Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Lebih Baik

Senin, 27 Juni 2011

Pemantau Independen Butuh Kejelasan Wewenang

JURnaL Celebes-Makassar. Pemantau independen kehutanan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.38 Tahun 2009 membutuhkan kejelasan wewenang. Sebab, dalam implemenasinya, para pemantau independen menemui berbagai kendala di lapangan, di antaranya kesulitan mengakses informasi pada manajemen industri, serta minimnya pengetahuan dan perhatian terhadap aturan verifikasi legalitas kayu tersebut.
Dalam workshop identifikasi data dan informasi serta strategi pemantauan yang dilaksanakan di Makassar, Senin (27/6/2011), jaringan pemantau dan parapihak mengindentifikasi berbagai problem dalam upaya pemantauan yang dilaksanakan beberapa bulan terakhir ini, berkaitan dengan sosialisasi pemantau legalitas kayu. Kegiatan ini dilaksamakan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) kerjasama dengan Telapak, Forest Watch Indonesia (FWI), dan JURnaL Celebes yang didukung Multystakeholder Forestry Programme.
Kegiatan yang merupakan sharing pengalaman pemantau JPIK dan parapihak ini sempat menyoroti legalitas pemantau independen yang dinilai sangat lemah. Pembentukan pemantau independen dalam diskusi dalam pertemuan ini bahkan diandaikan seperti anak yang diakui tetapi tidak mau dipelihara.
Lemahnya legalitas pemantau independen ini juga kemudian melemahkan proses pemantauan di lapangan. Manajemen industri yang dipantau tampaknya tidak berkenaan menerima pemantau dengan selalu menunut legalitas tertulis dari pihak kehutanan. Industri kehutanan juga resisten terhadap pemantau, karena masih sangat minimnya pengetahuan tentang Sistem Verifikasi Legaliotas Kayu (SVLK). Minimnya pengetahuan dan keberpihakan ini justru ada pada hampir semua institusi terkait SVLIK.
Persoalan lain, adalah akses terhadap pembiayaan. Pemerntah mengakui pembentukan pementau independen dalam sistem legalitas kayu, tetapi kemudian hanya sampai pada pengakuan. Pertanyaan kemudian, jika ada pemantau atau lembaga pemantau, dana dari mana digunakan untuk melakukan pemantauan. Kondisi ini dianggap resisten karena pemerintah terkesan melibatkan masyarakat degan pengakuan setengah hati.
Akses informasi sebenarnya bisa disandingkan antara Peraturan Menhut 38 dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Namun, ini bisa menemui kendala ketika industri yang beroperasi tidak menggunakan dana dari pemerintah.
Selain peningkatan kapasitas pemantau dan lembaga pemantau juga dinilai mempunya peran penting. Sistem keamanan dalam pemantauan juga menjadi bahasan dalam diskusi yang dilaksanakan selama dua hari tersebut.
Karena itu, persoalan-persoalan ini akan menjadi rekomendasi dari jaringan JPIK wilayah Indonesia Timur ini para pertemuan rewiew yang akan dilaksakan awal Juli 2011.
Pertemuan konsolidasi ini dihadiri pemantau dan focal point JPIK dari Sulawesi, Maluku dan Papua, Dinas Kehutanan Sulsel, Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP). Sedangkan satu Industri PT Katingan Timber Celebes tidak memenuhi undangan kegiatan ini. (m)

Rabu, 22 Juni 2011

Tokalekaju Dikepung Perusahaan Tambang

Lima Perusahaan, Satu Alamat, Satu Direktur

JURnaL Celebes-Luwu. Kawasan dataran tinggi Tokalekaju yang berada di Kabupaten Luwu Utara, yang merupakan kawasan ekologis sangat strategis di jantung Sulawesi, kini mulai dikepung perusahaan tambang. Saat ini ada tujuh perusahaan yang sedang ekplorasi. Hal yang menarik, di antara tujuh perusahaan tersebut, lima perusahaan memiliki alamat kantor yang sama dengan satu direktur perusahaan.
Kawasan Tokalekaju seara administratif berada di tiga kecamatan masing-masing Kecamatan Seko, Limbong (Rongkong) dan Rampi. Kawasan yang dihuni masyarakat adat ini merupakan penyangga ekologis yang tersisa di wilayah Luwu Sulawesi Selatan, sebagian wilayah Sulawesi Tengah dan sebagian Sulawesi Tenggara.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, Bata Manurun menjelaskan, Senin (19/6/2011), ia diundang Dinas Pertambangan Kabupaten Luwu Utara untuk meninjau rencana baru pembukaan tambang di tiga kecamatan dalam kawasan Tokalekaju.
Selama dua hari dilakukan pertemuan dengan masyarakat Tokalekaju di Rongkong, dihadiri masyarakat serta tokoh adat di tiga kecamatan. Pihak Dinas Pertambangan Luwu Utara kepada masyarakat mengemukakan rencana pemerintah daerah akan mendatangkan lagi investor untuk mengelola potensi tambang di kawasan Tokalekaju.
Namun, semua tokoh adat dan tokoh masyarakat dalam pertemuan tersebut menyatakan menolak investor pertambangan. Mereka memberi alasan, perusahaan tambang tidak selalu membawa kemakmuran, tetapi hampir semua perusahaan tambang justru mendatangkan konflik dan kesingsaraan masyarakat. Masyarakat lokal atau masyarakat adat terusir karena ekspansi perusahaan tambang. Menurut masyarakat, perusahaan tambang juga akan merusak lingkungan hidup, keanekaragaman hayati dan hutan yang menjadi sumber kehidupan masyartakat lokal.

Lima Perusahaan, Satu Direktur
Sesuai data AMAN Tana Luwu, saat ini ada tujuh perusahaan sedang eksplorasi di wilayah Tokalekaju. Dari tujuh perusahaan tersebut, lima perusahaan memiliki alamat kantor yang sama dengan nama direktur yang sama.
Lima perusahaan itu berkantor di Wisma Kosgoro Lantai 15, Jl. Muh. Thamrin, Jakarta. Lima perusahaan itu juga sama-sama mempunya satu nama direktur yakni Hendry Sitanggang.
Kelima perusahaan itu masing-masing PT Seko Bukit Mas, PT Sapta Cipta Kencana, PT Andalan Prima, PT Trisakti Panca Sakti, dan PT Samudra Raya. Lima perusahaan ini sama-sama beroperasi di Limbong dengan menambang biji besi.
Sedangkan dua perusahaan lainnya adalah PT Aneka Tambang yang menambang emas di Seko, PT Citra Palu Mineral yang mengekplorasi emas di Rampi. (m)

Sabtu, 18 Juni 2011

Pusat Pembelajaran Komunitas Pemulung Ludes

JURnaL Celebes-Makassar. Musibah menimpa Komunitas Pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, Tamangapa, Makassar, Sulawesi Selatan. Bangunan Sanggar Kegiatan Warga (SKW) TPA di Kelurahan Tamangapa yang didalamnya ada studio radio komunitasTeras FM dan perpustakaan warga, ludes dilalap api Jumat (17/6/2011) saat umat muslim sedang menjalankan salat Jumat.
Kebakaran ini terjadi bertepatan radio komunitas Teras FM berusia tujuh tahun. Teras (tempat rakyat bersuara) adalah salah satu radio komunitas paling eksis di Makassar yang telah memberikan kontribusi besar pada pembelajaran komunitas pemulung di TPA Tamangapa.

Kebakaran terjadi tiba-tiba sehingga tidak sempat dilakukan upaya memadaman api, hampir semua pria dewasa di tempat sekitar sedang melaksanakan salat Jumat. Bahkan sebaghagian warga yang lain hanya menyadari setelah shalat usai dilaksanakan. Saat kejadian, studio sedang kosong dan radio dalam keadaan off.

Menurut beberapa warga yang berada di sekitarnya, kejadian ini begitu singkat hanya sekitar 20 menit saja, sehingga tidak ada yang dapat di perbuat. Hal ini diperparah kurangnya sumber air yang ada disana satu-satunya sumber air yang ada adalah air PDAM juga sedang tidak mengalir.

Beberapa pengelola radio pingsan, sementara anggota komunitas yang lain menangis sejadi-jadinya menyaksikan kejadian tersebut. ” baru dua hari yang lalu kami selesai pelatihan di tempat ini”, kata Erni salah seorang anggota komunitas pemulung sambil terisak.

Selain seperangkat peralatan studio yang baru beroperasi kembali sekitar seminggu yang lalu setelah mengalami kerusakan beberapa bulan, juga terdapat komputer editing film yang masih relatif baru.

Didalam bangunan tersebut juga terdapat perpustakaan warga yang berisi lebih 2000 buku bacaan yang merupakan donasi dari berbagai pihak, baik dari masyarakat, LSM maupun pemerintah.

SKW yang didirikan oleh Yayasan Pabata Ummi (YAPTA-U) bersama warga pada tahun 2007 tersebut selama ini berfungsi sebagai pusat kegiatan pertemuan dan pelatihan bagi komunitas pemulung serta menjadi tempat belajar dan bermain bagi anak-anak mereka. Selain itu, bangunan yang terbuat dari kayu berbentuk rumah bugis ini kerap dijadikan sebagai tempat hajatan masyarakat sekotarnya seperti acara sunnatan dan kawinan.

Belum di ketahui pasti dari mana sumber api tersebut. Beberapa masyarakat menduga api bersal dari dalam bangunan.

Setelah kejadian, petugas kepolisian Polsek Manggala langsung memasang police line di lokasi kejadian dan meminta sejumbah warga untuk dibawa ke kantor polsek guna dimintai keterangan.

Kerugian ditaksir mencapai ratusan juta rupiah. Misalnya saja, peralatan studio radio komunitas TERAS FM diantaranya, 3 komputer, 2 mixer, 1 power dan pemancar, 2 UPS, 4 Mic dan HeadPone, printer serta sejumblah kelengkapan siaran lainnya, administrasi perijinan dan dokumen lainnya. Sementara ribuan buku-buku pada perpustakaan pemulung habis tidak tersisa. (m)

Kamis, 16 Juni 2011

Pernyataan Bersama Masyarakat Adat di Jerman

JURnaL Celebes. Kelompok Kontak (Contac Group) Forum Masyarakat Adat untuk Perubahan Iklim (International Indigenous Peoples Forum on Climate Change/IIPFCC) melaksanakan sesi pertemuan untuk Badan Pendukung /Rekomendasi Ilmiah dan Teknologi (Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice/SBSTA) di Bonn, Jerman, 15 Juni 2011. Dalam pertemuan difokuskan pada pembahasan ‘’sistem informasi dan perlindungan dalam REDD+’’ terkait dengan eksistensi masyarakat adat.

Pertamuan tersebut kemudian menghasilkan satu rumusan pernyataan bersama. Peserta pertemuan menekankan pada pentingnya jaminan hak-hak untuk kelangsungan hidup masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam implementasi REDD+.

Berikut pernyataan bersama tersebut :

Masyarakat adat dan komunitas lokal punya hak sebagai pemegang dan pemangku kepentingan kunci dalam konservasi berkelanjutan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati, hutanan dan ekosistem lainnya, dalam mendukung upaya permanen REDD+. Integritas sosial program dan kebijakan REDD+ terutama mengenai deforestasi dan degradasi hutan, harus menjamim penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan relevan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, serta hak mereka untuk berpartisipasi penuh dan efektif yang mengacu pada prinsip Bebas Sebelum Diinformasikan - (Free Prior Informed Consent /FPIC) dalam setiap desain, implementasi dan evaluasi REDD+.

Hutan memiliki nilai dan fungsi ganda. Hutan tidak boleh dianggap hanya sebagai penyerap karbon. Hutan merupakan bagian dari proses dan fungsi dari sistem kehidupan di planet ini. Karena itu, menyikapi kerentanan dalam perubahan iklim. Hutan adalah ruang yang dihuni oleh masyarakat adat, termasuk masyarakat yang terisolasi secara sukarela, dan dengan demikian merupakan pusat kehidupan, spiritualitas dan keanekaragaman hayati.

Untuk itu, dalam menykapi dampak perubahan iklim, sebuah sistem informasi sangat penting untuk menjamin dan melindungi hak-hak masyarakat adat serta menjamin partisipasi efektif dan penuh dari masyarakat adat , dalam semua kegiatan yang terkait impklementasi REDD+. Agar efektif, kondisi dan indikator harus dipastikan dan dipertimbangkan dalam sistem informasi tersebut.

A. Sistem informasi harus menghormati prinsip-prinsip sebagai berikut:
- Harus transparan, partisipatif, tepat waktu, akurat, dapat diakses oleh semua pihak, dan harus memberikan informasi yang lengkap dan berimbang. Untuk memastikan kredibilitas dan integritas informasi dan sistem, keduanya harus diverifikasi dan dinilai oleh badan-badan independen, dengan partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat adat;

- Masyarakat adat dapat menilai sendiri, mengevaluasi dan membuat laporan pelaksanaan pengamanan REDD+ di tingkat nasional dan lokal.





B. Sistem informasi antara lain harus memberikan penilaian dari pemenuhan efektif kondisi dan persyaratan sebagaimana diatur di bawah ini, dalam fase kesiapan dan setiap kegiatan REDD+ masing-masing:

- Dasar hukum harus sesuai dengan kewajiban internasional dan instrumen antara lain Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) dan ILO C 169;

- Hak-hak individu dan kolektif masyarakat adat harus dihormati dan dijamin dalam REDD+, program dan strategi kebijakan, serta tindakan yang dilakukan - atau akan dilakukan - harus memastikan : hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam; hak atas pengetahuan dan praktik tradisional; Hak atas penentuan nasib sendiri dan pelaksanaan hukum adat, pemerintahan dan penggunaan tanah adat dan pengelolaan hutan; Hak atas partisipasi penuh dan efektif pada pengambilan keputusan tentang hal-hal yang mempengaruhi masyarakat adat dan komunitas lokal; Hak atas penegakan hukum dan resolusi konflik melalui sistem kearifan lokal, pemantauan dan pelaporan pelanggaran; Hak atas partisipasi penuh dan efektif dan konsultasi masyarakat adat dan komunitas lokal, serta akses yang tepat terhadap informasi yang memadai sesuai budaya; Hak untuk Bebas Sebelum Diiformasikan (FPIC); Hak untuk pembagian keuntungan yang adil .

- Peran perempuan adat dalam pengelolaan sumber daya tradisional harus, diakui, didukung dan dipromosikan dan demikian juga dengan perhatian khusus pada perempuan adat, pemuda adat dan dan anak-anak.

- Adanya mekanisme dan prosedur yang adil bagi masyarakat adat dan komunitas lokal, yang dikembangkan dengan partisipasi mereka, dan langkah-langkah yang diperlukan jika ketidakhadiran mereka.

- Adanya sumber daya independen yang dapat diakses serta mekanisme pengaduan di tingkat nasional untuk menangani keluhan atau resolusi konflik. Jika mekanisme tersebut tidak ada, harus ada langkah-langkah yang akan dilakukan, serta sistem informasinya.

- Penilaian atas hambatan ekonomi dan sosial untuk hak-hak masyarakat adat, serta penilaian potensi ancaman kunci, yang ditimbulkan oleh deforestasi seperti pertanian monokultur, pertanian intensif, proyek-proyek infrastruktur skala besar, dan kegiatan ekstraktif.

- Dalam hal konservasi tradisional masyarakat adat, mata pencaharian dan praktik pertanian seperti perladangan berpindah harus juga diakui dan dihormati, tidak hahya diidentifikasi sebagai pemicu deforestasi;

Keberadaan instrumen dan undang-undang yang mengakui hak untuk pembagian keuntungan harus menjamin :



- Adanya dana yang cukup, dengan persentase tetap dari anggaran proyek REDD, untuk memperkuat kapasitas IP / LC pada semua fase REDD, dengan dana khusus untuk IP / LC untuk mengembangkan dan melaksanakan kegiatan yang bekontribusi untuk REDD +;

C. Sistem informasi harus membantu masyarakat dan donor internasional dalam mengidentifikasi persyaratan bantuan teknis, memungkinkan kegiatan dan sumber daya keuangan yang diperlukan untuk mendukung implementasi dan pemantauan perlindungan REDD+ di negara-negara yang mengimplementasikan REDD.

D. SBSTA mengusulkan rencana panduan dan inisiatif masing-masing:

1. Pertemuan kelompok ahli harus diselenggarakan di bawah SBSTA berlangsung sebelum COP17 Durban. Tujuannya adalah untuk menguraikan lebih lanjut untuk memberikan informasi tentang bagaimana perlindungan yang harus dihormati. Ini harus dilakukan dengan partisipasi masyarakat adat dan harus membangun kerja yang relevan yag dikembangkan dan diimplementasikan oleh UNREDD dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (seperti - antara lain - yang Akwe ': pedoman REDD + perlindungan terhadap keanekaragaman hayati). Lebih lanjut adalah diklarifikasi berkaitan dengan dampak penerbitan sertifikat pengurangan emisi pada hak-hak masyarakat adat, khususnya dampak pada hak atas tanah, hak kolektif, dan mata pencaharian tradisional;
2. Pertamuan kelompok Ahli SBSTA yang direncanakan pada tingkat referensi dan tingkat emisi referensi harus memperhitungkan hal-hal sebagai berikut:

i. Memastikan metodologi untuk pembentukan tingkat referensi hutan dengan memperhitugkan memperhitungkan beberapa nilai dan penggunaan hutan, serta dampak potensial terhadap keanekaragaman hayati dan masyarakat adat serta hak mata pencaharian, sehingga tidak membatasi ruang lingkup eksklusif dengan tujuan pengukuran karbon, untuk mencegah komodifikasi hutan 'untuk jasa lingkungan.

ii. Memastikan partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat adat di setiap tahap proses pengukuran semua komponen, berdasarkan pengetahuan tradisional, dan menghormati hak masyarakat adat. (m)

Kamis, 09 Juni 2011

Masyarakat Adat Rentan Terusir dari Hutan

JURnaL Celebes-Makassar. Masyarakat adat tetap akan rentan terusir dari hutan, jika pemerintah hanya mengakui keberadaan tanpa didasari undang-undang dan serius menegakkan regulasi. Selama ini pemerintah hanya sebatas mengakui keberadaan secara formalistis dengan syarat-syarat yang berat. Selama puluhan tahun, masyarakat adat terus terpinggirkan dan terusir dalam ekspansi pengelolaan sumber daya alam. Karena itu, jika pola seperti tidak berubah, masyarakat adat akan tetap terancam.

Demikian antara lain simpulan dalam diskusi buku ‘’Setelah Kami Terusir dari Hutan’’ di Warkop Kopizone, Makassar, Selasa (7/6/2011). Buku yang diluncurkan dan didiskusikan itu adalah hasil pelitian tentang masyarakat adat Ketemenunggungan Siyai, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat. Sebuah studi kasus tentang konflik masyarakat adat Siyai dengan pengelolaan Taman Nasional Bukit Baka dan Bukit Raya. Studi kasus ini dilakukan oleh Agustinus Agus dan Sentot Setyasiswanto yang kemudian mereka menuliskannya dalam bentuk buku dan diterbitkan oleh HuMa.

Diskusi buku menampilkan empat narasumber masing-masing Andi k Hardijanto dari HuMa menyampaikan substansi isi buku, Ir. Sri Endang Sukarsih, MP yang mewakili Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, Ir. Agus Budiono, M.Sc. Kepala Badan Pelaksana Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulsel, dan Abdul Muthalib, SH, Direktur LBH Makassar.

Dalam diskusi juga menyoal tentang penggunaan istilah masyarakat hukum adat yang digunakan dalam buku tersebut. Menurut, narasumber maupun peserta diskusi, istilah masyarakat adat, masyartakat hukum adat maupun penduduk asli nantinya harus dirumuskan dan disepakati bersama untuk satu peristilahan. Jika tidak, penggunaan istilah ini nantinya akan tumpang tindih, dan ketika menjadi rujukan terutama dalam pembuatan regulasi, akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Bila itu terjadi, akan berdampak eksistensi masyarakat adat, karena dengan multitafsir, akan memaknai masyarakat adat sesuai kepentingan masing-masing.

Andik Hardijanto dalam penjelasannya mengemuakakan, meskipun buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian kasus di Kalimantan Barat, tetapi apa yang terjadi pada masyarakat adat Siyai, sama dengan nasib masyarakat adat atau masyarakat lokal di berbagai tempat di Indonesia. Menurut Andik, buku ini masih belum sempurna, tetapi bagi narasumber lain serta peserta diskusi, apa yang diungkapkan dalam buku ini merupakan dokumentasi dan pembelajaran masyarakat lokal dan masyarakat adat berjuang mempertahankan eksistensi mereka di tengah-tengah ekspansi pembangunan yang cenderung mengorbankan masyarakat lokal.

Sementara Kepala Badan Pengelola Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Agus Budiono mengemukakan Taman Nasional yang dipimpinnya juga mempunya persoalan dengan masyarakat lokal yakni penguasaan lahan oleh masyarakat, karena sebagian masyarakat masih tergantung pada potensi hutan dan lahan. Sebagian warga sepkat dalam penetapan zona-zona, tetapi sebagian masyarakat menghendaki pelepasan status lahan (enclave). Selain itu, tidak singkronnya aturan pusat dan daerah juga menjadi kendala dalam pengambila kebijakan.

Diskusi ini juga menyoal tidak singkronnya aturan antara Departemen Kehutanan dan regulasi yang ditetapkan di daerah. Selain itu, juga tidak singkronnya regulasi antarsektor. Dalam konteks masyarakat adat yang menyangkut tanah dan hutan adat, misalnya ketidaksingkronan antara rgulasi-regulasi di kehutanan dan pertanahan yang menjadi sumber konflik. Untuk mengatasi hal ini, Andik Hardijanto menegaskan agar dalam penetapan zonasi atau status-status lahan, agar benar-benar melibatkan semua pihak dalam membuat kesepakatan.

Sri Endang Sukarsih dalam pemaparannya membandingkan problem yang dihadapi masyarakat adat Siyai dan masyarakat adat Bonto Katute di Sinjai Borong, Sulawesi Selatan. Masyarakat Katute tahun lalu mengalami kriminalisasi oleh lantaran ditangkap aparat keamanan dan diproses hukum, dengan tuduhan merambah, padahal mereka tidak tahu kalau lahan mereka yang dijaga secara turun-temurun ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, tanpa melibatkan masyarakat. Karena itu, Sri Endang yang juga aktif di lembaga swadaya masyarakat ini menegaskan, ke depan pihak kehutanan harus benar-benar berpihak pada masyarakat lokal, bukan pada kepentingan investor.

Sedangkan Direktur LBH Makassar, Abdul Muthalib mengemukakan, masyarakat lokal selalu dikorbankan dalam penetapan status lahan. Thalib mengemukakan salah satu contoh konflik masyarakat lokal dengan kawasan hutan lindung Tabotabo di Kabupaten Pangkep dimana masyarakat didampingi oleh LBH Makassar. Dengan pengalaman tersebut, Thalib menyatakan, ke depan, pembuatan regulasi serta implementasinya harus juga melibatkan masyarakat lokal, sebab konflik yang terjadi karena pemerintah dalam mengimplmentasikan aturan, selalu mengorbankan kepentingan dan hajat hidup masyarakat lokal. (m)