Untuk Pelestarian Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Lebih Baik

Sabtu, 24 September 2011

Deklarasi Rongkong : AMAN Minta Pemerintah Cabut UU Kehutanan dan Minerba


Peserta Rakernas AMAN disambut di Rongkong
JURnaLCelebes-Rinding Allo. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang melaksanakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) mulai 20-23 September 2011 di Desa Rinding Allo, Kecamatan Limbong, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan merumuskan sebuah deklarasi yang dinamakan Deklrasi Rongkong. Di antara poin penting deklarasi ini adalah AMAN meminta pemerintah mencabut Undang-Undang Nomor 41 tantang Kehutanan dan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara (minerba) dan menggatinya dengan undang-undang yang mengakui dan melindungi masyarakat adat.
AMAN menilai Undang-Undang Kehutanan dan UU Minerba menjadi sumber konflik dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) terhadap masyarakat adat. AMAN juga mendesak pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlinudngan Masyarakat Adat yang saat ini sudah tercantum dalam Program Legislasih Nasional (Prolegnas).
Dalam deklrasi ini, AMAN menyatakan bersedia bekerjasama dengan pemerintah dan semua pihak yang relevan untuk mencapai pemenuhan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Kegiatan yang digelar selama tiga hari di wilayah adat Komunitas Rongkong ini, Pengurus Besar, wilayah dan daerah yang berjumlah 140 orang itu merumuskan deklarasi yang merupakan bagian dari hasil rapat, yang terakomodasi dalam 30 poin untuk berbagai persoalan.
 Rangkaian Rakernas dimulai sejak 18 September yang diawali dengan Rapat Umum dan Konsultasi Nasional. Dua kegiatan ini dilaksanakan 18-19 di Lapangan Sabbang, dan di Masamba, ibukota Kabupaten Luwu Utara.
Berikut Deklarasi Rongkong :

DEKLARASI RONGKONG
ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN)
Desa Rinding Allo, Kec. Limbong Kab. Luwu Utara, 22 September 2011

Pada tanggal 18-22 September 2011, telah dilakukan suatu rangkaian proses Rapat Kerja Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke-II, yang dimulai dengan Rapat Umum dan Konsultasi Nasional Masyarakat Adat Nusantara.
Rapat Umum, Konsultasi Nasional dan Rapat Kerja ini dihadiri oleh seluruh Dewan AMAN (DAMAN), Pengurus Besar (PB AMAN), Badan Pelaksana Harian (BPH) AMAN Wilayah, Dewan AMAN Wilayah, Badan Pelaksana Harian (BPH) AMAN Daerah dan Dewan AMAN Daerah.
Kami mengucapkan terimakasih kepada BPH AMAN Wilayah Sulawesi Selatan dan BPH AMAN Wilayah Tanah Luwu yang telah membantu kelancaran proses Rapat Umum dan Konsultasi Nasional di Masamba, Luwu Utara pada tanggal 18-19 September 2011, juga kepada Masyarakat Adat Rongkong di Desa Rinding Allo, Kec. Limbong, Kab. Luwu Utara, yang telah menyediakan wilayah adatnya sebagai tempat berlangsungnya Rapat Kerja II AMAN, pada tanggal 20-22 September 2011.
Kami, Masyarakat Adat Nusantara, yang mendiami wilayah-wilayah pegunungan dan hutan, hingga pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, masih terus menghadapi tantangan besar dalam berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, budaya, politik maupun wilayah dan sumber daya alam. Perkembangan pembangunan yang masih berorientasi pada peningkatan ekonomi makro mempengaruhi eksistensi, identitas dan ketahanan dari tatanan kehidupan tradisional komunitas-komunitas adat. Salah satu persoalan utama yang hingga saat ini masih menjadi persoalan berat bagi komunitas-komunitas Masyarakat Adat adalah konflik wilayah dan sumber daya alam.
Wilayah adat, yang di dalam dan di atasnya mengandung sumber-sumber agraria berupa tanah dan beragam sumber daya alam, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan Masyarakat Adat. Wilayah adat tidak hanya dipandang sebagai sumber ekonomi dan kelangsungan hidup komunitas, tetapi juga merupakan identitas; identitas suatu eksistensi yang terkandung dalam sistem nilai, baik sosial, budaya maupun spiritual, yang diwariskan secara turun temurun. Dengan nilai-nilai itu, Masyarakat Adat terus berupaya menjaga dan mempertahankan wilayah adatnya.
Upaya-upaya menjaga, melestarikan dan mempertahankan wilayah adat ini mengalami tantangan sangat berat. Selama 4 dasawarsa sejak Rejim Pemerintahan Orde Baru dan Orde Reformasi, berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan telah menyebabkan terjadinya praktek-praktek perampasan, penghancuran dan penghilangan atas wilayah adat. Umumnya wilayah-wilayah adat ini dikuasai oleh pihak lain melalui sistem perijinan yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-dulu HPH), Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Tanaman Industri (IUPHHTI-dulu HTI) dan Kawasan Pertambangan (KP). Masyarakat Adat dipaksa dan ditaklukkan oleh sistem perijinan yang menghilangkan hak-hak dasar, serta menyebabkan terjadinya pemiskinan dan kerawanan pangan.
 Kami menyatakan bahwa, Masyarakat Adat selama ini mampu mengelola dan menjaga sumber dayanya secara berkelanjutan secara turun temurun di bumi. Hubungan antara alam sebagai ibu bumi dan sumber kehidupan, dengan Masyarakat Adat sebagai penjaga alam demi masa depan anak cucu, merupakan suatu fakta yang tak terbantahkan.
 Kami menegaskan, bahwa secara universal, Hak-Hak Masyarakat Adat diakui dan dilindungi oleh Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan secara nasional diakui dan dilindungi dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18b dan 28i, Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), serta Ketetapan MPR No. 9 Tahun 2001 mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
 Oleh sebab itu, kami menyambut baik perkembangan terkait Hak-Hak Masyarakat Adat atas wilayah adat, yang ditandai dengan ditandatanganinya MoU antara AMAN dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tanggal 18 September 2011, untuk bekerjasama memastikan Hak-Hak Masyarakat Adat atas wilayah adat dalam kebijakan nasional dan administrasi negara.  Kami juga menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang pada tanggal 19 September 2011, telah mengabulkan tuntutan Judicial Review atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dengan menghapuskan pasal-pasal yang mengkriminalisasi petani dan Masyarakat Adat yang mempertahankan tanah dan wilayah adatnya dari agresi perkebunan.
Kami menyadari, masih banyak tantangan dalam memastikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat Nusantara. Oleh sebab itu, kami, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),

Terkait dengan Kebijakan Negara :
1.     Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera mempercepat proses pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) yang saat ini telah tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010-2014.
2.  Mendesak Pemerintah Indonesia untuk mencabut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, karena Undang-Undang ini telah menjadi sumber konflik dan pelanggaran HAM terhadap komunitas-komunitas Masyarakat Adat, kemudian menggantinya dengan Undang-Undang yang mengakui dan melindungi Hak-Hak Masyarakat Adat.
3.       Oleh sebab itu, Hutan Desa, HKM, HTR dan bentuk program kehutanan yang dihasilkan oleh Undang-Undang 41/1999 tentang Kehutanan, kami nyatakan, TIDAK BERLAKU di wilayah-wilayah adat.
4.     Pemerintah Indonesia harus memberikan pengakuan formal atas wilayah-wilayah adat dan membentuk suatu badan atau lembaga yang berfungsi untuk melakukan registrasi wilayah adat. BRWA harus dapat menjadi acuan dalam proses-proses registrasi wilayah adat yang dimaksud.
5.  Semua kebijakan yang terkait, atau yang akan berdampak terhadap wilayah adat dan tata kelola tradisional, sebagai contoh Peta yang dihasilkan Bakosurtanal atau kebijakan tentang Tata Ruang, harus dibuka kepada public dengan mengutamakan prinsip transparansi sesuai dengan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi.
6.     Menyerukan kepada Pemerintah Indonesia di semua tingkatan untuk tidak memberikan ijin kepada pihak manapun untuk melakukan eksploitasi terhadap hutan dan sumber daya alam yang berada di wilayah-wilayah adat tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat yang bersangkutan melalui mekanisme yang disepakati bersama.
7.       Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa atau Nama Lain yang sedang disusun saat ini, harus mengakomodir sistem-sistem adat yang berlaku di komunitas-komunitas serta otonomi asli Masyarakat Adat.
8.       Mendesak Presiden Republik Indonesia untuk segera mengeluarkan Kepres tentang Pengakuan Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) sebagai implementasi dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berikut Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaannya.
9.       AMAN mendukung proses penyusunan Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) oleh Kementrian Lingkungan Hidup sebagai implementasi dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Terkait dengan Hak dan Prinsip atas Free, Prior and Informed Consent (FPIC) :
10.   Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah berikut implementasinya di komunitas Masyarakat Adat harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip FPIC.
11.   FPIC sebagai prinsip dan hak masyarakat adat harus diketahui oleh seluruh level pemerintahan dan menjadi landasan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan serta program.

Terkait dengan Perubahan Iklim, Krisis Pangan, Energi dan REDD+:
12.   Lahan-lahan produktif, sumber-sumber pertanian dan kelautan Masyarakat Adat, sumber-sumber air dan sumber-sumber pangan organik harus dilindungi dan dilestarikan. Tanah-tanah Masyarakat Adat dan petani merupakan sumber-sumber produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional tersebut, oleh sebab itu, harus dilindungi. Hal ini disebabkan karena kedaulatan atas pangan harus menjadi tujuan Pemerintah Indonesia. Kedaulatan atas pangan tidak sama dengan ketahanan pangan. Ketahanan pangan dapat berarti Negara bertumpu pada hasil bumi atau produk-produk impor dari luar untuk memenuhi kebutuhan atas pangan, sementara kedaulatan atas pangan bertumpu pada kekuatan lokal dalam negeri, untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
13.   Pemerintah harus melindungi pangan lokal sebagai makanan pokok di masing-masing daerah dan komunitas-komunitas adat sebagai dasar dari kekuatan pangan nasional.
14.   Sebagian besar sumber energi kita saat ini masih bertumpu pada minyak bumi dan batubara. Pemerintah Indonesia harus melakukan identifikasi dan mendorong pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan, misalnya panas bumi, mikrohidro, panas matahari, atau gas dari kotoran hewan, yang dapat diakses dan dikelola oleh masyarakat adat.
15.   Masyarakat Adat harus dilibatkan dan diutamakan dalam proses-proses perubahan iklim dan REDD+, karena Masyarakat Adat sebagai pemilik wilayah adat, hidupnya sangat tergantung pada hutan. Hutan merupakan identitas Masyarakat Adat. Hilangnya hutan menyebabkan hilangnya identitas Masyarakat Adat.
16.   Menegaskan kembali, bahwa semua inisiatif untuk melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus didasarkan pada prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC), melaksanakan proses-proses konsultasi dan menjamin pelibatan Masyarakat Adat dalam proses-proses pengambilan keputusan.
17.   Menyatakan, bahwa semua inisiatif Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD) harus memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat termasuk perlindungan terhadap hak atas tanah dan wilayah adat, ekosistem dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi komunitas-komunitas Masyarakat Adat.
18.   Menyepakati dan Menegaskan kembali, bahwa tanpa jaminan atas hak-hak ini, Masyarakat Adat menolak segala bantuk implementasi REDD maupun inisiatif-inisiatif mitigasi perubahan iklim lainnya.
19.   Secara khusus, mendesak Bank Dunia yang sedang dalam proses meninjau kembali semua kebijakan-kebijakannya, untuk memastikan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, termasuk Free, Prior and informed Consent (FPIC), diakui dan dilindungi dan diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan Bank Dunia, termasuk dalam kebijakan-kebijakan terkait REDD+.
20.   Semua pendanaan internasional dan nasional yang diperuntukkan untuk REDD+ harus memastikan hak-hak Masyarakat Adat, termasuk melibatkan Masyarakat Adat dalam kebijakan, implementasi dan Monitoringnya (MRV).

Terkait dengan Pertanahan :
21.   Pemerintah harus menata kembali politik hukum sistem pertanahan dengan mencabut berbagai kebijakan pertanahan yang melanggar Hak-Hak Masyarakat Adat.
22.   Pemerintah harus menggunakan MoU antara BPN dan AMAN sebagai landasan untuk mengidentifikasi, menginventarisasi dan meregistrasi wilayah-wilayah adat
23.   President harus mengeluarkan Inpres kepada BPN untuk mencabut Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang bermasalah di wilayah-wilayah Masyarakat Adat.

Terkait dengan Departemen Sosial :
24.   Depsos harus melakukan perubahan definisi soal kemiskinan. KAT dapat mendukung perubahan situasi di Masyarakat Adat melalui program-program pemberdayaan komunitas adat, SESUAI dengan kebutuhan Masyarakat adat yang bersangkutan. Free, Prior and Informed Consent (FPIC) harus menjadi landasan dalam upaya-upaya menyusun program bersama komunitas. AMAN dapat bekerjasama dengan Dirjen KAT untuk mengidentifikasi komunitas-komunitas adat tersebut dan kebutuhan-kebutuhannya.
25.   Depsos harus menghentikan program resettlement terhadap komunitas-komunitas adat, karena program ini telah menyebabkan konflik horizontal, serta menyebabkan hilangnya sistem budaya komunitas adat yang bersangkutan.

Terkait dengan Kementrian Dalam Negeri :
26.   Sistem-sistem kepercayaan asli atau agama asli di komunitas-komunitas adat, harus diakui secara formal oleh Negara. Tidak adanya pengakuan ini telah menyebabkan terjadinya diskriminasi sosial dan politik terhadap komunitas-komunitas adat yang menganut sistem-sistem kepercayaan asli tersebut. Negara harus memberikan pelayanan yang sama dan setara bagi semua penganut agama dan pemeluk kepercayaan asli.
27.   Pemekaran-pemekaran propinsi, kabupaten/kota atau desa yang terjadi selama ini telah menyebabkan terjadinya banyak konflik tapal batas antar komunitas adat, serta menghancurkan sistem budaya dan kekerabatan di komunitas-komunitas adat. Oleh sebab itu, pemekaran propinsi, kabupaten/kota atau desa harus dilakukan sesuai prinsip-prinsip FPIC.
28.   Pemerintah harus mengakomodir penyelesaian konflik oleh komunitas-komunitas adat, terkait dengan tapal batas administrasi negara yang berada di wilayah-wilayah adat.

Terkait Hal Khusus :
29.   Mendesak Pemerintah untuk mengakui Masyarakat Adat Rongkong, termasuk Lembaga Adat, Hukum Adat dan Tanah Adatnya.
30.   Meningkatkan taraf hidup Masyarakat Adat Rongkong dengan mempercepat model-model pembangunan yang sesuai dengan keingingan Masyarakat Adat Rongkong.

Sebagai penutup dari Deklarasi ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membuat langkah-langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan konflik-konflik terkait tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah-wilayah Masyarakat Adat.
Kami Masyarakat Adat Nusantara bersedia bekerjasama dengan Pemerintah dan semua pihak yang relevan untuk mencapai pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia.
Disepakati dengan kosensus, oleh seluruh peserta Rapat Kerja II, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (RAKER II AMAN), 22 September 2011, di Desa Rinding Allo, Kec. Limbong Kab. Luwu Utara, Sulawesi Selatan. (Jopi Peranginangin/PB AMAN)

Tidak ada komentar: