung secara keseluruah, kemungina sudah ada puluhan juta pohon yang ditanam.
Problemnya, tidak ada data atau laporan yang menghitung berapa pohon yang jadi. Yang terekspos ke masyarakat hanya berapa pohoan yang ditanam jumlah pohon yang ditanam.
Perlu membumikan ‘Go Green’ tidak sekedar berkutat pada seremoni penanaman pohon, pajangan-pajangan baliho yang sloganistik. Sudah waktunya realisasi rill membangun kesadaran kolektif untuk pentingnya menanam dan memlihara pohon, denngan memberdayakan masyarakat. Karena itu, Gerhan perlu diaudit lapangan secara objektif dan benar. (m)

Pembalakan Liar Masih Marak

Catatan JURnaL Celebes tentang SDA, Lingkungan Hidup, dan Bencana Ekologis 2009, di Sulawesi Selatan (2)

Selama 2009, kasus pembalakan liar (illegal loging) masih terjadi di Sulsel. Tidak ada data rinci, tetapi JURnaL Celebes lewat pemberitaan berbagai media tercatat 26 kasus di berbagai daerah.

Di kabupaten Enrekang terjadi delapan kasus , kemudian Gowa enam kasus, Wajo empat kasus, Jeneponto dan Palopi masing-masing dua kasus, Bone, Sidrap, Luwu Timir, Tana Toraja dan Barru masing-masing satu kasus.

Kasus illegal loging umumnya terjadi dalam skala kecil yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan hutan, kemudian mereka ditangkap aparat.

Ada backing dari petugas atau pengusaha atau pihak-pihak yang memiliki kekuatan, bukan warga setempat. Konsekuensinya, jika terjadi penangkapan, maka warga yang kemudian menjadi tersangka, bukan backing mereka, kemungkinan ada kesepakatan atau karena terpaksa.

Umumnya kasus illegal loging berupa penangkapan terhadap para pelaku yang mengangkut katu tersebut. Dalam kondisi ini rawan sogok menyogok. Di Gowa misalnya, ada kapolsek yang diperiksa karena disuga menerima sogokan. Di Wajo, Kepala Dinas Kehutanan juga diperiksa sebagai saksi dalam kasus illegal loging.

Masyarakat terjebak atas ketidaktahuan mereka terhadap status lahan mereka yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung. Ketika mereka menebang kayu yang ditanam/dipelihara sendiri, malah ditangkap dengan tuduhan merambah. (m)


Rusaknya Pesisir dan Laut

Catatan JURnaL Celebes tentang SDA, Lingkungan Hidup, dan Bencana Ekologis, di Sulawesi Selatan 2009 (3)

Ada dua sumber daya alam di pesisir dan laut hingga 2009 mengalami degradasi cukup parah yakni hutan bakau (mangrove) dan terumba karang. Data dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa 90 persen hutan mangrove di Sulsel mengalami kerusakan cukup parah. Data dari Bapedalda saat ini hutan bakau tersisa 26.000 ha dari 214.00 ha yang tersisa.
Sesuai data dari Dinas Kehutanan Sulsel, habitat hutan mangrove di Sulsel tercatat 132.900 ha, dan mengalami kerusakan cukup parah. Kerusakan umumnya diakibatkan oleh over eksploitatif atau konversi (alihfungsi) menjadi areal tambak, pemukiman dan areal industri. Kasus terakhir, di awal tahun ini, adalah alihfungsi hutan bakau menjadi areal pariwisata di Selayar.
Data dari Dinas Kehutanan, sampai 2009, Pemprov Sulsel sudah merehabilitasi 5.920 ha melalui program Gerhan. Sementara Bapedalda menyatakan tingkat keberhasilan menekan laju dovorestasi bakau hanya sekitar 10 persen, karena bebagai kendala yakni yakni faktor alam dan kurangnya pemberdayaan masyarakat.
Tahun 2009, Dinas Kelautan dan Perikanan merilis data September 2009, 55 % terumbu karang di Sulsel mengalami kerusakan parah. Laju kerusakan rata-rata pertahun termasuk tahun 2009 seluas 57,6 ha. Wajo mencapai peringkat pertama kerusakan terumbu karang denan mencapai 70 persen dari terumbu karang yang tersisa.
Kerusakan cukup parah juga terjadi untuk terumbu karang di gugusan kepulauan spermonde.
Umunya kerusakan diakibatkan pencemaran limbah rumah tangga dan industri, pengaruh perubahan iklim, serta penangkapan ikan tidak ramah lingkungan. Sementara rehabilitasi terumbu kurang mendapat perhatian seperti kerusakan hutan. (mu)

Revitalisasi dan Reklamasi

Catatan JURnaL Celebes tentang SDA, Lingkungan Hidup, dan Bencana Ekologis 2009, di Sulawesi Selatan (4)

Selama 2009 tiga proses alihfungsi ekologis yang menuai sorotan, yakni revitalisasi Lapangan Karebosi yang berkesinambungan tahun sebelunya , Proyek Center Point of Indonesia (CPI), dan Reklamasi Buloa, semua di Kota Makassar.

Revitalisasi Karebosi bukan hanya mengalihfungsi areal resapan menjadi area komersil, tetapi juga kemudian menimbulkan masalah sosial, karena fungsi sosial Karebosi sebagai area publik perlahan-lahan dihilangkan mengikuti kemauan investor . Revitalisasi Karebosi menjadi salah satu contoh pembangunan mencoba menyampingkan aspek-aspek ekologi, bahkan aspek ekologis dikapitalisasi ke dalam ekspansi investasi yang mengubah fungsi publik menjadi fungsi privat.

Pembangunan CPI menuai sorotan karena megaproyek ini akan secara ekstrim mengubah fungsi-fungsi ekologis di sepanjang pantai Makassar. Proyek ini akan menutup areal muara Sungai Jeneberang, lalu kemana nantinya 30 juta kubik sedimen lumpur dari Jeneberang? Bagaimana dengan pola gelombang datang dari selat Makassar, bagaimana menjaga kedalaman Pelabuhan Makassar.

Karena CPI harus memiliki Amdal yang konprhensif. Disamping itu, harus punya studi kelakayan yang akurat.

Reklamasi Buloa, pergerakannya seperti ‘aksi siluman’. Tidak ada informasi, diam-diam tiba-tiba ada dan sebagian areal laut sudah tertimbun. Kemdian menimbulkan reaksi masyarakat karena reklamasi ini secara ekologis merusak lingkungan berupa mangrove terumbu karang di kota Makassar yang tersisa, juga sebagai ‘paru-paru’ penyerap karbon lepasan kawasan industri. Ekosistem pantai terancam, sekaligus dampak sosial terhadap masyarakat nelayan atau masyarakat di sekitar lokasi proyek.

Kebiasaan buruk dalam pembangunan kita adalah mengakali Amdal. Idealnya, proyek pembangunan berdasarkan analisis dampak lingkungan, tetapi yang sering terjadi Amdal menyesuaikan pembangunan. Akhirnya Amdal dikondisikan sesuai kehendak pembangunan atau investor. (m)

Ekspansi Pertambangan

Catatan JURnaL Celebes tentang SDA, Lingkungan Hidup, dan Bencana Ekologis, di Sulawesi Selatan 2009 (5)

Tahun 2009, Sulawesi Selatan menjadi salah satu daerah primadona pertambangan. Sesuai informasi yang diberitakan Harian Fajar, hingga 2009, ada 60 izin pengelolaan potensi tambang masing-masing Luwu dengan 11, Maros dengan Maros tujuh izin, Bone dan Toraja masing-masing enam izin, Luwu Timur dan Barru masing-masing lima izin, Pangkep 4mpat izin, Jeneponto dan Palopo masing-masing dua izin, kemudian Gowa dan Takalar masing-masing satu izin.
Persoalannya adalah sinergitas antara instansi yang berwewenang yakni pemerintah lokal, dinas pertambangan, dinas kehutanan, dan lingkungan hidup, perdagangan industri , yang kerap kemudian kontra dengan lingkungan hidup.
Dalam kondisi ini, konsistensi terhadap peraturan dan pertimbangan kearifan lingkungan dan kepentingan masyarakat tidak boleh diabaikan. (m)

Bencana Ekologis

Catatan JURnaL Celebes tentang SDA, Lingkungan Hidup, dan Bencana Ekologis 2009, di Sulawesi Selatan (6)

Sesuai penelitian JURnaL Celebes, akhir 2008, hampir semua wilayah di Sulawesi Selatan rawan bencana dengan domian bencana banjir, longsor, kebakaran, angin kencang, abrasi di wilayah pesisir.

Selama 2009 JURnaL Celebes mencatat beberapa bencana antara lain : longsor di Simbuang Toraja menewaskan 2 waga , 23 Januari 2009. Longsor kembali terjadi Tinggimoncong, Gowa, menyebabkan satu warga tewas dan menimbun tiga rumah warga.

Selama Feruari 2009, banjir menggenangi beberapa wilayah antara lain Enrekang, Maros, Pangkep. Banjir/longsor di Makale Tana Toraja menewaskan 6 warga, menimbun puluhan rumah warga dan memutuskan akses jalan raya, 31 Mai 2009.

Sebelumnya 22 Mei 2009 banjir juga menggenangi sebagian Kota Palopo. Kemudian longsor di Kecamatan Batang Barat, Kota Palopo, 18 November 2009 mengibatkan 13 warga tewas, memutus jalan poros antara Palopo-Toraja. Tanggal 19 Desember 2009, longsor di Enrekang menimbun sebuah gedung sekolah SMA.

Sesuai asesmen JURnaL Celebes, hampir sebagian besar masyarakat di wilayah bencana, di Sulawesi Selatan, memiliki kerentanan tinggi, kapasitas adaptasi yang rendah, dan cenderung pasrah karena tidak ada alternatif untuk menghindar. Karena itu, upaya meminimalisir risiko bencana sangat rendah, bahkan tidak ada, pada masyarakat di wilayah rawan bencana.

Penanggulangan bencana dari pemerintah-pemerintah daerah, cenderung menunggu datangnya bencana yang konsentrasi pada tanggap darurat. Penanggulagan bencana tekesan mengabaikan manajemen risiko yakni kesiap-siagaan, pencegahan dan mitigasi. Disamping itu, minimnya pemberdayaan masyarakat di wilayah rawan bencana, serta motivasi bagi sebagian warga yang sudah memiliki daya adaptasi dengan bencana. (m)

Launching Film JURnaL-Dishut Sulsel

Film dokumenter dengan judul Meretas Pemberdayaan di Karaenglompo dilaunching dan didiskusikan, 16 Januari 2010, Warkop 76 Makassar. Film yang mengisahkan konflik kehutanan di Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Gowa, Maros dan Sinjai ini dibuat atas kerjasama JURnaL Celebes (Devisi JURnaL Film) dengan Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan.

Film yang diproduksi akhir 2009 ini ceritanya dirajut melalui proses pemertaan partisipatif di tiga Gowa, Maros dan Sinjai yang berada di areal lereng Gunung Bawakaraeng dan Gunung Lompobattang yang sering diakronimkan Karaenglompo.

Penetapan batas status hutan oleh pemerintah melaui program Tata Guna Hutan Kesepakatan (1980-an) dan Padu Serasi (1990-an) di wilayah Karaenglompo, ternyata tidak diketahui masyarakat. Masyarakat tidak pernah tahu, kalau sebagian kebun mereka telah ditetapkan menjadi hutan lindung. Ketika masyarakat hendak mengambil hasil kebun mereka, masyarakat ini harus berhadapan dengan aparat keamanan. Masyarakat dituduh merambah. Persoalan ini menjadi konflik berkepanjangan antara masyarakat dengan pemerintah lokal lewat aparat keamanan.

Kesalahan yang dilakukan pemerintah karena menetapkan staus lahan dengan tidak melibatkan masyarakat. (m)

Kamis, 04 Februari 2010

14 Provinsi Tidak Dapat Jatah Tebang

Dalam tahun 2010 hanya ada 19 provinsi yang mendapat jatah tebang kayu bulat, atau 14 provinsi sudah tidak diberi jatah tebang. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang tidak sudah tidak memperoleh jatah tebang. Dengan demikian, jika ada penebangan atau pengiriman kayu bulan di daerah ini, bisa dipastikan adalah ilegal.

Sesuai Surat Keputusan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (BPK) Departemen Kehutanan, No.233/VL-BPHA/2009 tanggal 3 November 2009, pemerintah membatasi jatah tebang lewat Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan untuk Hutan Alam (IUPHHK-HA) dengan total 9.100.000 meter kubik di 19 provinsi.

Daftar Propinsi yang mendapat jatah tebang adalah :

  1. Sumatera Utara : 50.000 meter kubik
  2. Sumater Barat : 200.000 meter kubik
  3. Riau : 150 ribu meter kubik
  4. Jambi : 50 ribu Meter kubik
  5. Bengkulu : 20 ribu meter kubik
  6. Sumatera Selatan : 20 ribu meter kubik
  7. Kalimantan Barat : 500 ribu meter kubik
  8. Kalimantan Tengah : 2,1 juta meter kubik
  9. Kalimanatan Timur : 2,450 meter kubik
  10. Kalimantan Selatan : 60 ribu meter kubik
  11. Sulawesi Utara : 35 ribu meter kubik
  12. Gorontalo : 60 ribu meter kubik
  13. Sulawesi Tengah : 125 ribu meter kubik
  14. Sulawesi Tenggara : 80.000 meter kubik
  15. Sulawesi Barat : 50.000 meter kubik
  16. Maluku : 350.000 meter kubik
  17. Maluku Utara : 350.000 meter kubik
  18. Papua : 1.225.000 meter kubik
  19. Papua Barat : 1.225.000 meter kubik. (m)