JURnaL Celebes-Makassar. Tim Assessment dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan telah melaksanakan assessment untuk verifikasi komunitas adat pada
dua kecamatan di Kabupaten Bone, mulai 25-28 Mei 2011. Dalam perjalanan assessment (pendataan) itu, tim antara lain menemukan masalah status hutan yang dihadapi komunitas adat Pakalangpoko di Kecamatan Mare.
Hedar Tasaka dan Sabry yang melakukan assessment di Bone, menjelaskan, komunitas adat yang dikunjungi, di antaranya perlu verifikasi kembali karena sesuai data dan keterangan yang
diperoleh, komunitas adat yang diverifikasi, sudah tidak memiliki lagi bukti historis dan prasyarat sebagai masyarakat adat. Misalnya, sudah tidak memiliki lagi struktur dan lembaga adat, wilayah adat, pranata sosial, hukum adat. Meskipun komunitas-komunitas adat tersebut mengaku mereka adalah masyarakat adat, dan masih tetap melaksanakan ritual-ritual dan memiliki dan menjalankan kearifan-kearifan lokal.
Di Kecamatan Mare, Hedar, Sabry dan Muhlis melakukan assessment dengan komunitas adat Pakalangpoko di Dusun Pakalangpoko, Desa Mattiro WaliE. Sesuai hasil assessment, komunitas adat di desa ini masih memiliki bukti-bukti historis, baik dalam bentuk pranata sosial, struktur dan lembaga adat, meskipun saat ini pola kehidupan itu tidak diterapkan secara formal.
Komunitas ini mengaku masih memiliki wilayah dan hutan adat, tetapi klaim wilayah adat mereka itu saat ini telah ditetapkan menjadi hutan lindung oleh pemerintah.
Penetapan hutan lindung inilah yang saat ini menjadi problem yang dihadapai masyarakat adat Pakalangpoko. Kepala Desa Mattiro WaliE, Mansyur, SE mengemukakan, sebagian besar wilayah desanya telah ditetapkan menjadi areal hutan lindung, termasuk kebun-kebun cingkeh milik masyarakat. Penetapan ini dilakukan sejak tahun 1990-an kemungkinan lewat program Padu Serasi Departemen Kehutanan.
Persoalannya, sebagian besar masyarakat setempat tidak mengetahui atau tidak dilibatkan oleh pemerintah dalam proses penetapan status hutan di wilayah ini. Bahkan rumah kepala desa
sendiri pun masuk dalam status hutan lindung. Selain itu, kawasan itu juga kemudian tidak bisa lagi membuka akses masyarakat secara layak, sehingga menanam pohon pun di halaman rumah pun harus seizin pemerintah.
Dalam dialog dengan tim dari AMAN, Mansyur menyatakan masyarakat mengharapkan jika ada upaya untuk meninjau kembali wilayah kelola masyarakat adat yang kini justru menjadi hutan
lindung. Mereka setuju jika AMAN menginisiasi pemetaan partisipatif di wilayah mereka.
Sedangkan masyarakat Dusun Pakasalo, Kecamatan Ponre yang juga diassessment masih mengaku sebagai masyarakat adat. Tetapi warga di dusun ini tidak lagi memiliki wilayah adat karena sebagian sudah masuk dalam areal perkebunan tebu milik PT Perkebunan Nusantara X untuk pabrik gula Arasoe. Komunitas ini menurut Hedar dan Sabri, cenderung untuk tidak mempersoalkan lagi eksistensi mereka sebagai masyarakat adat.
Tim Assessment AMAN Sulawesi Selatan terdiri atas Hedar, Sabri dan Mukhlis ini juga kemudian mampir di komunitas masyarakat adat Canni, Kecamatan Bonto Canni. Tidak terduga, ternyata komunitas adat di Desa Canni sudah membentuk lembaga adat sebagai upaya merevitalisasi komunitas adat Canni, atas inisiatif masyarakat adat setempat bersama Andi Iwan, anggota DPRD Bone yang berasal dari komunitas adat tersebut. (m)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar