Senin, 27 Juni 2011
Pemantau Independen Butuh Kejelasan Wewenang
Rabu, 22 Juni 2011
Tokalekaju Dikepung Perusahaan Tambang
Sabtu, 18 Juni 2011
Pusat Pembelajaran Komunitas Pemulung Ludes
Kamis, 16 Juni 2011
Pernyataan Bersama Masyarakat Adat di Jerman
JURnaL Celebes. Kelompok Kontak (Contac Group) Forum Masyarakat Adat untuk Perubahan Iklim (International Indigenous Peoples Forum on Climate Change/IIPFCC) melaksanakan sesi pertemuan untuk Badan Pendukung /Rekomendasi Ilmiah dan Teknologi (Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice/SBSTA) di Bonn, Jerman, 15 Juni 2011. Dalam pertemuan difokuskan pada pembahasan ‘’sistem informasi dan perlindungan dalam REDD+’’ terkait dengan eksistensi masyarakat adat.
Pertamuan tersebut kemudian menghasilkan satu rumusan pernyataan bersama. Peserta pertemuan menekankan pada pentingnya jaminan hak-hak untuk kelangsungan hidup masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam implementasi REDD+.
Berikut pernyataan bersama tersebut :
Masyarakat adat dan komunitas lokal punya hak sebagai pemegang dan pemangku kepentingan kunci dalam konservasi berkelanjutan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati, hutanan dan ekosistem lainnya, dalam mendukung upaya permanen REDD+. Integritas sosial program dan kebijakan REDD+ terutama mengenai deforestasi dan degradasi hutan, harus menjamim penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan relevan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, serta hak mereka untuk berpartisipasi penuh dan efektif yang mengacu pada prinsip Bebas Sebelum Diinformasikan - (Free Prior Informed Consent /FPIC) dalam setiap desain, implementasi dan evaluasi REDD+.
Hutan memiliki nilai dan fungsi ganda. Hutan tidak boleh dianggap hanya sebagai penyerap karbon. Hutan merupakan bagian dari proses dan fungsi dari sistem kehidupan di planet ini. Karena itu, menyikapi kerentanan dalam perubahan iklim. Hutan adalah ruang yang dihuni oleh masyarakat adat, termasuk masyarakat yang terisolasi secara sukarela, dan dengan demikian merupakan pusat kehidupan, spiritualitas dan keanekaragaman hayati.
Untuk itu, dalam menykapi dampak perubahan iklim, sebuah sistem informasi sangat penting untuk menjamin dan melindungi hak-hak masyarakat adat serta menjamin partisipasi efektif dan penuh dari masyarakat adat , dalam semua kegiatan yang terkait impklementasi REDD+. Agar efektif, kondisi dan indikator harus dipastikan dan dipertimbangkan dalam sistem informasi tersebut.
A. Sistem informasi harus menghormati prinsip-prinsip sebagai berikut:
- Harus transparan, partisipatif, tepat waktu, akurat, dapat diakses oleh semua pihak, dan harus memberikan informasi yang lengkap dan berimbang. Untuk memastikan kredibilitas dan integritas informasi dan sistem, keduanya harus diverifikasi dan dinilai oleh badan-badan independen, dengan partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat adat;
- Masyarakat adat dapat menilai sendiri, mengevaluasi dan membuat laporan pelaksanaan pengamanan REDD+ di tingkat nasional dan lokal.
B. Sistem informasi antara lain harus memberikan penilaian dari pemenuhan efektif kondisi dan persyaratan sebagaimana diatur di bawah ini, dalam fase kesiapan dan setiap kegiatan REDD+ masing-masing:
- Dasar hukum harus sesuai dengan kewajiban internasional dan instrumen antara lain Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) dan ILO C 169;
- Hak-hak individu dan kolektif masyarakat adat harus dihormati dan dijamin dalam REDD+, program dan strategi kebijakan, serta tindakan yang dilakukan - atau akan dilakukan - harus memastikan : hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam; hak atas pengetahuan dan praktik tradisional; Hak atas penentuan nasib sendiri dan pelaksanaan hukum adat, pemerintahan dan penggunaan tanah adat dan pengelolaan hutan; Hak atas partisipasi penuh dan efektif pada pengambilan keputusan tentang hal-hal yang mempengaruhi masyarakat adat dan komunitas lokal; Hak atas penegakan hukum dan resolusi konflik melalui sistem kearifan lokal, pemantauan dan pelaporan pelanggaran; Hak atas partisipasi penuh dan efektif dan konsultasi masyarakat adat dan komunitas lokal, serta akses yang tepat terhadap informasi yang memadai sesuai budaya; Hak untuk Bebas Sebelum Diiformasikan (FPIC); Hak untuk pembagian keuntungan yang adil .
- Peran perempuan adat dalam pengelolaan sumber daya tradisional harus, diakui, didukung dan dipromosikan dan demikian juga dengan perhatian khusus pada perempuan adat, pemuda adat dan dan anak-anak.
- Adanya mekanisme dan prosedur yang adil bagi masyarakat adat dan komunitas lokal, yang dikembangkan dengan partisipasi mereka, dan langkah-langkah yang diperlukan jika ketidakhadiran mereka.
- Adanya sumber daya independen yang dapat diakses serta mekanisme pengaduan di tingkat nasional untuk menangani keluhan atau resolusi konflik. Jika mekanisme tersebut tidak ada, harus ada langkah-langkah yang akan dilakukan, serta sistem informasinya.
- Penilaian atas hambatan ekonomi dan sosial untuk hak-hak masyarakat adat, serta penilaian potensi ancaman kunci, yang ditimbulkan oleh deforestasi seperti pertanian monokultur, pertanian intensif, proyek-proyek infrastruktur skala besar, dan kegiatan ekstraktif.
- Dalam hal konservasi tradisional masyarakat adat, mata pencaharian dan praktik pertanian seperti perladangan berpindah harus juga diakui dan dihormati, tidak hahya diidentifikasi sebagai pemicu deforestasi;
Keberadaan instrumen dan undang-undang yang mengakui hak untuk pembagian keuntungan harus menjamin :
- Adanya dana yang cukup, dengan persentase tetap dari anggaran proyek REDD, untuk memperkuat kapasitas IP / LC pada semua fase REDD, dengan dana khusus untuk IP / LC untuk mengembangkan dan melaksanakan kegiatan yang bekontribusi untuk REDD +;
C. Sistem informasi harus membantu masyarakat dan donor internasional dalam mengidentifikasi persyaratan bantuan teknis, memungkinkan kegiatan dan sumber daya keuangan yang diperlukan untuk mendukung implementasi dan pemantauan perlindungan REDD+ di negara-negara yang mengimplementasikan REDD.
D. SBSTA mengusulkan rencana panduan dan inisiatif masing-masing:
1. Pertemuan kelompok ahli harus diselenggarakan di bawah SBSTA berlangsung sebelum COP17 Durban. Tujuannya adalah untuk menguraikan lebih lanjut untuk memberikan informasi tentang bagaimana perlindungan yang harus dihormati. Ini harus dilakukan dengan partisipasi masyarakat adat dan harus membangun kerja yang relevan yag dikembangkan dan diimplementasikan oleh UNREDD dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (seperti - antara lain - yang Akwe ': pedoman REDD + perlindungan terhadap keanekaragaman hayati). Lebih lanjut adalah diklarifikasi berkaitan dengan dampak penerbitan sertifikat pengurangan emisi pada hak-hak masyarakat adat, khususnya dampak pada hak atas tanah, hak kolektif, dan mata pencaharian tradisional;
2. Pertamuan kelompok Ahli SBSTA yang direncanakan pada tingkat referensi dan tingkat emisi referensi harus memperhitungkan hal-hal sebagai berikut:
i. Memastikan metodologi untuk pembentukan tingkat referensi hutan dengan memperhitugkan memperhitungkan beberapa nilai dan penggunaan hutan, serta dampak potensial terhadap keanekaragaman hayati dan masyarakat adat serta hak mata pencaharian, sehingga tidak membatasi ruang lingkup eksklusif dengan tujuan pengukuran karbon, untuk mencegah komodifikasi hutan 'untuk jasa lingkungan.
ii. Memastikan partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat adat di setiap tahap proses pengukuran semua komponen, berdasarkan pengetahuan tradisional, dan menghormati hak masyarakat adat. (m)
Kamis, 09 Juni 2011
Masyarakat Adat Rentan Terusir dari Hutan
JURnaL Celebes-Makassar. Masyarakat adat tetap akan rentan terusir dari hutan, jika pemerintah hanya mengakui keberadaan tanpa didasari undang-undang dan serius menegakkan regulasi. Selama ini pemerintah hanya sebatas mengakui keberadaan secara formalistis dengan syarat-syarat yang berat. Selama puluhan tahun, masyarakat adat terus terpinggirkan dan terusir dalam ekspansi pengelolaan sumber daya alam. Karena itu, jika pola seperti tidak berubah, masyarakat adat akan tetap terancam.
Demikian antara lain simpulan dalam diskusi buku ‘’Setelah Kami Terusir dari Hutan’’ di Warkop Kopizone, Makassar, Selasa (7/6/2011). Buku yang diluncurkan dan didiskusikan itu adalah hasil pelitian tentang masyarakat adat Ketemenunggungan Siyai, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat. Sebuah studi kasus tentang konflik masyarakat adat Siyai dengan pengelolaan Taman Nasional Bukit Baka dan Bukit Raya. Studi kasus ini dilakukan oleh Agustinus Agus dan Sentot Setyasiswanto yang kemudian mereka menuliskannya dalam bentuk buku dan diterbitkan oleh HuMa.
Diskusi buku menampilkan empat narasumber masing-masing Andi k Hardijanto dari HuMa menyampaikan substansi isi buku, Ir. Sri Endang Sukarsih, MP yang mewakili Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, Ir. Agus Budiono, M.Sc. Kepala Badan Pelaksana Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulsel, dan Abdul Muthalib, SH, Direktur LBH Makassar.
Dalam diskusi juga menyoal tentang penggunaan istilah masyarakat hukum adat yang digunakan dalam buku tersebut. Menurut, narasumber maupun peserta diskusi, istilah masyarakat adat, masyartakat hukum adat maupun penduduk asli nantinya harus dirumuskan dan disepakati bersama untuk satu peristilahan. Jika tidak, penggunaan istilah ini nantinya akan tumpang tindih, dan ketika menjadi rujukan terutama dalam pembuatan regulasi, akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Bila itu terjadi, akan berdampak eksistensi masyarakat adat, karena dengan multitafsir, akan memaknai masyarakat adat sesuai kepentingan masing-masing.
Andik Hardijanto dalam penjelasannya mengemuakakan, meskipun buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian kasus di Kalimantan Barat, tetapi apa yang terjadi pada masyarakat adat Siyai, sama dengan nasib masyarakat adat atau masyarakat lokal di berbagai tempat di Indonesia. Menurut Andik, buku ini masih belum sempurna, tetapi bagi narasumber lain serta peserta diskusi, apa yang diungkapkan dalam buku ini merupakan dokumentasi dan pembelajaran masyarakat lokal dan masyarakat adat berjuang mempertahankan eksistensi mereka di tengah-tengah ekspansi pembangunan yang cenderung mengorbankan masyarakat lokal.
Sementara Kepala Badan Pengelola Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Agus Budiono mengemukakan Taman Nasional yang dipimpinnya juga mempunya persoalan dengan masyarakat lokal yakni penguasaan lahan oleh masyarakat, karena sebagian masyarakat masih tergantung pada potensi hutan dan lahan. Sebagian warga sepkat dalam penetapan zona-zona, tetapi sebagian masyarakat menghendaki pelepasan status lahan (enclave). Selain itu, tidak singkronnya aturan pusat dan daerah juga menjadi kendala dalam pengambila kebijakan.
Diskusi ini juga menyoal tidak singkronnya aturan antara Departemen Kehutanan dan regulasi yang ditetapkan di daerah. Selain itu, juga tidak singkronnya regulasi antarsektor. Dalam konteks masyarakat adat yang menyangkut tanah dan hutan adat, misalnya ketidaksingkronan antara rgulasi-regulasi di kehutanan dan pertanahan yang menjadi sumber konflik. Untuk mengatasi hal ini, Andik Hardijanto menegaskan agar dalam penetapan zonasi atau status-status lahan, agar benar-benar melibatkan semua pihak dalam membuat kesepakatan.
Sri Endang Sukarsih dalam pemaparannya membandingkan problem yang dihadapi masyarakat adat Siyai dan masyarakat adat Bonto Katute di Sinjai Borong, Sulawesi Selatan. Masyarakat Katute tahun lalu mengalami kriminalisasi oleh lantaran ditangkap aparat keamanan dan diproses hukum, dengan tuduhan merambah, padahal mereka tidak tahu kalau lahan mereka yang dijaga secara turun-temurun ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, tanpa melibatkan masyarakat. Karena itu, Sri Endang yang juga aktif di lembaga swadaya masyarakat ini menegaskan, ke depan pihak kehutanan harus benar-benar berpihak pada masyarakat lokal, bukan pada kepentingan investor.
Sedangkan Direktur LBH Makassar, Abdul Muthalib mengemukakan, masyarakat lokal selalu dikorbankan dalam penetapan status lahan. Thalib mengemukakan salah satu contoh konflik masyarakat lokal dengan kawasan hutan lindung Tabotabo di Kabupaten Pangkep dimana masyarakat didampingi oleh LBH Makassar. Dengan pengalaman tersebut, Thalib menyatakan, ke depan, pembuatan regulasi serta implementasinya harus juga melibatkan masyarakat lokal, sebab konflik yang terjadi karena pemerintah dalam mengimplmentasikan aturan, selalu mengorbankan kepentingan dan hajat hidup masyarakat lokal. (m)