Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Lebih Baik

Kamis, 28 Juli 2011

Bersinergi Mengatasi Kebakaran di Makassar

JURnaL Celebes-Makassar. Kebakaran menjadi salah satu dari tiga jenis bencana yang rutin terjadi di Kota Makassar. Untuk mencari solusi masalah ini, Jaringan Masyarakat Peduli Bencana (JMPB) Makassar, Kamis (28/7/2011) mengelar diskusi mencari solusi mengatasi masalah kebakaran di Makassar. Dalam diksusi tersebut, masing-masing pihak bersepakat bersinergi untuk pencegahan bencana kebakaran di Kota Makassar.
Diskusi yang dihelat di Kantor Ombudsman Kota Makassar ini menghadirkan berbagai pihak masing-masing Dinas Kebakaran Kota Makassar, PLN Wilayah Makassar, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan, PDAM Makassar, Komite Nasional Keselamatan untuk Instalasi Listrik (Konsuil), Dinas Tata Ruang Kota Makassar. Pihak pertamina dan AKLI yang diundang, tidak sempat hadir dalam diskusi tersebut.
Dalam diskusi tersebut juga menyepakati pembentukan forum pencegahan bahaya kebakaran di Makassar terdiri atas berbagai pihak terkait. Forum ini memulai langkah awal menyosialisasikan bahaya kebakaran langsung kepada masyarakat.
Sebagai langkah awal pula, forum ini menyepakati JMPB Makassar merencanakan lagi langkah berikutnya serta persiapan dengan parapihak untuk sosialisasi.
Dalam diskusi yang berlangsung dalam suasana santai itu juga menyimpulkan bahwa selain keterbatasan sarana dan prasarana dalam penanggulangan bencana kebakaran, juga persoalan utama adalah masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat, terutama dalam memanfaatkan sarana kelistrikan atau penggunaan kompor gas. Karena itu, penyadaran masyarakat dianggap menjadi maslah paling penting yang harus dipenuhi.
Berdasarkan data dari Dinas Pemadam Kebakaran Kota Makassar, penebab kebakaran yang diduga karena arus pendek listrik makin meningkat setiap tahun.
Tahun 2008 terjadi 102 kejadian di Kota Makassar 42 persen akibat arus pendek. Tahun 2009 terjadi 102 kasus kebakaran 42 persen akibat arus pendek. Tahun 2010 terjadi 148 kasus kebakaran dengan 59 persen akibat arus pendek. Sementara tahun 2011 hingga Juli ini, sudah terjadi 67 kali kebakaran dan 75 persen akibat arus pendek, salah satunya kebakaran yang kebakaran yang menghabiskan Pasar Sentral Makassar, Juni lalu.
Menyangkut kelistrikan, pihak PLN dalam diskusi itu mengemukakan bahwa tanggungjawab PLN sampai pada meteran dan pembatas. Dengan demikian, jika terjadi kebakaran karena pelanggaran atau kelalaian pelanggan. Pihak PLN juga menyatakan selama ini jika terjadi kebakaran, PLN selalu menjadi kambing hitam, padahal kemungkinan karena kelalaian masyarakat atau pelanggan PLN. Berkaitan dengan ini, Konsuil dalam diskusi ini juga memaparkan hal-hal yang terkait dengan keamanan penggunaan listrik yang patut diketahui oleh masyarakat pelanggan konsumen listrik.
Dalam diskusi yang dipandu Asmar Exwar dari JURnaL Celebes ini juga mengemuka masalah tidak berfungsinya hidran pemadam (fire hydran) yang tersebar di Kota Makassar. Untuk masakah ini, perlu kejalasan tanggungjawab karena air untuk setiap pemadaman kebakaran dibebankan kepada air bersih dari PDAM, sementara di satu sisi, PDAM juga kadang mengalami krisis air bersih, terutama di musim kemarau.
JMPB Makassar berupakan sebuah forum yang terbentuk sejak tahun 2008 beranggotakan 16 lembaga/organisasi masyarakat sipil. Jariangan ini terbentuk sebagai salah satu output dari program aksi kolektif pengurangan risiko bencana di Sulawesi Selatan yang dilaksanakan JURnaL Celebes dan Oxfam GB. JMPB Makassar telah menyusun rencana kedaruratan (contigency plan) internal untuk bencana-bencana yang dominan terjadi di Kota Makassar. (m)

Rabu, 27 Juli 2011

RUU Pengadaan Tanah Patut Ditolak

JURnaL Celebes-Makassar. Diskusi publik tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang dilaksanakan di Makassar, Rabu (27/7/2011) merekomendasikan untuk menolak RUU ini karena akan menciptakan konflik horisontal dan merugikan masyarakat. Pengesahaan RUU ini sebaiknya ditunda, kalau tidak bisa dibatalkan.
Prof.Dr. Farida Patittingi, SH, MH, guru besar hukum agraria dari Universitas Hasanuddin menjadi pembicara pada diskusi yang digelar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ini menyatakan banyak pasal-pasal dalam RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang tidak jelas dan mengandung multiinterpretasi. Hal ini menurutnya berbahaya karena akan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan dalam mengambil tanah-tanah masyarakat atas nama kepentingan umum.
Arti kepentingan umum dalam RUU ini juga menuut Farida, tidak jelas rumusan pengertianya. Ini akan menjadi ''pasal karet'' yang akan memberi keleluasaan pemerintah untuk mengambil tanah-tanah masyarakat dengan alasan untuk kepentingan umum.
Farida menyatakan ketika pemerintah membutuhkan tanah untuk pembangunan kepentinganpublik, harus menganut prinsip keseimbangan antara kepentingan rakyat dengan pembangunan, karena hak atas tanah itu adalah hak dasar untuk hidup.
Selama ini pengambilalihan tanah masyarakat oleh pemerintah, jelas Farida, tidak menjamin
kelangsungan hidup masyarakat.
Sekretaris Jenderal KPA, Idham Arsyad, yang juga sebagai pembicara dalam diskusi ini mengemukakan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan akan menimbulkan 10 problem di antaranya berpotensi kesemena-menaan pemerintah merampas tanah rakyat. Implementasi undag-undang ini, menurut Idham, akan makin menajamkan konflik agraria termasuk konflik-konflik di masyarakat adat.
Idham menilai, dengan cepat terealisasianya RUU ini, menandakan bahwa pemerintah Indonesia terkesan disetir oleh pengusaha yang diduga mensponsori RUU ini. Pengusaha selalu beralasan kendala utama berinvestasi karena sulitnya membebaskan lahan. Padahal, sesuai data BPN, ada 7,2 juta hektar lahan ditelantarkan pengusaha.
RUU ini menurut Idham, berdalih untuk proyek kepentingan umum, padahal proyek-proyek infrastrktur ini dibiayai, dimiliki, dan dikelola swasta dan asing, seperti bendungan, jalan tol, pasar modern, yang bukan menjadi kepentingan masyarakat kecil, bahkan memiskinkan rakyat.
Sementara Kepala Badan Perancang Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulawesi Selatan, Tan Malaka Guntur sebagai narasumber diskusi itu mengemukakan Pemerintah Sulawesi Selatan bertekad menjadi daerah 10 besar dalam pelayanan hak dasar masyarakat, salah satunya adalah jaminan atas hak kepemilikan tanah bagi masyarakat. Karena itu, tidak ada alasan bagi aturan yang menghambat kepastian hak atas tanah atau merampas hak-hak tanah dari masyarakat atas nama pembangunan.
Sedangkan Indra Jaya yang mewakili Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulsel yang juga sebagai pembicara dalam diksusi yang dimoderatori Anwar, SH dari Pokja Tata Ruang ini mengemukakan hal-hal teknis tentang konflik-konflik kepemilikan tanah. Peserta diskusi mencecari berbagai pertanyaan diantaranya masalah sertifikat ganda. Tentang hal ini, peserta diskusi dari berbagai pihak tersebut meminta BPN harus mengelola data base yang baik, untuk mencegah kesalahan administrasi dalam penerbitan sertifikat.
Diskusi in juga menampilkan Andi Paulangi yang mewakili masyarakat korban konflik tanah di Pandan Raya Makassar untuk memberikan testimoni. (m)

Selasa, 19 Juli 2011

Masyarakat Adat Togian Tolak Sosialisasi Taman Nasional

JURnaL Celebes-Togian. Masyarakat adat Togian Lipu Bangkangi, Kepulauan Togian, Kabupaten Tojo Una una, Sulawesi Tengah, menolak sosialisasi penetapan zonasi Taman Nasional Kepulauan Togian (TNKT). Sardin Engke,tokoh adat Lipu Bangkangi, Senin (18/7/2011) menginformasikan, pada Minggu malam, tiga staf Balai Taman Nasional Kepulauan Togian (BTNKT) datang ke Lipu Bangkangi untuk menyosialisasikan penetapan zonasi TNKT. Namun, secara tegas, masyarakat setempat menolak sosialisasi itu atau menolak penetapan zonasi.
Kepada masyarakat, Kepala Desa Lipu Bengkangi serta tiga staf TNKT menyatakan bahwa penujukan TNKT sudah mendapat persetujuan Bupati Tojo Una Una, sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk menolak. Namun alasan tersebut tidak bisa meluluhkan sikap masyarakat. Bahkan masyarakat adat tersebut menyatakan akan terpaksa mengusir staf dari TNKT, kalau tetap ngotot untuk melakukan sosialisasi.
Melihat tanggapan masyarakat tersebut, tiga staf TNKT serta Kepala Desa kemudian tidak memaksakan melakukan sosialiasi. Pada malam itu juga, petugas TNKT kembali ke Wakai, ibukota Kecamatan Una Una.
Atas kejadian ini, beberapa tokoh adat kemudian mengubungi Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kepulauan Togian, lewat handphone, untuk meminta pendapat tentang sikap masyarakat tersebut. Pengurus Daerah AMAN Kepulauan Togian, melalui Ketua Pengurus Daerah menyampaikan kepada masyarakat adat Lipu Bangkagi bahwa keberadaan TNKT ini memunculkan keresahan dan resistensi di masyarakat adat Kepulauan Togian. Hal ini terjadi karena selain penunjukan TNKT tersebut secara sepihak tanpa mempertimbangkan hak dan akses masyarakat atas sumber daya alam. Menurut AMAN Kepulauan Togian, penetapan zonasi secara sepihak ini dikhawatirkan akan semakin mempertegas marginalisasi masyarakat adat atas wilayah-wilayah adat mereka.
Menyikapi kondisi yang terjadi di Lipu Bangkagi ini, AMAN Kepulauan Togian dalam waktu dekat akan memfasilitasi masyarakat adat Lipu Bangkagi untuk melakukan dialog dengan Bupati dan DPRD Kabupaten Tojo Una Una. Mereka meminta penjelasan mengapa penetapan TNKT justru meresahkan masyarakat adat di Kepulauan Togian. (Basir Pangewang)

Selasa, 12 Juli 2011

Masyarakat Adat Kalumpang dan Bonehau Terancam Digusur PLTA

JURnaL Celebes-Mamuju. Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sungai Karama, Kecamatan Kalumpang, dan Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat, membuat resah masyarakat dua kecamatan yang mayoritas adalah masyarakat adat tersebut. Sesuai perencanaan, untuk merealisasikan ketinggian waduk yang mencapai 100 meter yang dikerjalan investor dari China ini, sebagian penduduk akan direlokasi.

Kalvin Kalambo, salah seorang tokoh masyarakat adat Karama, yang juga anggota DPRD Provinsi Sulawesi Barat, menilai rencana pembangunan PLTA tersebut keliru dan tergesa-gesa.

“Bayangkan, tahun depan sudah akan dimulai, sementara belum ada rencana relokasi yang dapat diterima semua warga yang akan dipindahkan. Padahal diperlukan penelitian secara saksama, baik menyangkut ekologi, sosial budaya maupun dari aspek keadilan. Ini manusia Bung. Di tempat itu, tidak akan bisa diselesaikan dalam waktu hanya setahun,’’ papar Kalvin.

Menurut Kalvin, memindahkan ternak saja cukup repot, apalagi menyangkut nyawa manusia, dengan jumlah begitu banyak. Di wilayah itu juga memiliki ke khasan masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka yang sudah dijalani turun temurun.

‘’Makanya saya minta kawan-kawan supaya kita bareng-barenglah mendampingi masyarakat kita itu dari rencana kegilaan sksekutif,’’ tambah Kalvin.

Selain CGGC Chines Gezhouba Group Corporatiaon yang menjadi investor megaproyek itu, PT. Bukaka akan ikut ambil bagian dalam rencana pembangunan hydropower tersebut. Dari penelusuran Kontributor Jurnal Celebes, dipeoleh data bahwa bukan hanya masyarakat Kalumpang Bonehau yang merasa resah akan rencana Pembangunan PLTA Karama tersebut, namun masyarakat Kecematan Sampaga, Kecamatan Pangale yang berada dimuara sungai itu juga keberatan.

Warga mengkhawatirkan jika seandainya suatu waktu penampungan air yang di bangun dengan ketinggian 100 meter itu jebol, maka dua kecamatan ini akan tengelam. Kemudian dampak pertama yang akan dirasakan masyarakat di tiga desa di kedua kecamatan yang berada di hilir sungai karama itu ketika proyek tersebut mulai dikerjakan, adalah pencemaran terhadap usaha budidaya ikan bandeng dan udang. Menurut warga, sudah pasti air sungai yang mengalir ke muara keruh dan masuk ke tambak.

Direktur eksekutif Lembaga Investigasi Kasus-kasus Agraria dan Hak Azasi Manusia (Likaham), Syarifuddin, mengatakan rencana Gubernur Sulawesi Barat ini, kadang-kadang tidak rasional. Menurut Syarifuddin, Gubernur Sulbar pernah memberikan keterangan kepada sebuah media, menyatakan bahwa pembangunan PLTA tersebut akan sekaligus sebagai objek wisata yang akan dikunjungi 300.000 orang pertahun dan akan menjadi salah satu proyek PLTA terbesar didunia.

“Terbesar di dunia Pak, ha ha ha.. akan didistribusikan kemana aliran listrik yang diproduksi sebanyak itu?, dan dari mana pula akan mengambil keuntungan atau pengembalian dana investasi yang telah digunakan? Sulbar ini bukan daerah industri bukan pula tempat ngumpulnya orang kaya,’’ ungkap Syarifuddin yang merasa penyataan Gubernur itu tidak rasional.

Desa yang akan direlokasi masing-masing Kecamatan Kalumpang meliputi Desa Kalumpang, Desa Tumonga, Desa Karama, dan Desa Limbong. Sedangkan di Kecamatan Bonehau meliputi Desa Mappu, Desa Lumika, Desa Talondo, Desa Bonehau, Desa Saludurian, Desa Pelusian, Desa Banua ada’, dan Desa Salubatu.

Sementara wilayah hilir yang rawan pencemaran yakni di Kecamatan Sampaga masing-masing Desa Kalonding, Desa Tarailu, Desa Sampaga, dan Desa Bunde. Di Kecamatan Tommo masing-masing masing-masing Desa Pantaraan, Desa Bajo, Desa Tamemongga, Desa Pedasi, Desa. Di Kecamatan Pangale masing-masing Desa Lemolemo, Desa Pangale, Desa Kombiling. (sherliany syarif)