JURnaL Celebes-Makassar. Diskusi publik tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang dilaksanakan di Makassar, Rabu (27/7/2011) merekomendasikan untuk menolak RUU ini karena akan menciptakan konflik horisontal dan merugikan masyarakat. Pengesahaan RUU ini sebaiknya ditunda, kalau tidak bisa dibatalkan.
Prof.Dr. Farida Patittingi, SH, MH, guru besar hukum agraria dari Universitas Hasanuddin menjadi pembicara pada diskusi yang digelar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ini menyatakan banyak pasal-pasal dalam RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang tidak jelas dan mengandung multiinterpretasi. Hal ini menurutnya berbahaya karena akan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan dalam mengambil tanah-tanah masyarakat atas nama kepentingan umum.
Arti kepentingan umum dalam RUU ini juga menuut Farida, tidak jelas rumusan pengertianya. Ini akan menjadi ''pasal karet'' yang akan memberi keleluasaan pemerintah untuk mengambil tanah-tanah masyarakat dengan alasan untuk kepentingan umum.
Farida menyatakan ketika pemerintah membutuhkan tanah untuk pembangunan kepentinganpublik, harus menganut prinsip keseimbangan antara kepentingan rakyat dengan pembangunan, karena hak atas tanah itu adalah hak dasar untuk hidup.
Selama ini pengambilalihan tanah masyarakat oleh pemerintah, jelas Farida, tidak menjamin
kelangsungan hidup masyarakat.
Sekretaris Jenderal KPA, Idham Arsyad, yang juga sebagai pembicara dalam diskusi ini mengemukakan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan akan menimbulkan 10 problem di antaranya berpotensi kesemena-menaan pemerintah merampas tanah rakyat. Implementasi undag-undang ini, menurut Idham, akan makin menajamkan konflik agraria termasuk konflik-konflik di masyarakat adat.
Idham menilai, dengan cepat terealisasianya RUU ini, menandakan bahwa pemerintah Indonesia terkesan disetir oleh pengusaha yang diduga mensponsori RUU ini. Pengusaha selalu beralasan kendala utama berinvestasi karena sulitnya membebaskan lahan. Padahal, sesuai data BPN, ada 7,2 juta hektar lahan ditelantarkan pengusaha.
RUU ini menurut Idham, berdalih untuk proyek kepentingan umum, padahal proyek-proyek infrastrktur ini dibiayai, dimiliki, dan dikelola swasta dan asing, seperti bendungan, jalan tol, pasar modern, yang bukan menjadi kepentingan masyarakat kecil, bahkan memiskinkan rakyat.
Sementara Kepala Badan Perancang Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulawesi Selatan, Tan Malaka Guntur sebagai narasumber diskusi itu mengemukakan Pemerintah Sulawesi Selatan bertekad menjadi daerah 10 besar dalam pelayanan hak dasar masyarakat, salah satunya adalah jaminan atas hak kepemilikan tanah bagi masyarakat. Karena itu, tidak ada alasan bagi aturan yang menghambat kepastian hak atas tanah atau merampas hak-hak tanah dari masyarakat atas nama pembangunan.
Sedangkan Indra Jaya yang mewakili Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulsel yang juga sebagai pembicara dalam diksusi yang dimoderatori Anwar, SH dari Pokja Tata Ruang ini mengemukakan hal-hal teknis tentang konflik-konflik kepemilikan tanah. Peserta diskusi mencecari berbagai pertanyaan diantaranya masalah sertifikat ganda. Tentang hal ini, peserta diskusi dari berbagai pihak tersebut meminta BPN harus mengelola data base yang baik, untuk mencegah kesalahan administrasi dalam penerbitan sertifikat.
Diskusi in juga menampilkan Andi Paulangi yang mewakili masyarakat korban konflik tanah di Pandan Raya Makassar untuk memberikan testimoni. (m)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar