JURnaL Celebes-Makassar. Masyarakat adat tetap akan rentan terusir dari hutan, jika pemerintah hanya mengakui keberadaan tanpa didasari undang-undang dan serius menegakkan regulasi. Selama ini pemerintah hanya sebatas mengakui keberadaan secara formalistis dengan syarat-syarat yang berat. Selama puluhan tahun, masyarakat adat terus terpinggirkan dan terusir dalam ekspansi pengelolaan sumber daya alam. Karena itu, jika pola seperti tidak berubah, masyarakat adat akan tetap terancam.
Demikian antara lain simpulan dalam diskusi buku ‘’Setelah Kami Terusir dari Hutan’’ di Warkop Kopizone, Makassar, Selasa (7/6/2011). Buku yang diluncurkan dan didiskusikan itu adalah hasil pelitian tentang masyarakat adat Ketemenunggungan Siyai, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat. Sebuah studi kasus tentang konflik masyarakat adat Siyai dengan pengelolaan Taman Nasional Bukit Baka dan Bukit Raya. Studi kasus ini dilakukan oleh Agustinus Agus dan Sentot Setyasiswanto yang kemudian mereka menuliskannya dalam bentuk buku dan diterbitkan oleh HuMa.
Diskusi buku menampilkan empat narasumber masing-masing Andi k Hardijanto dari HuMa menyampaikan substansi isi buku, Ir. Sri Endang Sukarsih, MP yang mewakili Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, Ir. Agus Budiono, M.Sc. Kepala Badan Pelaksana Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulsel, dan Abdul Muthalib, SH, Direktur LBH Makassar.
Dalam diskusi juga menyoal tentang penggunaan istilah masyarakat hukum adat yang digunakan dalam buku tersebut. Menurut, narasumber maupun peserta diskusi, istilah masyarakat adat, masyartakat hukum adat maupun penduduk asli nantinya harus dirumuskan dan disepakati bersama untuk satu peristilahan. Jika tidak, penggunaan istilah ini nantinya akan tumpang tindih, dan ketika menjadi rujukan terutama dalam pembuatan regulasi, akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Bila itu terjadi, akan berdampak eksistensi masyarakat adat, karena dengan multitafsir, akan memaknai masyarakat adat sesuai kepentingan masing-masing.
Andik Hardijanto dalam penjelasannya mengemuakakan, meskipun buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian kasus di Kalimantan Barat, tetapi apa yang terjadi pada masyarakat adat Siyai, sama dengan nasib masyarakat adat atau masyarakat lokal di berbagai tempat di Indonesia. Menurut Andik, buku ini masih belum sempurna, tetapi bagi narasumber lain serta peserta diskusi, apa yang diungkapkan dalam buku ini merupakan dokumentasi dan pembelajaran masyarakat lokal dan masyarakat adat berjuang mempertahankan eksistensi mereka di tengah-tengah ekspansi pembangunan yang cenderung mengorbankan masyarakat lokal.
Sementara Kepala Badan Pengelola Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Agus Budiono mengemukakan Taman Nasional yang dipimpinnya juga mempunya persoalan dengan masyarakat lokal yakni penguasaan lahan oleh masyarakat, karena sebagian masyarakat masih tergantung pada potensi hutan dan lahan. Sebagian warga sepkat dalam penetapan zona-zona, tetapi sebagian masyarakat menghendaki pelepasan status lahan (enclave). Selain itu, tidak singkronnya aturan pusat dan daerah juga menjadi kendala dalam pengambila kebijakan.
Diskusi ini juga menyoal tidak singkronnya aturan antara Departemen Kehutanan dan regulasi yang ditetapkan di daerah. Selain itu, juga tidak singkronnya regulasi antarsektor. Dalam konteks masyarakat adat yang menyangkut tanah dan hutan adat, misalnya ketidaksingkronan antara rgulasi-regulasi di kehutanan dan pertanahan yang menjadi sumber konflik. Untuk mengatasi hal ini, Andik Hardijanto menegaskan agar dalam penetapan zonasi atau status-status lahan, agar benar-benar melibatkan semua pihak dalam membuat kesepakatan.
Sri Endang Sukarsih dalam pemaparannya membandingkan problem yang dihadapi masyarakat adat Siyai dan masyarakat adat Bonto Katute di Sinjai Borong, Sulawesi Selatan. Masyarakat Katute tahun lalu mengalami kriminalisasi oleh lantaran ditangkap aparat keamanan dan diproses hukum, dengan tuduhan merambah, padahal mereka tidak tahu kalau lahan mereka yang dijaga secara turun-temurun ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, tanpa melibatkan masyarakat. Karena itu, Sri Endang yang juga aktif di lembaga swadaya masyarakat ini menegaskan, ke depan pihak kehutanan harus benar-benar berpihak pada masyarakat lokal, bukan pada kepentingan investor.
Sedangkan Direktur LBH Makassar, Abdul Muthalib mengemukakan, masyarakat lokal selalu dikorbankan dalam penetapan status lahan. Thalib mengemukakan salah satu contoh konflik masyarakat lokal dengan kawasan hutan lindung Tabotabo di Kabupaten Pangkep dimana masyarakat didampingi oleh LBH Makassar. Dengan pengalaman tersebut, Thalib menyatakan, ke depan, pembuatan regulasi serta implementasinya harus juga melibatkan masyarakat lokal, sebab konflik yang terjadi karena pemerintah dalam mengimplmentasikan aturan, selalu mengorbankan kepentingan dan hajat hidup masyarakat lokal. (m)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar