Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Lebih Baik

Selasa, 31 Mei 2011

Masyarakat Adat Bonto Katute Tolak Perusahaan Tambang

JURnaL Celebes-Sinjai Borong. Masyarakat adat Bonto Katute atau Barambang-Katute, Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan mendiskusikan pengelolaan sumber daya alam selama dua hari yakni 30-31 Mei 2011. Kegiatan yang dilaksanakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini diikuti komunitas masyarakat di tiga wilayah kelola.
Dalam diksusi tersebut, masyarakat adat Barambang-Katute kembali menyatakan kembali ke aturan adat dalam mengelola sumber daya alam. Selain itu mereka juga menyatakan menolak keberadaan perusahaan tambang emas di wilayah mereka yang saat ini sudah melakukan persiapan ekplorasi.
Menurut mereka, pengalaman menujukkan hampir semua perusahaan tambang tidak memberikan kemakmuran bagi masyarakat sekitar, malah membawa bencana kemiskinan, konflik sosial, dan kerusakan lingkungan yang berdamak pada bencana. Keuntungan hanya dikeruk investor dan penguasa.
Diskusi yang merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan AMAN Sulsel dalam upaya penguatan kapasitas masyarakat adat ini juga diikuti anggota Dewan Adat AMAN Sulsel dari Bonto Katute, Ismail, dan kepala Dusun Bolalangiri yang baru terpilih, Rudi. Dari AMAN Sulsel, masing-masing Ketua BPH Sardi Razak, Yayat, Nirwana, dan Rizal dari JURnaL Celebes.
Peserta diskusi sepakat mengembalikan aturan adat dalam mengelola sumber daya alam seperti sebelumnya. Menurut warga, Dinas Kehutanan Sulsel juga mengakui, kalau pengelolaan sumber
daya alam dilakukan berdasarkan tata kelola masyarakat adat, maka tidak akan merusak sumber daya alam.
Berbicara tentang pengelolaan sumber daya alam dan pemetaan, Kepala Dusun Bolalangiri mengatakan, seandainya kepala dusun yang berwewenang menandatangani peta, maka sudah saya tandatangani yang sudah dibuat.
Menurut Rudi, peranan peta sangat penting agar masyarakat tahu batas wilayahnya.
Dalam diskusi itu, Ketua BPH AMAN Sulsel Sardi Razak mengatakan, masyarakat adat punya sejarah asal-usul, lembaga adat, dan aturan adat. Kebersadaan masyarakt adat sudah diakui
dunia. (rizal-melaporkan dari Bonto Katute)

Senin, 30 Mei 2011

Masyarakat Adat di Bone Hadapi Problem Status Hutan

JURnaL Celebes-Makassar. Tim Assessment dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan telah melaksanakan assessment untuk verifikasi komunitas adat pada
dua kecamatan di Kabupaten Bone, mulai 25-28 Mei 2011. Dalam perjalanan assessment (pendataan) itu, tim antara lain menemukan masalah status hutan yang dihadapi komunitas adat Pakalangpoko di Kecamatan Mare.
Hedar Tasaka dan Sabry yang melakukan assessment di Bone, menjelaskan, komunitas adat yang dikunjungi, di antaranya perlu verifikasi kembali karena sesuai data dan keterangan yang
diperoleh, komunitas adat yang diverifikasi, sudah tidak memiliki lagi bukti historis dan prasyarat sebagai masyarakat adat. Misalnya, sudah tidak memiliki lagi struktur dan lembaga adat, wilayah adat, pranata sosial, hukum adat. Meskipun komunitas-komunitas adat tersebut mengaku mereka adalah masyarakat adat, dan masih tetap melaksanakan ritual-ritual dan memiliki dan menjalankan kearifan-kearifan lokal.
Di Kecamatan Mare, Hedar, Sabry dan Muhlis melakukan assessment dengan komunitas adat Pakalangpoko di Dusun Pakalangpoko, Desa Mattiro WaliE. Sesuai hasil assessment, komunitas adat di desa ini masih memiliki bukti-bukti historis, baik dalam bentuk pranata sosial, struktur dan lembaga adat, meskipun saat ini pola kehidupan itu tidak diterapkan secara formal.
Komunitas ini mengaku masih memiliki wilayah dan hutan adat, tetapi klaim wilayah adat mereka itu saat ini telah ditetapkan menjadi hutan lindung oleh pemerintah.
Penetapan hutan lindung inilah yang saat ini menjadi problem yang dihadapai masyarakat adat Pakalangpoko. Kepala Desa Mattiro WaliE, Mansyur, SE mengemukakan, sebagian besar wilayah desanya telah ditetapkan menjadi areal hutan lindung, termasuk kebun-kebun cingkeh milik masyarakat. Penetapan ini dilakukan sejak tahun 1990-an kemungkinan lewat program Padu Serasi Departemen Kehutanan.
Persoalannya, sebagian besar masyarakat setempat tidak mengetahui atau tidak dilibatkan oleh pemerintah dalam proses penetapan status hutan di wilayah ini. Bahkan rumah kepala desa
sendiri pun masuk dalam status hutan lindung. Selain itu, kawasan itu juga kemudian tidak bisa lagi membuka akses masyarakat secara layak, sehingga menanam pohon pun di halaman rumah pun harus seizin pemerintah.
Dalam dialog dengan tim dari AMAN, Mansyur menyatakan masyarakat mengharapkan jika ada upaya untuk meninjau kembali wilayah kelola masyarakat adat yang kini justru menjadi hutan
lindung. Mereka setuju jika AMAN menginisiasi pemetaan partisipatif di wilayah mereka.
Sedangkan masyarakat Dusun Pakasalo, Kecamatan Ponre yang juga diassessment masih mengaku sebagai masyarakat adat. Tetapi warga di dusun ini tidak lagi memiliki wilayah adat karena sebagian sudah masuk dalam areal perkebunan tebu milik PT Perkebunan Nusantara X untuk pabrik gula Arasoe. Komunitas ini menurut Hedar dan Sabri, cenderung untuk tidak mempersoalkan lagi eksistensi mereka sebagai masyarakat adat.
Tim Assessment AMAN Sulawesi Selatan terdiri atas Hedar, Sabri dan Mukhlis ini juga kemudian mampir di komunitas masyarakat adat Canni, Kecamatan Bonto Canni. Tidak terduga, ternyata komunitas adat di Desa Canni sudah membentuk lembaga adat sebagai upaya merevitalisasi komunitas adat Canni, atas inisiatif masyarakat adat setempat bersama Andi Iwan, anggota DPRD Bone yang berasal dari komunitas adat tersebut. (m)

Jumat, 27 Mei 2011

Forum Masyarakat Dataran Tinggi Palopo Dideklarasikan

JURnaL Celebes-Palopo. Deklarasi Kerjasama Kelurahan Dataran Tinggi Kota Palopo yang tergabung dalam Format (Forum Masyarakat Dataran Tinggi) Kota Palopo dideklerasikan, Rabu (25/5/2011). Deklarasi ini dilakukan setelah melalui tahapan-tahapan sebelumnya yang dilakukan pada awal tahun 2011 ini.

Format Kota Palopo diharapkan menjadi wadah perjuangan masyarakat dataran tinggi Kota Palopo dalam memperjuangkan Kedaulatan atas Hak-Hak Mereka terutama Kedaulatan atas Sumber Daya Alam.

Format Kota Palopo yang memiliki jaringan forum warga di setiap kelurahan yang diberikan amanah pada hari Deklarasi untuk menuntaskan beberapa konflik yang dialami terkait pengelolaan sumber daya alam di wilayah dataran tinggi Kota Palopo.

Lima keluarahan yang bergabung dalam Format ini merupakan representasi tiga komunitas adat yang ada di Tana Luwu, yakni : Kelurahan Padang Lambe, Kelurahan Battang dan Battang Barat (Komunitas Adat Ba'tan). Kelurahan Kambo (Komunitas Adat Kambo), Kelurahan Latuppa (Komunitas Adat Latuppa)

Format Kota Palopo melalui Musyawarah Dewan Utusan masing-masing Kelurahan Menetapkan Irsal Hamiad/Komunitas Adat Kambo sebagai Ketua Dewan Format Kota Palopo. (Ancha/AMAN Tana Luwu)

Senin, 23 Mei 2011

PBB Launching Badan Kemitraan Masyarakat Adat

JURnaL Celebes-New York. Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Kemitraan Masyarakat Adat (United Nations Indigenous People’s Partnership/UNIPP) telah diluncurkan, Jumat (20/5/2011) di New York, Amerika Serikat. Dalam siaran persnya, Raja Devashish Roy, salah satu anggota Forum Parmanen UNIPP menyatakan, untuk tahap awal implementasi UNIPP menggunakan dana 1,5 juta dollar yang disediakan Pemerintah Denmark. Dengan anggaran tersebut, UNIPP bekerja di berbagai negara untuk berpromosi dan membangun dialog kemitraan.

"Program awal ini akan mengembangkan kapasitas pemerintah dan organisasi masyarakat adat. Akan membangun kemitraan dengan pengambil kebijakan di berbagai negara dengan masyarakat adat. Kemitraan akan memperluas upaya global dilakukan oleh Forum Permanen,’’ jelas Roy lewat press release yang dipublikasikan http://wwwupdate.un.org/News/briefings/docs/2011/110520_Indigenous.doc.htm.

Roy mengatakan, inisiatif ini bertujuan untuk mengkoordinasikan dan memperdalam sistem kerja PBB tentang hak-hak masyarakat adat di berbagai negara, dengan shaing pengalaman bersama Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR ), Program Pembangunan PBB (UNDP), United Nations Children's Fund (UNICEF) dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).

Carsten Staur, Perwakilan Tetap Pemeritah Denmark mengatakan, kemitraan ini untuk membangun aliansi global yang inovatif dengan potensi besar untuk memajukan hak-hak masyarakat adat. Ini akan memberi dampak dan signifikansi yang lebih luas di seluruh penjuru dunia, sebagai platform untuk penyebaran pengetahuan tentang komunitas-komunitas masyarakat adat di seluruh dunia.

Dana sebesar 1,5 juta dolar digunakan untuk pendanaan hingga 2012, selain itu juga akan mendorong lembaga-lembaga donor lain untuk ikut berpartisipasi. "Kami berharap dengan anggaran awal ini, mampu merealisasikan program UNIPP yang nyata di lapangan," papar Staur.

Ivan Simonovic, Asisten Sekretaris-Jenderal untuk Hak Asasi Manusia, mengatakan, degan pola kemitraan ini, akan memungkinkan PBB berperan maksimal dalam meringankan berbagai pihak memberikan jasa kepada masyarakat adat dan menyediakan dukungan financial.

Cleo Doumbia-Henry, Direktur ILO untuk Standar Perburuhan Internasional mengatakan, badan tersebut memiliki sejarah panjang bekerja dengan masyarakat adat, berdasarkan Konvensi ILO No 169, yang dilengkapi dengan Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat. "Ini tepat bahwa sebuah kemitraan mencoba untuk mengambil dua instrumen bersama-sama. Ini adalah kesempatan unik untuk bekerja sama," ungkap Henry.

Abdel-Rahman Ghandour, Wakil Direktur UNDP/ Pjs Direktur Komunikasi mengatakan, UNIPP akan membantu melaksanakan Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan alamat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Forum Permanen selama beberapa tahun terakhir. Grup UNDP akan membawa pengalaman dalam mengoordinasikan program PBB di tingkat negara.

Seperti diketahui, Konvensi No 169 adalah sebuah instrumen internasional yang telah diratifikasi sekitar 20 negara sejak adopsi pada tahun 1989. Konvensi ini berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat dan suku. Negara yang meratifikasi membutuhkan waktu satu tahun untuk menyelaraskan dalam undang-undang, berbagai kebijakan, serta program.

Doumbia-Henry menyatakan dengan adanya UNIPP, semua institusi di PBB akan membantu upaya masyarakat adat untuk melindungi kekayaan intelektual terkait dengan sumber daya alam mereka. Ia menambahkan, tantangan utama adalah penguatan kapasitas masyarakat adat, serta menciptakan instrument hukum untuk melindungi hak-hak masyarakat adat.

Mr Staur menambahkan, UNIPP akan membantu membangun kemitraan organisasi yang ada dengan pemerintah."Kami memiliki akses di tingkat negara tentang bagaimana berinteraksi dengan pemerintah," kata Staur.

Ketika ditanya mengapa United Nations Environment Programme (UNEP) tidak masuk menjadi bagian dari Kemitraan, Mr Ghandour mengatakan UNEP memiliki pengalaman luas di bidang lingkungan hidup. Namun, sebagai sesama badan PBB. UNIPP akan masuk dalam kerjasama aliansi untuk seluruh badan PBB. (m)