Peserta Rakernas AMAN disambut di Rongkong |
JURnaLCelebes-Rinding Allo. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang
melaksanakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) mulai 20-23 September 2011 di Desa
Rinding Allo, Kecamatan Limbong, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi
Selatan merumuskan sebuah deklarasi yang dinamakan Deklrasi Rongkong. Di antara poin penting deklarasi ini adalah AMAN
meminta pemerintah mencabut Undang-Undang Nomor 41 tantang Kehutanan dan
Undang-Undang
Nomor
4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara (minerba) dan menggatinya dengan
undang-undang yang mengakui dan melindungi masyarakat adat.
AMAN menilai Undang-Undang Kehutanan dan UU Minerba menjadi
sumber konflik dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) terhadap masyarakat
adat. AMAN juga mendesak pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan
Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlinudngan Masyarakat Adat yang saat
ini sudah tercantum dalam Program Legislasih Nasional (Prolegnas).
Dalam deklrasi ini, AMAN menyatakan bersedia bekerjasama
dengan pemerintah dan semua pihak yang relevan untuk mencapai pemenuhan hak-hak
masyarakat adat di Indonesia.
Kegiatan yang digelar selama tiga hari di wilayah adat
Komunitas Rongkong ini, Pengurus Besar, wilayah dan daerah yang berjumlah 140 orang
itu merumuskan deklarasi yang merupakan bagian dari hasil rapat, yang
terakomodasi dalam 30 poin untuk berbagai persoalan.
Rangkaian Rakernas dimulai sejak
18 September yang diawali dengan Rapat Umum dan Konsultasi Nasional. Dua
kegiatan ini dilaksanakan 18-19 di Lapangan Sabbang, dan di Masamba, ibukota
Kabupaten Luwu Utara.
Berikut Deklarasi Rongkong :
DEKLARASI RONGKONG
ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA
(AMAN)
Desa Rinding Allo, Kec. Limbong Kab.
Luwu Utara, 22 September 2011
Pada tanggal 18-22 September 2011,
telah dilakukan suatu rangkaian proses Rapat Kerja Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) ke-II, yang dimulai dengan Rapat Umum dan Konsultasi Nasional
Masyarakat Adat Nusantara.
Rapat Umum, Konsultasi Nasional dan
Rapat Kerja ini dihadiri oleh seluruh Dewan AMAN (DAMAN), Pengurus Besar (PB
AMAN), Badan Pelaksana Harian (BPH) AMAN Wilayah, Dewan AMAN Wilayah, Badan
Pelaksana Harian (BPH) AMAN Daerah dan Dewan AMAN Daerah.
Kami mengucapkan terimakasih kepada BPH
AMAN Wilayah Sulawesi Selatan dan BPH AMAN Wilayah Tanah Luwu yang telah
membantu kelancaran proses Rapat Umum dan Konsultasi Nasional di Masamba, Luwu
Utara pada tanggal 18-19 September 2011, juga kepada Masyarakat Adat Rongkong
di Desa Rinding Allo, Kec. Limbong, Kab. Luwu Utara, yang telah menyediakan
wilayah adatnya sebagai tempat berlangsungnya Rapat Kerja II AMAN, pada tanggal
20-22 September 2011.
Kami, Masyarakat Adat Nusantara, yang
mendiami wilayah-wilayah pegunungan dan hutan, hingga pesisir dan pulau-pulau
kecil di Indonesia, masih terus menghadapi tantangan besar
dalam berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, budaya, politik maupun wilayah dan
sumber daya alam. Perkembangan pembangunan yang masih berorientasi pada
peningkatan ekonomi makro mempengaruhi eksistensi, identitas dan ketahanan dari
tatanan kehidupan tradisional komunitas-komunitas adat. Salah satu persoalan
utama yang hingga saat ini masih menjadi persoalan berat bagi
komunitas-komunitas Masyarakat Adat adalah konflik wilayah dan sumber daya
alam.
Wilayah adat,
yang di dalam dan di atasnya mengandung sumber-sumber agraria berupa tanah dan
beragam sumber daya alam, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan Masyarakat Adat. Wilayah adat tidak hanya dipandang sebagai sumber
ekonomi dan kelangsungan hidup komunitas, tetapi juga merupakan identitas;
identitas suatu eksistensi yang terkandung dalam sistem nilai, baik sosial, budaya
maupun spiritual, yang diwariskan secara turun temurun. Dengan nilai-nilai itu,
Masyarakat Adat terus berupaya menjaga dan mempertahankan wilayah adatnya.
Upaya-upaya
menjaga, melestarikan dan mempertahankan wilayah adat ini mengalami tantangan
sangat berat. Selama 4 dasawarsa sejak Rejim Pemerintahan Orde Baru dan Orde
Reformasi, berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan telah menyebabkan
terjadinya praktek-praktek perampasan, penghancuran dan penghilangan atas
wilayah adat. Umumnya wilayah-wilayah adat ini dikuasai oleh pihak lain melalui
sistem perijinan yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk Hak Guna Usaha
(HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK-dulu HPH), Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Tanaman Industri
(IUPHHTI-dulu HTI) dan Kawasan Pertambangan (KP). Masyarakat Adat dipaksa dan
ditaklukkan oleh sistem perijinan yang menghilangkan hak-hak dasar, serta
menyebabkan terjadinya pemiskinan dan kerawanan pangan.
Kami menyadari, masih banyak tantangan
dalam memastikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat
Nusantara. Oleh sebab itu, kami, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
Terkait dengan Kebijakan Negara :
1. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera mempercepat
proses pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan
Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) yang saat ini telah tercantum
dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010-2014.
2. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk mencabut
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 4/2009 tentang
Mineral dan Batubara, karena Undang-Undang ini telah menjadi sumber konflik dan
pelanggaran HAM terhadap komunitas-komunitas Masyarakat Adat, kemudian
menggantinya dengan Undang-Undang yang mengakui dan melindungi Hak-Hak
Masyarakat Adat.
3.
Oleh sebab itu, Hutan Desa, HKM, HTR dan bentuk program
kehutanan yang dihasilkan oleh Undang-Undang 41/1999 tentang Kehutanan, kami
nyatakan, TIDAK BERLAKU di
wilayah-wilayah adat.
4. Pemerintah
Indonesia harus memberikan pengakuan formal atas wilayah-wilayah adat dan
membentuk suatu badan atau lembaga yang berfungsi untuk melakukan registrasi
wilayah adat. BRWA harus dapat menjadi acuan dalam proses-proses registrasi
wilayah adat yang dimaksud.
5. Semua
kebijakan yang terkait, atau yang akan berdampak terhadap wilayah adat dan tata
kelola tradisional, sebagai contoh Peta yang dihasilkan Bakosurtanal atau
kebijakan tentang Tata Ruang, harus dibuka kepada public dengan mengutamakan
prinsip transparansi sesuai dengan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi.
6. Menyerukan kepada Pemerintah Indonesia di semua tingkatan
untuk tidak memberikan ijin kepada pihak manapun untuk melakukan eksploitasi
terhadap hutan dan sumber daya alam yang berada di wilayah-wilayah adat tanpa
persetujuan dari Masyarakat Adat yang bersangkutan melalui mekanisme yang
disepakati bersama.
7.
Rancangan
Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa
atau Nama Lain yang sedang disusun
saat ini, harus mengakomodir sistem-sistem adat yang berlaku di komunitas-komunitas
serta otonomi asli Masyarakat Adat.
8. Mendesak
Presiden Republik Indonesia untuk segera mengeluarkan Kepres tentang Pengakuan
Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) sebagai
implementasi dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, berikut Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaannya.
9.
AMAN mendukung proses penyusunan Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) oleh Kementrian
Lingkungan Hidup sebagai implementasi dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Terkait dengan Hak dan Prinsip atas
Free, Prior and Informed Consent (FPIC) :
10.
Setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah berikut implementasinya di komunitas
Masyarakat Adat harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip FPIC.
11.
FPIC
sebagai prinsip dan hak masyarakat adat harus diketahui oleh seluruh level
pemerintahan dan menjadi landasan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan serta program.
Terkait dengan
Perubahan Iklim, Krisis Pangan, Energi dan REDD+:
12.
Lahan-lahan
produktif, sumber-sumber pertanian dan kelautan Masyarakat Adat, sumber-sumber
air dan sumber-sumber pangan organik harus dilindungi dan dilestarikan.
Tanah-tanah Masyarakat Adat dan petani merupakan sumber-sumber produksi untuk
memenuhi kebutuhan pangan nasional tersebut, oleh sebab itu, harus dilindungi.
Hal ini disebabkan karena kedaulatan atas
pangan harus menjadi tujuan Pemerintah Indonesia. Kedaulatan atas pangan
tidak sama dengan ketahanan pangan.
Ketahanan pangan dapat berarti Negara bertumpu pada hasil bumi atau
produk-produk impor dari luar untuk memenuhi kebutuhan atas pangan, sementara
kedaulatan atas pangan bertumpu pada kekuatan lokal dalam negeri, untuk
memenuhi kebutuhan pangan nasional.
13. Pemerintah harus melindungi pangan lokal
sebagai makanan pokok di masing-masing daerah dan komunitas-komunitas adat
sebagai dasar dari kekuatan pangan nasional.
14. Sebagian besar sumber energi kita saat ini
masih bertumpu pada minyak bumi dan batubara. Pemerintah Indonesia harus
melakukan identifikasi dan mendorong pemanfaatan sumber-sumber energi
terbarukan, misalnya panas bumi, mikrohidro, panas matahari, atau gas dari
kotoran hewan, yang dapat diakses dan dikelola oleh masyarakat adat.
15. Masyarakat Adat harus dilibatkan dan
diutamakan dalam proses-proses perubahan iklim dan REDD+, karena Masyarakat Adat sebagai pemilik wilayah adat, hidupnya sangat tergantung
pada hutan. Hutan merupakan identitas Masyarakat Adat. Hilangnya
hutan menyebabkan hilangnya identitas Masyarakat Adat.
16. Menegaskan kembali, bahwa semua inisiatif untuk melakukan adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim harus didasarkan pada prinsip-prinsip Free, Prior and
Informed Consent (FPIC), melaksanakan proses-proses konsultasi dan menjamin
pelibatan Masyarakat Adat dalam proses-proses pengambilan keputusan.
17. Menyatakan, bahwa semua inisiatif
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD) harus memberikan
jaminan pengakuan dan perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat termasuk
perlindungan terhadap hak atas tanah dan wilayah adat, ekosistem dan memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi komunitas-komunitas Masyarakat Adat.
18. Menyepakati dan Menegaskan kembali, bahwa tanpa jaminan atas
hak-hak ini, Masyarakat Adat menolak segala bantuk implementasi REDD maupun
inisiatif-inisiatif mitigasi perubahan iklim lainnya.
19. Secara khusus, mendesak Bank Dunia yang
sedang dalam proses meninjau kembali semua kebijakan-kebijakannya, untuk
memastikan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, termasuk Free, Prior
and informed Consent (FPIC),
diakui dan dilindungi dan diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan Bank
Dunia, termasuk dalam kebijakan-kebijakan terkait REDD+.
20.
Semua
pendanaan internasional dan nasional yang diperuntukkan untuk REDD+ harus
memastikan hak-hak Masyarakat Adat, termasuk melibatkan Masyarakat Adat dalam
kebijakan, implementasi dan Monitoringnya (MRV).
Terkait
dengan Pertanahan :
21.
Pemerintah
harus menata kembali politik hukum sistem pertanahan dengan mencabut berbagai
kebijakan pertanahan yang melanggar Hak-Hak Masyarakat Adat.
22. Pemerintah harus menggunakan MoU antara BPN dan
AMAN sebagai landasan untuk mengidentifikasi, menginventarisasi dan
meregistrasi wilayah-wilayah adat
23.
President
harus mengeluarkan Inpres kepada BPN untuk mencabut Hak Guna Usaha (HGU) dan
Hak Guna Bangunan (HGB) yang bermasalah di wilayah-wilayah Masyarakat Adat.
Terkait dengan Departemen Sosial :
24.
Depsos
harus melakukan perubahan definisi soal kemiskinan. KAT dapat mendukung perubahan
situasi di Masyarakat Adat melalui program-program pemberdayaan komunitas adat,
SESUAI dengan kebutuhan Masyarakat
adat yang bersangkutan. Free, Prior and Informed Consent (FPIC) harus menjadi
landasan dalam upaya-upaya menyusun program bersama komunitas. AMAN dapat
bekerjasama dengan Dirjen KAT untuk mengidentifikasi komunitas-komunitas adat
tersebut dan kebutuhan-kebutuhannya.
25.
Depsos
harus menghentikan program resettlement terhadap komunitas-komunitas adat,
karena program ini telah menyebabkan konflik horizontal, serta menyebabkan
hilangnya sistem budaya komunitas adat yang bersangkutan.
Terkait dengan
Kementrian Dalam Negeri :
26.
Sistem-sistem
kepercayaan asli atau agama asli di komunitas-komunitas adat, harus diakui
secara formal oleh Negara. Tidak adanya pengakuan ini telah menyebabkan
terjadinya diskriminasi sosial dan politik terhadap komunitas-komunitas adat
yang menganut sistem-sistem kepercayaan asli tersebut. Negara harus memberikan pelayanan yang sama dan
setara bagi semua penganut agama dan pemeluk kepercayaan asli.
27. Pemekaran-pemekaran propinsi, kabupaten/kota
atau desa yang terjadi selama ini telah menyebabkan terjadinya banyak konflik
tapal batas antar komunitas adat, serta menghancurkan sistem budaya dan
kekerabatan di komunitas-komunitas adat. Oleh sebab itu, pemekaran propinsi,
kabupaten/kota atau desa harus dilakukan sesuai prinsip-prinsip FPIC.
28. Pemerintah harus mengakomodir penyelesaian
konflik oleh komunitas-komunitas adat, terkait dengan tapal batas administrasi
negara yang berada di wilayah-wilayah adat.
Terkait
Hal Khusus :
29.
Mendesak Pemerintah untuk mengakui Masyarakat Adat
Rongkong, termasuk Lembaga Adat, Hukum Adat dan Tanah Adatnya.
30.
Meningkatkan taraf hidup
Masyarakat Adat Rongkong dengan mempercepat model-model pembangunan yang sesuai
dengan keingingan Masyarakat Adat Rongkong.
Sebagai
penutup dari Deklarasi ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membuat
langkah-langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan konflik-konflik terkait
tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah-wilayah Masyarakat Adat.
Kami Masyarakat Adat Nusantara bersedia bekerjasama dengan
Pemerintah dan semua pihak yang relevan untuk mencapai pemenuhan Hak-Hak
Masyarakat Adat di Indonesia.
Disepakati dengan kosensus, oleh
seluruh peserta Rapat Kerja II, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (RAKER II
AMAN), 22 September 2011, di Desa Rinding Allo, Kec. Limbong Kab. Luwu Utara,
Sulawesi Selatan. (Jopi Peranginangin/PB AMAN)