JURnaL - Kebanyakan orang masih asing dengan REDD, tidak terkecuali masyarakat adat Bonto Katute, Desa Bonto Katute, Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Dalam diskusi kampung yang digelar awal Maret 2011 lalu di Dusun Barambang, Desa Bonto Katute, komunitas adat ini penasaran ingin mengetahui program global pengurangan emisi dengan menekan laju degradasi dan deforestasi hutan itu.
Tim diskusi kampung yang dihelat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan bersama JURnaL Celebes ini terpaksa masih harus menahan diri menjelaskan skema Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD/REDD+) ini. Pertama, persoalan REDD akan menjadi bahasan agenda diskusi berikutnya. Kedua, untuk menjelaskan REDD butuh waktu dan kemungkinan energi, apalagi dengan masyarakat adat, yang belum pernah mendengar apalagi memahami 'mahluk asing' yang bernama REDD tersebut. Tim diskusi hanya memberikan ilustrasi singkat, kalau bumi ini sudah mengalami pemanasan sehingga menimbulkan perubahan iklim atau musim. Buktinya, musim hujan dan musim panas sudah tidak menentu. Salah satu usaha mengurangi pemanasan global adalah dengan REDD, yang akan menjadi bahasan diskusi kamung berikutnya.
Jangankan masyarakat adat, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, A. Sukri Mattinetta, di hadapan rapat koordinasi kehutanan Sulsel, Februari lalu, juga mengaku belum memahami apa itu REDD. Bayangkan, seorang pejabat kehutanan saja mengaku belum memahami REDD, apalagi masyarakat awam.
Terlepas dari masih adanya berbagai kontroversi menyongsong implementasi REDD/REDD+, upaya memberi pemahaman dan penyadaran masyarakat mutlak diperlukan. Terutama masyarakat lokal atau masyarakat adat yang sangat tergantung pada hutan yang sebenarnya adalah pemilik hutan. Persiapan ini mutlak dilakukan agar bisa sigap dan antisipatif menyongsong manfaat ketika implementasi REDD nanti. Jika masyarakat adat tidak siap, nantinya justru akan menuai kerugian dan menjadi objek eksploitatif proyek karbon.
Diskusi kampung ini digelar sebagai langkah awal inisiatif memperkuat eksistensi masyarakat adat dan persiapan meningkatkan kapasitas menghadapi implementasi REDD+ nanti.
Kegiatan ini merupakan rangkaian inisiatif di Sulawesi dilaksanakan jaringan NGO di Sulawesi
didukung The Samdhana Institute, AMAN dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP).
Dalam seri diskusi ini dimaksudkan sebagai inisiatif menginventarisasi potensi dan eksistensi masyarakat adat di Bonto Katute.
Dalam diskusi tahap awal ini, tim diskusi memberi pemahaman tentang upaya melestarikan
hutan dan mengelola sumber daya alam secara lestari. Masyarakat mengungkapkan, dulu ketika hutan masih diawasi oleh masyarakat adat, tetap lestari. Namun, setelah diawasi oleh pemerintah lewat aparat kehutanan yakni polisi hutan, justru kini menimbulkan banyak konflik.
Karena itu masyarakat meminta agar pemerintah tidak sepihak mengawasi menetapkan status hutan dan tata cara mengelola hutan. Menurut masyarakat, jika pemerintah melibatkan masyarakat, lalau diakomodasi juga aturan-aturan adat, menurut masyarakat Bonto Katute, pemeliharaan hutan dan pengelolaan sumber daya alam tetap lestari.
Dalam diskusi itu, tim AMAN Sulsel dan JURnaL Celebes memberi pemahaman kepada masyarakat adat Bonto Katute, bahwa jika masyarakat adat mengawasi hutan dan mengelola hutan dan mengelola sumber daya alam secara lestari, harus kembali pada eksistensi adat.
Wilayah adat dan aturan adat harus jelas, sebab jika wilayah dan aturan tidak jelas, tidak akan bisa mendapat pengakuan dari pemerintah, karena pemerintah membutuhkan bukti-bukti
material apakah batas wilayah kelola, hutan adat, maupun aturan-aturan yang mengatur masyarakat juga masih bisa dipertahankan, agar bisa menjadi bukti otentik.
Selama Orde Baru, hak-hak masyarakat adat berupa hak indivisu dan hak koletif tidak diberi
tempat, bahkan hak-hak itu dimatikan. Kearifan-kearifan lokal tidak diberdayakan, padahal
masyarakat adat telah dijamin dalam UU Dasar 1945 Pasal 18, Undang-Undang Pokok Agraria, maupun Undang-Undang Kehutanan. Meski demikian, sampai sekarang ini pemerintah belum mengkui adanya hutan adat, melainkan masuk dalam katagori hutan negara, kecuali hutan adat yang masih bisa dibuktikan dengan bukti-bukti otentik secara adat.
Tim diskusi juga memberi penjelasan kepada masyarakat adat bonto Katute bahwa saat ini AMAN yang didukung oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil sedang memperjuangan rancangan undang-undang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat yang sudah sampai pada Program Legislash Nasional (Prolegnas) di DPR.
Untuk itu, bila ingin mengembalikan eksistensi masyarakat adat Bonto Katute, haruslah melalui
upaya untuk menginventarisasi kembali wilayah, hutan, hukum atau aturan-aturan adat, kearifan-kearifan lokal, tata kehidupan yang sebagian sudah tergerus waktu dan adminisrasi pemerintahan.
Menurut Jamal, tokoh adat yang juga Ketua BPD Desa Barambang, masyarakat adat Bonto Katute boleh dikatakan sudah hammpir tercabut dari eksistensi mereka. Kalau diprosentasi, kata Jamal, tinggal sekitar 20 persen masyarakat adat masih bisa memahami eksistensi masyarakat adat Bonto Katute. Karena itu, upaya sangat tepat dengan adanya upaya untuk mengembalikan eksistensi masyarakat adat ini, sebab pengalaman menunjukkan bahwa
kerusakan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah adat, di banyak daerah, kebanyakan tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat lokal. (rizal-ma)