Ketika merasa diciderai oleh pemberitaan media massa, masyarakat menilai hak jawab tak mampu ’’menghapus’’ aib mereka yang sudah terlanjur diketahui masyarakat, apakah pemberitaan itu benar ataupun tidak benar. Publik menilai ketika diberitakan dan kemudian dibaca pembaca, nama mereka sudah tercemar. Pembaca sudah terlanjur mengetahui perbuatan yang diberitakan. Karena itu, mereka cenderung tidak ingin menggunakan lagi hak jawab. Mereka lebih memilih diam atau melaporkan ke polisi, atau berupaya untuk membalas dendam.
Menanggapi fenomena ini, Anwar dari LBH Makassar menyatakan jurnalis dan media harus memahami realitas seperti ini, untuk tidak terlalu memaksakan kehendak berdasarkan kebabasan pers. Jurnalis agar tidak terlalu arogan dan merasa diri sebagai warga istimewa yang harus diistimewakan.
Sebab, menurut Anwar, melihat kondisi masyarakat belum memahami budaya hak jawab, tidak akan menggunakan hak jawab, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
Menanggapi hal ini, Jumadi Mappanganro, wartawan Harian Tribun Timur meminta agar masyarakat diberi pemahaman kalau merasa dirugikan oleh pemberitan, agar tidak mengadukan ke kepolisian. Masyarakat harus diajari bahwa kata-kata harus dijawab dengan kata-kata.
’’Sebab bila kata-kata tidak dijawab dengan kata-kata, maka selamanya pelanggaran lewat kata-kata yang dilakukan oleh media, tetap tidak terklarifikasi selamanya,’’ ungkap Jumadi.
Menanggapi realitas ini, Syamsul Ridjal dari Lembaga Studi dan Kajian Pesantren mengatakan, masyarakat kita masih merupakan masyarakat berbudaya lisan, belum berbudaya tulisan. Dengan demikian, mereka menilai berita pun berdasarkan budaya lisan. Budaya tulisan dianggap tidak mampu mengakomodasi nilai-nilai.
’’Karena itu, mereka menganggap hak jawab itu adalah budaya tulisan, yang tidak mampu meyakinkan publik atas pemberitaan media yang sudah tersebar,’’ papar Syamsul dalam diskusi yang digelar JURnaL Celebes yang didukung Yayasan Tifa. (m)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar