Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Lebih Baik

Rabu, 31 Maret 2010

Dilema Penegakan Etika Jurnalistik di Tengah Persaingan Media



JURnaL - Saat ini wartawan media cetak terutama media elektronik menemui kendala menegakkan etika jurnalistik di tengah-tengah persaingan media massa. Sebab, persaingan industri media yang makin ketat, membuat wartawan menghadapi tantangan eksternal maupun tantangan internal.

Tantangan eksternal menghadapi persaigan antarmedia, sedangkan tantangan internal menghadapi kehendak pemilik media atau unsur pimpinan redaksi atau redaktur yang kadang harus mengakomodasi kepentingan pemilik modal.

Persoalan ini mengemuka pada Seminar dan Lokakarya Penegakan Etika Jurnalistik yang dilaksanakan JURnaL Celebes didukung Yayasan Tifa, Senin (15/3/2010) di Restoran Pualam Makassar. Semiloka tersebut menghadirkan pembicara Agus Sudibyo anggota Dewan Pers, Ana Rusli Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar yang juga wartawan AN teve, dan Syarif Amir Redaktur Pelaksana Harian Tribun Timur. Sedangkan lokakarya difasilitasi Mulyadi Mau peneliti media dan dosen komunikasi Universitas Hasanuddin. Sedangkan peserta lokakarya sekitar 30 orang wartawan dari berbagai media.

Para wartawan menilai ke depan, penegakkan etika jurnalistik sangat penting karena terkait dengan kualitas profesionalime media massa. Namun, Kode Etik Jurnalistik tidak akan terpatuhi, jika tuntunan profesional wartawan ini kemudian hanya dibebankan kepada para jurnalis.

Komitmen ini bukan hanya dibangun untuk wartawan di lapangan, tetapi juga penentu kebijakan di ruangan redaksi (news room).  Sebab meskipin wartawan meliput di lapangan dengan benar, tetapi kemudian sampai di news room bisa saja menyalahi etika profesi ketika para redaktur menyetelnya sesuai kebijakan redaksi, apalagi kalau ada tekanan dari pemilik media.

Karena itu, peserta lokakarya ini merekomendasikan agar pelatihan atau peningkatan kapasitas, khususnya etika jurnalistik tidak hanya untuk wartawan, tetapi juga untuk redaktur,  pimpinan media bahkan pemilik media.

Menghadapi tantangan ini, wartawan juga mestinya memiliki wawasan luas dan tidak sekadar pandai menulis berita, tetapi juga kearifan memahami masalah. Dengan demikian, dalam perektrutan wartawan, juga harus mengacu pada criteria standar atau standardisasi profesi.

Tentang standardisasi, para peseta semiloka ini njuga mengharapkan Dewan Pers menetapkan standardisasi perusahaan media. Karena kendala dalam penegakan etika jurnalistik juga karena terkait kesejahteraan wartawan.

Dalam semiloka ini juga, Agus Sudibyo dari Dewan Pers menggaris-bawahi pentingnya peran masyarakat atau publik untuk mengawasi media massa. Selama ini peran masyarakat sangat minim, sehingga media massa merasa tidak banyak pihak yang mengawasi. (m)

Para Jurnalis Curhat



JURnaL - Pada seminar dan lokakarya penegakan etika jurnalistik yang dilaksanakan JURnaL Celebes, Senin (15/3/2010), peserta semiloka yang semuanya para wartawan, tampaknya memperoleh momentum untuk mengemukakan pengalaman dan curahan hati (curhat). Curhat para pekerja media ini ketika anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, membawakan materi.

Seorang wartawati sebuah media cetak nasional mengemukakan, ia kehilangan narasumber yang baik hati, gara-gara SMS. Suatu ketika jurnalis itu mengirim SMS ke narasumber tersebut hanya sekadar mengucapkan selamat beristirahat. Tetapi pesan singkat itu tampaknya membuat istri sang narasumber geram.

Mulai saat itu, narasumber berita itu pun berubah. Padahal, sebelumnya, narasumber itu akan memberikan data atau keterangan, meskipun tidak diminta.

‘’Saya berharap Dewan Pers juga memikirkan hal-hal seperti ini. Saya kan cuman ngirim SMS doang ngucapin selamat istirahat. Tapi istrinya salah pengertian. Akhirnya saya kehilagan narasumber yang baik,’’ ungkap wartawan itu.

Seorang wartawan media cetak lokal mengemukakan, ia sering menyogok sumber berita untuk mendapatkan informasi.

‘’Ini terbalik, kalau selama ini wartawan yang terima amplop, tetapi saya justru sumber  berita yang terima amplop,’’ katanya.

Lain lagi dengan seorang wartawan radio yang kini sudah pindah ke televisi. Kebetulan saat menghadiri semiloka, bersama-sama dengan seorang teman wartawan yang dulu mereka bekerja di radio yang sama.

Keduanya lalu bercerita, suatu ketika, salah seorang dari mereka diminta melaporkan situasi lalulintas di jalan raya. Malas bangun pagi, wartawan tersebut punya akal. Dari tempat tidur, ia melaporkan suasana di sebuah ruas jalan di Makassar, dengan memutar rekaman suasana jalan raya, yang direkaknya di tape recorder, sebagai back sound.

Tapi kebohongan itu akhirnya bocor karena saat melaporkan, ternyata pemimpin redaksi-nya kebetulan melewati ruas jalan yang dilaporkan, dan tidak ada repoternya di jalan itu. Konsekuensinya, sang wartawan dimutasi ke bagian produksi. (m)