Selama 2009 tiga proses alihfungsi ekologis yang menuai sorotan, yakni revitalisasi Lapangan Karebosi yang berkesinambungan tahun sebelunya , Proyek Center Point of Indonesia (CPI), dan Reklamasi Buloa, semua di Kota Makassar.
Revitalisasi Karebosi bukan hanya mengalihfungsi areal resapan menjadi area komersil, tetapi juga kemudian menimbulkan masalah sosial, karena fungsi sosial Karebosi sebagai area publik perlahan-lahan dihilangkan mengikuti kemauan investor . Revitalisasi Karebosi menjadi salah satu contoh pembangunan mencoba menyampingkan aspek-aspek ekologi, bahkan aspek ekologis dikapitalisasi ke dalam ekspansi investasi yang mengubah fungsi publik menjadi fungsi privat.
Pembangunan CPI menuai sorotan karena megaproyek ini akan secara ekstrim mengubah fungsi-fungsi ekologis di sepanjang pantai Makassar. Proyek ini akan menutup areal muara Sungai Jeneberang, lalu kemana nantinya 30 juta kubik sedimen lumpur dari Jeneberang? Bagaimana dengan pola gelombang datang dari selat Makassar, bagaimana menjaga kedalaman Pelabuhan Makassar.
Karena CPI harus memiliki Amdal yang konprhensif. Disamping itu, harus punya studi kelakayan yang akurat.
Reklamasi Buloa, pergerakannya seperti ‘aksi siluman’. Tidak ada informasi, diam-diam tiba-tiba ada dan sebagian areal laut sudah tertimbun. Kemdian menimbulkan reaksi masyarakat karena reklamasi ini secara ekologis merusak lingkungan berupa mangrove terumbu karang di kota Makassar yang tersisa, juga sebagai ‘paru-paru’ penyerap karbon lepasan kawasan industri. Ekosistem pantai terancam, sekaligus dampak sosial terhadap masyarakat nelayan atau masyarakat di sekitar lokasi proyek.
Kebiasaan buruk dalam pembangunan kita adalah mengakali Amdal. Idealnya, proyek pembangunan berdasarkan analisis dampak lingkungan, tetapi yang sering terjadi Amdal menyesuaikan pembangunan. Akhirnya Amdal dikondisikan sesuai kehendak pembangunan atau investor. (m)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar