Minggu, 18 Desember 2011
AMAN Semiloka dan Musda di Sinjai
JURnaL Celebes. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Sulawesi Selatan melaksanakan kegiatan seminar dan lokakarya tentang FPIC (Free, Prior, Informed Consent) dan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Kegiatan ini juga dirangkaikan dengan Musyawarah Daerah (Musda) I kepengurusan AMAN Daerah Sinjai. Semiloka dilaksanakan di Wisma Hawai, Kota Sinjai yang dilaksamakan mulai 20-21 Desember 2011, sedangkan musda digelar di Desa Barambang, Kecamatan Sinjai Borong, 22 Desember.
Seminar ini akan dihadiri sekitar 50 peserta antara lain dari masyarakat adat, instansi pemerintah, LAM, perusahaan, akademisi dan dan media massa. Sementara 20 peserta dari masyarakat adat Barambang-Katute menjadi peserta lokakarya.
Seminar yang berlangsung pada hari pertama menampilkan narasumber antara lain Kepala Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) tentang Kebijakan Pemkab Sinjai dalam pengelolaan tambang, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai tentang pembagian kawasan dan dan mekanisme pelepasan kawasan hutan. Sedangkan materi tentang prinsip-prinsip FPIC disampaikan Erasmus Cahyadi dari Pengurus Besar (PB) AMAN. Pada sesi kedua seminar mengetengahkan materi status komunitas adat Barambang-Katute atas wilayah adat disampaikan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sinjai. Selain itu materi tentang sejarah penguasaan kawasan tanah adat Barambang-Katute oleh tokoh adat Barambang Katute.
Menurut Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) AMAN Sulsel, Sardi Razak, kegiatan ini bertujuan untuk meingkatkan pengethuan dan kesadaran parapihak terutama kelompok masyarakat adat yang terkena dampak proyek tentang prinsip-prinsip FPIC. Selain itu untuk memahami akar konflik sumber daya alam. Selain itu, lewat kegiatan ini diharapkan ada agenda bersama dalam meningfkatkan kapasitas masyarakat adat agar mampu menjadi pihak yang setara dalam proses pengelolaan konflik. (rizal pajokka)
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Minggu, Desember 18, 2011
Tidak ada komentar:
Selasa, 08 November 2011
Australia Sahkan UU Pajak Karbon
JURnaL Celebes. Sebuah langkah strategis, maju, dan popular diambil Parlemen Australia. Selasa (9/11), Parlemen Negeri Kanguru itu akhirnya meloloskan undang-undang pajak karbon. Regulasi ini mengatur pajak karbon sebesar US$23,78 per ton karbon untuk 500 perusahaan yang dianggap sebagai penghasil polusi terbesar mulai Juli 2012, sebelum melangkah ke skema pasar karbon pada Juli 2015.
Seperti diberitakan BBC, Selasa, lolosnya undang-undang ini menjadi tonggak reformasi ekonomi terbesar negeri itu dalam satu dekade terakhir. Selain itu, disahkannya undnag-undang pajak emisi karbon ini menjadi sebuah dorongan tambahan menjelang konferensi perubahan iklim di Afrika Selatan, Desember mendatang.
"Ini adalah sebuah langkah positif dalam upaya global menghadapi perubahan iklim. Ini menunjukkan Australia telah siap menggunakan mekanisme pasar dalam mengurangi emisi karbon melalui cara yang murah," kata analis karbon Deutsche Bank, Tim Jordan, kepada BBC.
Disahkannya undang-undang ini adalah kemenangan terbesar Perdana Menteri Julia Gillard yang mempertaruhkan pemerintahannya untuk skema pajak karbon paling komprehensif di luar Eropa, meski banyak kalangan menentang niatnya ini.
Perusahaan yang masuk dalam daftar 500 perusahaan ini harus mendapatkan izin untuk setiap ton karbon yang mereka hasilkan.
"Hari ini menandai awal masa depan energi bersih Australia. Hari ini adalah saat bersejarah, sebuah reformasi yang sudah lama tertunda," kata Menteri Keuangan Penny Wong di hadapan para senator Australia.
Sebelum undang-undang ini disahkan, politisi Australia terlibat dalam perdebatan panjang soal besaran pajak karbon selama satu dekade dan melewati 37 kali pengajuan ke parlemen.
Undang-undang ini nantinya akan mengikat Australia, Selandia Baru dan Uni Eropa dalam skema pasar karbon. Negara bagian Kalifornia, AS memulai skema sama pada 2013, sementara Cina dan Korea Selatan tengah membahas program perdagangan karbon.
India sudah memiliki undang-undang batubara, sementara Afrika Selatan berencana mengenakan pajak untuk para penghasil polusi tertinggi.
Selain mengenakan pajak bagi para polutan tertinggi, undang-undang ini juga menjamin pemberian insentif bagi perusahaan yang berinisiatif mengurangi emisi karbonnya.
Skema ini diharapkan bisa membantu Australia mencapai tujuannya mengurangi emisi karbon sebesar 5% pada 2020.
Namun efek pajak karbon ini segera dirasakan perekonomian negeri itu mulai dari sektor pertambangan hingga produsen LNG, penerbangan dan industri baja.
Semua sektor industri akan berlomba membuat perusahaan mereka lebih efisien dalam penggunaan energi dan mencari alternatif bahan bakar dengan menggunakan gas atau energi terbarukan lain.
Seperti diketahui, Australia menyumbang 1,5% emisi karbon global, namun kini negeri benua itu berkembang menjadi penghasil emisi karbon per kapita tertinggi dunia karena ketergantungannya terhadap batu bara untuk pembangkit listrik. (mus)
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Selasa, November 08, 2011
Tidak ada komentar:
Senin, 07 November 2011
Dusun Dijadikan Hutan Lindung, Warga MattekoTuntut Kejelasan
Laporan Wawa Nirwana
AMAN Sulsel
|
JURnaL Celebes. Menelusuri jalan naik turun serta berkelok-kelok seperti huruf S. Dari kejauhan pemandangan indah nan asri jauh dari hiruk pukuk kota. Tidak lama berajalan dari Desa Ere Lembang, sekitar setengah jam terlihatlah Dusun Matteko yang di kanan kirinya hanya terdapat pohon pinus mengeluarkan aroma khas. Dusun tersebut berada di Kecamatan Tombbolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Tanggal 31 Oktober 2011, Sardi Razak Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (BPH AMAN) Sulawesi Selatan beserta dua orang anggota komunitas Pattallasang Mukhlis dan Ismail. Mereka mengunjungi dusun tersebut atas permintaan Drs. Abdul Gani, Kepala Dusun Matteko, tiga hari sebelumnya.
Warga Dusun Matteko menyambut kedatangan BPH AMAN dengan rasa kekeluargaan. Sekitar 20 warga yang berkumpul di rumah kepala dusun bukan hanya orang tua, tetapi juga anak-anak dan pemuda, lima diantaranya perempuan. Walaupun dengan wajah mengatuk karena hari yang telah larut, namun mereka tetap bersemangat mengikuti diskusi yang difasilitasi oleh Ketua BPH AMAN Sulsel.
Sardi Razak lelaki yang akrab disapa Ian itu, mengawali diskusi dengan menerangkan masalah yang terjadi di beberapa daerah.
“Persoalan yang terjadi di dusun ini, juga terjadi di desa lain” kata laki-laki yang terlihat serius itu.
Puang Ramma (50) menceritakan bahwa jauh sebelum Indonesia merdeka, telah ada kampung di dekat Dusun Matteko. Kampung itu dinamakan Balombong. Namun kampung tersebut sekarang tidak dihuni lagi karena warganya telah pindah ke Dusun Matteko sejak 1957. Nama Matteko yang artinya berbelok-belok itu diberikan oleh seorang tokoh asal Blombong, yang sekarang telah tiada. Kini Dusun Matteko dihuni sekitar 80 kepala keluarga yang jaraknya berjauhan.
Warga Matteko serius memperhatikan penjelasan Ketua BPH AMAN Sulsel dalam Diskusi. (foto: wawa) |
“Pada tahun 1978 warga dusun disuruh menyiapkan lahan untuk penanaman pinus tapi itu tanpa penjelasan. Setahun setelah penanaman, Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa kemudian menetapkan Dusun Matteko sebagai Kawasan Hutan Lindung (KHL),” kata Abd Gani yang juga menjabat sebagai kepala sekolah di madrasah tsanawiyah.
Sejak Dishut menetapkan Dusun Matteko sebagai KHL, warga dilarang memafaatkan hasil hutan.
“Kami dilarang menebang pohon pinus, padahal kami yang menanamnya tapi kalau pohon lain tidak apa-apa,” kata Puang Ramma, yang juga seorang anggota veteran.
“Bahkan telah ada dua orang yang ditangkap karena menebang pohon pinus,” lanjut Puang Ramma.
Warga yang ditangkap bernama Suhardi dan Salu. Keduanya ditangkap sekitar tahun 2010 dan ditahan selama 14 bulan. Awalnya mereka menebang pohon karena ingin membuat areal persawahan tetapi didapati oleh pihak kehutanan yang bertindak sebagai Polisi Kuhutanan (polhut) akhirnya merekapun ditangkap.
Dahulu warga Dusun Matteko mempunyai kelembagaan adat yang disebut sebagai Gallarang, Namun sejak penetapan KHL tersebut, kelembagaan merekapun terabaikan. Kini warga dusun Matteko merasa tidak tenang kerena tidak adanya kejelasan dari pihak kehutaan mengenai status dusun mereka apakah masuk dalam Kawasan Hutan Lindung (KHL) atau tidak.
Akhir dari pertemuan dengan BPH AMAN Sulsel, ada kesepakatan berupa beberapa agenda ke depan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak warga Dusun Matteko yang selama ini tidak jelas statusnya. (wawa)
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Senin, November 07, 2011
Tidak ada komentar:
Kamis, 27 Oktober 2011
BPN Diminta Berani Tuntaskan Sengketa Lahan di Sulsel
Aksi protes masyarakat terhadap PT Lonsum di Bulukumba,
24 Januari 2011. (sumber foto: siklusnews.com)
|
JURnaL Celebes-Makassar. Para aktivitas LSM di Makassar menyatakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulawesi Selatan dan BPN di kabupaten-kabupaten harus bertindak tegas dan konsisten menyelesaikan kasus-kasus agraria. Sebab, jika tidak mampu menuntaskan secepatnya, bahkan kemudian bila ada kesan oknum BPN ikut 'bermain' dalam setiap sengketa agraria, hal ini makin mendorong konflik agraria terus berkepanjangan, yang berdampak pada keberlanjutannya pemiskinan masyarakat, karena keterbatasan lahan untuk hidup.
Simpulan ini mengemuka dalam diskusi terbatas yang dilaksanakan beberapa aktivis LSM di Kantor JURnaL Celebes, Makassar, Rabu (26/10/2011) petang.
Dalam diskusi yang digelar pascapemadaman listrik bergilir Rabu sore itu juga menginventarisasi sedikitnya tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan yang dililit kasus-kasus pertanahan. Sengketa agraria itu umumnya memertentangkan masyarakat dengan aparat negara dalam sengketa lahan badan usaha yang kuat baik swasta maupun badan usaha milik negara.
Kasus-kasus lahan yang menjadi sumber konflik masyarakat berhadapan dengan aparat itu antara lain di Kabupaten Bulukumba dengan kasus PT London Sumatera (Londsum) dan masyarakat adat Kajang, di Kabupaten Sidrap dengan kasus petani berhadapan dengan PT Buli dan PT Margareksa. Di Kabupaten Takalar sengketa tak pernah selesai natara masyatakat dengan PT Perkebunan Nusantara XIV (PT PN XIV). Di Kabupaten Wajo ada kasus di Desa Paselloreng dan Keera antara masyarakat berhadapan dengan PT XIV. Di Luwu Utara PT PN XIV berhadapan dengan
masyarakat di Uraso. Demikian juga di Gowa, lagi-lagi PT PN XIV bersengketa dengan masyarakat.
Menurut Zulkarnain Yusuf Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulsel sengketa agraria yang terjadi di ketujuh Kabupaten itu semunya menempatkan rakyat sebagai pihak yang kalah. Konflik ini terus berlarut-larut dan saat tertentu menimbulkan korban jiwa.
Dalam konteks ini, BPN dinilai tidak memiliki kekuatan tegas untuk menyelesaikan kasus-kasus lahan. Wewenang pemerintah daerah justru dikendalikan berbagai kepentingan terutama terutama kekuatan modal, termasuk mempengaruhi dan peranan BPN. Hal ini berbahaya karena akan semakin mengikis kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap BPN sebagai institusi yang memiliki kewenangan mengatur pertanahan. Ini menjadi potensi konflik horisontal.
Karena itu menurut Ketua BP Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan, Sardi Razak, jika sengketa agraria itu tak terselesaikan, akan tetap tumbuh subur. Konflik ini secara regular akan menimbulkan korban jiwa di pihak masyarakat, karena mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan negara dan keamanan perusahaan yang menggunakan senjata.
Asmar Exwar dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Selatan juga menyatakan pemerintah daerah bersama BPN harus berani bertindak untuk menyelesaikan kasus-kasus agraria itu. Selain itu berharap kepada pemerintah menertibkan kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU) baik HGU baru maupun HGU yang yang menelantarkan lahan. Sebab, HGU-lah yang menjadi sumber sengketa, karena di antaranya ada HGU fiktif yang mengakali penggunaan lahan masyarakat.
Diskusi yang difasilitasi A. Inda Fatinaware dari Sawit Watch ini dihadiri masing-masing Abdul Karim (LAPAR Sulsel), Zulkarnain Yusuf (Walhi Sulsel), Sardi Razak (AMAN Sulsel), Asmar Exwar (KPA Sulsel), Sri Endang Sukarsih (Yayasan Sahabat Masyarakat Sulawesi) dan Mustam Arif (JURnaL Celebes). (mus)
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Kamis, Oktober 27, 2011
Tidak ada komentar:
Kamis, 20 Oktober 2011
Sejumlah Pemantau Independen Dilatih PHPL
JURnaL Celebes-Makassar. Pemantau indepeden kehutanan dari LSM di kawasan timur Indonesia mengikuti lokakarya dan pelatihan (lokalatih) Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) di Makassar, mulai Selasa-Sabtu, 18-22 Oktober 20011. Kegiatan ini digelar Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Telapak, Forest Watch Indonesia, dan JURnaL Celebes, didukung Uni Eropa.
Menurut Koordinator Panitia Pelaksana , Asmar Exwar yang juga Focal Point JPIK Sulsel, kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan membangun kapasitas teknis organisasi masyarakat sipil dan masyarakat adat (lokal) PHPL, sebagai bagian dari dukungan implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Hasil yang diharapkan, masyarakat sipil LSM dan masyarakat lokal tergabung dalam JPIK memiliki kapasitas teknis dalam memanfaatkan data dan informasi yang tersedia. Dengan demikian mampu melakukan proses pemantauan peredaran sumberdaya hutan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penerapan SVLK . Lokalatih ini juga menargetkan sekitar 25 pemantau memiliki kapasitas pengetahuan membangun data base yang memadai.
Pada hari pertama, peserta lokalatih memperoleh materi dari Departemen Kehutanan yang disampaikan Koharuddin. Peserta juga mendalami materi tentang pengembagan data base. Sementara proses pelatihan, peserta mendiskusikan berbagai persoalan dalam pelaksanaan pemantauan independen. Selain itu, peserta secara kelompok diberi tugas untuk menemukan solusi-solusi.
Pelatihan yang dilaksanakan di Hotel Bumi Asih ini juga menitikberatkan pada pemahaman teknis dan mekanisme pemantau independen. (aan kaharuddin)
Menurut Koordinator Panitia Pelaksana , Asmar Exwar yang juga Focal Point JPIK Sulsel, kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan membangun kapasitas teknis organisasi masyarakat sipil dan masyarakat adat (lokal) PHPL, sebagai bagian dari dukungan implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Hasil yang diharapkan, masyarakat sipil LSM dan masyarakat lokal tergabung dalam JPIK memiliki kapasitas teknis dalam memanfaatkan data dan informasi yang tersedia. Dengan demikian mampu melakukan proses pemantauan peredaran sumberdaya hutan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penerapan SVLK . Lokalatih ini juga menargetkan sekitar 25 pemantau memiliki kapasitas pengetahuan membangun data base yang memadai.
Pada hari pertama, peserta lokalatih memperoleh materi dari Departemen Kehutanan yang disampaikan Koharuddin. Peserta juga mendalami materi tentang pengembagan data base. Sementara proses pelatihan, peserta mendiskusikan berbagai persoalan dalam pelaksanaan pemantauan independen. Selain itu, peserta secara kelompok diberi tugas untuk menemukan solusi-solusi.
Pelatihan yang dilaksanakan di Hotel Bumi Asih ini juga menitikberatkan pada pemahaman teknis dan mekanisme pemantau independen. (aan kaharuddin)
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Kamis, Oktober 20, 2011
Tidak ada komentar:
Rabu, 12 Oktober 2011
Masyarakat Padang Lambe: Kesejahteraan di Balik Bayang-bayang Hutan Lindung
Laporan Ancha
JURnaL Celebes. Tumpang tindih
wilayah kelola rakyat dengan wilayah hutan lindung menempati ranking tertinggi dalam
kasus tenurial di Indonesia. Hal ini disebabkan karena penetapan sebuah kawasan
hutan lindung tidak dilakukan secara partispatif. Realitas ini bagaikan bencana
bagi masyarakat yang sewaktu-waktu dapat mencuat karena proses kepentingan,
program, politik dan kepentingan-kepentingan lainnya. Ironisnya Dinas Kehutanan
saat ini tidak begitu konsisten menjaga wilayah-wilayah klaimnya. Bahkan seakan
tak mengenal wilayahnya dan proses penegakan dan penjagaannya pun tak merata.
Salah satu contoh wilayah masyarakat
yang di klaim sebagai hutan lindung adalah Kelurahan Padang Lambe, Kecamatan
Wara Barat, Kota Palopo. Di wilayah ini beberapa kali terjadi perseteruan
anatara masyarakat dan Dinas Kehutanan karena perbedaan persepsi tentang
Wilayah Kawasan Hutan Lindung. Hal ini yang menyebabkan Program Rumah Komunitas
Adat Terpencil terkatung-katung karena wilayah tersebut diklaim oleh Dinas
Kehutanan sebagai hutan lindung.
Masih banyak lagi wilayah kelola
rakyat yang ada di Kelurahan Padang Lambe yang masuk dalam klaim hutan lindung,
yang notabene masyarakat sudah sejak dulu mengelola wilayah tersebut dan bahkan
masyarakat memiliki klaim batas hutan lindung hasil dari penetapan Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1980an. Hal inilah yang menjadi patron
masyarakat dalam mengelola wilayah. Tapi ironisnya klaim hutan lindung sampai
melewati batas dan sampai kewilayah perkampungan masyarakat.
Luas Wilayah Kelurahan Padang lambe adalah 3195.15 Ha dan diklaim oleh Hutan Lindung Seluas 2147.82 Ha |
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Rabu, Oktober 12, 2011
Tidak ada komentar:
Senin, 10 Oktober 2011
Empat LSM Riset Kebijakan Media dan Hak Warga Negara
JURnaL Celebes-Yogyakarta. Centre for Innovation, Policy Governance (CIPG) bekerja sama dengan HiVOS, dan Ford Foundation melaksanakan pelatihan riset untuk peningkatan kapasitas organisasi masyarakat sipil diberi nama Critical Research Methods (Creame) atau metode riset kritis. Pelatihan diikuti utusan dari empat LSM ini berlangsung di Pusdiklat Satunama, Yogyakarta, mulai 3-7 Oktober 2011 lalu. Proses capacity building ini ditindaklanjuti dengan menyusun draft rencana riset tentang kebijakan media dan hak-hak warga negara.
Empat LSM yang menjadi mitra pelaksana riset ini masing-masing ITC Wath, AJI Nasional, Rumah Blogger Bengawan, dan JURnaL Celebes.
ITC Watch akan meneliti peran media hybrid sebagai media alternatif bagi masyarakat. AJI akan meriset dampak konglomerasi media terhadap pekerja media. Rumah Blogger Bengawan akan meneliti peran jurnalistik warga dalam pelayanan publik.
Sedangkan JURnaL Celebes akan melakukan riset tentang akses media massa terhadap masyarakat di sekitar hutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Riset JURnaL Celebes akan memfokuskan pada sejauh mana media massa memberi akses informasi terhadap masyarakat dan sejauh mana masyarakat sekitar hutan mengakses media dalam kaitannya dengan pegelolaan sumber daya hutan. Riset JURnaL Celebes direncanakan dilakukan di Sinjai, Enrekang, Palopo, Maros, dan Luwu Utara.
Riset yang dilakukan selama enam bulan ini merupakan tahap awal dari rencana riset nasional kebijakan media dan dan hak-hak warga negara yang direncanakan CIPG, HiVOS, dan Ford Foundation. Hasil riset tahap awal ini akan dikemas menjadi buku pembelajaran dalam peningkatan kapasitas dan kemampuan riset bagi organisasi masyarakat sipil.
Pelatihan selama lima hari di Pusdiklat Satunama Yogyakarta merupakan program pengembangan kapasitas yang bertujuan mengasah kemampuan berpikir dan berargumentasi secara sistematik berdasarkan metoda analisis data yang dapat dipertanggung-jawabkan dalam kaidah-kaidah ilmiah. Program tersebut terdiri atas tiga bagian antara lain pelatihan Creame, mentoring (luring/visitasi dan daring) secara berkala, dan lokakarya visioning. Program pengembangan kapasitas menggunakan pendekatan Enquiry Based Learning dimana peserta didorong mengambil peran sangat aktif.
Topik-topik tersebut akan disampaikan melalui diskusi kelompok, diskusi pleno dan live-in. Peserta Pelatihan Creame dipandu Dr. Yanuar Nugroho, pengajar di Manchester Institute of Innovation Research, Shita Laksmi, Direktur ad interim HiVOS Asia Tenggara, Mirta Amalia,, Direktur Riset CIPG dan mahasiswa doktoral di Manchester Business School, serta narasumber Dr. B. Herry Priyono Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara. (m).
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Senin, Oktober 10, 2011
Tidak ada komentar:
Sabtu, 24 September 2011
Deklarasi Rongkong : AMAN Minta Pemerintah Cabut UU Kehutanan dan Minerba
Peserta Rakernas AMAN disambut di Rongkong |
JURnaLCelebes-Rinding Allo. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang
melaksanakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) mulai 20-23 September 2011 di Desa
Rinding Allo, Kecamatan Limbong, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi
Selatan merumuskan sebuah deklarasi yang dinamakan Deklrasi Rongkong. Di antara poin penting deklarasi ini adalah AMAN
meminta pemerintah mencabut Undang-Undang Nomor 41 tantang Kehutanan dan
Undang-Undang
Nomor
4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara (minerba) dan menggatinya dengan
undang-undang yang mengakui dan melindungi masyarakat adat.
AMAN menilai Undang-Undang Kehutanan dan UU Minerba menjadi
sumber konflik dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) terhadap masyarakat
adat. AMAN juga mendesak pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan
Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlinudngan Masyarakat Adat yang saat
ini sudah tercantum dalam Program Legislasih Nasional (Prolegnas).
Dalam deklrasi ini, AMAN menyatakan bersedia bekerjasama
dengan pemerintah dan semua pihak yang relevan untuk mencapai pemenuhan hak-hak
masyarakat adat di Indonesia.
Kegiatan yang digelar selama tiga hari di wilayah adat
Komunitas Rongkong ini, Pengurus Besar, wilayah dan daerah yang berjumlah 140 orang
itu merumuskan deklarasi yang merupakan bagian dari hasil rapat, yang
terakomodasi dalam 30 poin untuk berbagai persoalan.
Rangkaian Rakernas dimulai sejak
18 September yang diawali dengan Rapat Umum dan Konsultasi Nasional. Dua
kegiatan ini dilaksanakan 18-19 di Lapangan Sabbang, dan di Masamba, ibukota
Kabupaten Luwu Utara.
Berikut Deklarasi Rongkong :
DEKLARASI RONGKONG
ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA
(AMAN)
Desa Rinding Allo, Kec. Limbong Kab.
Luwu Utara, 22 September 2011
Pada tanggal 18-22 September 2011,
telah dilakukan suatu rangkaian proses Rapat Kerja Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) ke-II, yang dimulai dengan Rapat Umum dan Konsultasi Nasional
Masyarakat Adat Nusantara.
Rapat Umum, Konsultasi Nasional dan
Rapat Kerja ini dihadiri oleh seluruh Dewan AMAN (DAMAN), Pengurus Besar (PB
AMAN), Badan Pelaksana Harian (BPH) AMAN Wilayah, Dewan AMAN Wilayah, Badan
Pelaksana Harian (BPH) AMAN Daerah dan Dewan AMAN Daerah.
Kami mengucapkan terimakasih kepada BPH
AMAN Wilayah Sulawesi Selatan dan BPH AMAN Wilayah Tanah Luwu yang telah
membantu kelancaran proses Rapat Umum dan Konsultasi Nasional di Masamba, Luwu
Utara pada tanggal 18-19 September 2011, juga kepada Masyarakat Adat Rongkong
di Desa Rinding Allo, Kec. Limbong, Kab. Luwu Utara, yang telah menyediakan
wilayah adatnya sebagai tempat berlangsungnya Rapat Kerja II AMAN, pada tanggal
20-22 September 2011.
Kami, Masyarakat Adat Nusantara, yang
mendiami wilayah-wilayah pegunungan dan hutan, hingga pesisir dan pulau-pulau
kecil di Indonesia, masih terus menghadapi tantangan besar
dalam berbagai bidang, baik sosial, ekonomi, budaya, politik maupun wilayah dan
sumber daya alam. Perkembangan pembangunan yang masih berorientasi pada
peningkatan ekonomi makro mempengaruhi eksistensi, identitas dan ketahanan dari
tatanan kehidupan tradisional komunitas-komunitas adat. Salah satu persoalan
utama yang hingga saat ini masih menjadi persoalan berat bagi
komunitas-komunitas Masyarakat Adat adalah konflik wilayah dan sumber daya
alam.
Wilayah adat,
yang di dalam dan di atasnya mengandung sumber-sumber agraria berupa tanah dan
beragam sumber daya alam, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan Masyarakat Adat. Wilayah adat tidak hanya dipandang sebagai sumber
ekonomi dan kelangsungan hidup komunitas, tetapi juga merupakan identitas;
identitas suatu eksistensi yang terkandung dalam sistem nilai, baik sosial, budaya
maupun spiritual, yang diwariskan secara turun temurun. Dengan nilai-nilai itu,
Masyarakat Adat terus berupaya menjaga dan mempertahankan wilayah adatnya.
Upaya-upaya
menjaga, melestarikan dan mempertahankan wilayah adat ini mengalami tantangan
sangat berat. Selama 4 dasawarsa sejak Rejim Pemerintahan Orde Baru dan Orde
Reformasi, berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan telah menyebabkan
terjadinya praktek-praktek perampasan, penghancuran dan penghilangan atas
wilayah adat. Umumnya wilayah-wilayah adat ini dikuasai oleh pihak lain melalui
sistem perijinan yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk Hak Guna Usaha
(HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK-dulu HPH), Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Tanaman Industri
(IUPHHTI-dulu HTI) dan Kawasan Pertambangan (KP). Masyarakat Adat dipaksa dan
ditaklukkan oleh sistem perijinan yang menghilangkan hak-hak dasar, serta
menyebabkan terjadinya pemiskinan dan kerawanan pangan.
Kami menyadari, masih banyak tantangan
dalam memastikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat
Nusantara. Oleh sebab itu, kami, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
Terkait dengan Kebijakan Negara :
1. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera mempercepat
proses pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan
Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) yang saat ini telah tercantum
dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010-2014.
2. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk mencabut
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 4/2009 tentang
Mineral dan Batubara, karena Undang-Undang ini telah menjadi sumber konflik dan
pelanggaran HAM terhadap komunitas-komunitas Masyarakat Adat, kemudian
menggantinya dengan Undang-Undang yang mengakui dan melindungi Hak-Hak
Masyarakat Adat.
3.
Oleh sebab itu, Hutan Desa, HKM, HTR dan bentuk program
kehutanan yang dihasilkan oleh Undang-Undang 41/1999 tentang Kehutanan, kami
nyatakan, TIDAK BERLAKU di
wilayah-wilayah adat.
4. Pemerintah
Indonesia harus memberikan pengakuan formal atas wilayah-wilayah adat dan
membentuk suatu badan atau lembaga yang berfungsi untuk melakukan registrasi
wilayah adat. BRWA harus dapat menjadi acuan dalam proses-proses registrasi
wilayah adat yang dimaksud.
5. Semua
kebijakan yang terkait, atau yang akan berdampak terhadap wilayah adat dan tata
kelola tradisional, sebagai contoh Peta yang dihasilkan Bakosurtanal atau
kebijakan tentang Tata Ruang, harus dibuka kepada public dengan mengutamakan
prinsip transparansi sesuai dengan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi.
6. Menyerukan kepada Pemerintah Indonesia di semua tingkatan
untuk tidak memberikan ijin kepada pihak manapun untuk melakukan eksploitasi
terhadap hutan dan sumber daya alam yang berada di wilayah-wilayah adat tanpa
persetujuan dari Masyarakat Adat yang bersangkutan melalui mekanisme yang
disepakati bersama.
7.
Rancangan
Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa
atau Nama Lain yang sedang disusun
saat ini, harus mengakomodir sistem-sistem adat yang berlaku di komunitas-komunitas
serta otonomi asli Masyarakat Adat.
8. Mendesak
Presiden Republik Indonesia untuk segera mengeluarkan Kepres tentang Pengakuan
Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) sebagai
implementasi dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, berikut Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaannya.
9.
AMAN mendukung proses penyusunan Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) oleh Kementrian
Lingkungan Hidup sebagai implementasi dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Terkait dengan Hak dan Prinsip atas
Free, Prior and Informed Consent (FPIC) :
10.
Setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah berikut implementasinya di komunitas
Masyarakat Adat harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip FPIC.
11.
FPIC
sebagai prinsip dan hak masyarakat adat harus diketahui oleh seluruh level
pemerintahan dan menjadi landasan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan serta program.
Terkait dengan
Perubahan Iklim, Krisis Pangan, Energi dan REDD+:
12.
Lahan-lahan
produktif, sumber-sumber pertanian dan kelautan Masyarakat Adat, sumber-sumber
air dan sumber-sumber pangan organik harus dilindungi dan dilestarikan.
Tanah-tanah Masyarakat Adat dan petani merupakan sumber-sumber produksi untuk
memenuhi kebutuhan pangan nasional tersebut, oleh sebab itu, harus dilindungi.
Hal ini disebabkan karena kedaulatan atas
pangan harus menjadi tujuan Pemerintah Indonesia. Kedaulatan atas pangan
tidak sama dengan ketahanan pangan.
Ketahanan pangan dapat berarti Negara bertumpu pada hasil bumi atau
produk-produk impor dari luar untuk memenuhi kebutuhan atas pangan, sementara
kedaulatan atas pangan bertumpu pada kekuatan lokal dalam negeri, untuk
memenuhi kebutuhan pangan nasional.
13. Pemerintah harus melindungi pangan lokal
sebagai makanan pokok di masing-masing daerah dan komunitas-komunitas adat
sebagai dasar dari kekuatan pangan nasional.
14. Sebagian besar sumber energi kita saat ini
masih bertumpu pada minyak bumi dan batubara. Pemerintah Indonesia harus
melakukan identifikasi dan mendorong pemanfaatan sumber-sumber energi
terbarukan, misalnya panas bumi, mikrohidro, panas matahari, atau gas dari
kotoran hewan, yang dapat diakses dan dikelola oleh masyarakat adat.
15. Masyarakat Adat harus dilibatkan dan
diutamakan dalam proses-proses perubahan iklim dan REDD+, karena Masyarakat Adat sebagai pemilik wilayah adat, hidupnya sangat tergantung
pada hutan. Hutan merupakan identitas Masyarakat Adat. Hilangnya
hutan menyebabkan hilangnya identitas Masyarakat Adat.
16. Menegaskan kembali, bahwa semua inisiatif untuk melakukan adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim harus didasarkan pada prinsip-prinsip Free, Prior and
Informed Consent (FPIC), melaksanakan proses-proses konsultasi dan menjamin
pelibatan Masyarakat Adat dalam proses-proses pengambilan keputusan.
17. Menyatakan, bahwa semua inisiatif
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD) harus memberikan
jaminan pengakuan dan perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat termasuk
perlindungan terhadap hak atas tanah dan wilayah adat, ekosistem dan memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi komunitas-komunitas Masyarakat Adat.
18. Menyepakati dan Menegaskan kembali, bahwa tanpa jaminan atas
hak-hak ini, Masyarakat Adat menolak segala bantuk implementasi REDD maupun
inisiatif-inisiatif mitigasi perubahan iklim lainnya.
19. Secara khusus, mendesak Bank Dunia yang
sedang dalam proses meninjau kembali semua kebijakan-kebijakannya, untuk
memastikan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, termasuk Free, Prior
and informed Consent (FPIC),
diakui dan dilindungi dan diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan Bank
Dunia, termasuk dalam kebijakan-kebijakan terkait REDD+.
20.
Semua
pendanaan internasional dan nasional yang diperuntukkan untuk REDD+ harus
memastikan hak-hak Masyarakat Adat, termasuk melibatkan Masyarakat Adat dalam
kebijakan, implementasi dan Monitoringnya (MRV).
Terkait
dengan Pertanahan :
21.
Pemerintah
harus menata kembali politik hukum sistem pertanahan dengan mencabut berbagai
kebijakan pertanahan yang melanggar Hak-Hak Masyarakat Adat.
22. Pemerintah harus menggunakan MoU antara BPN dan
AMAN sebagai landasan untuk mengidentifikasi, menginventarisasi dan
meregistrasi wilayah-wilayah adat
23.
President
harus mengeluarkan Inpres kepada BPN untuk mencabut Hak Guna Usaha (HGU) dan
Hak Guna Bangunan (HGB) yang bermasalah di wilayah-wilayah Masyarakat Adat.
Terkait dengan Departemen Sosial :
24.
Depsos
harus melakukan perubahan definisi soal kemiskinan. KAT dapat mendukung perubahan
situasi di Masyarakat Adat melalui program-program pemberdayaan komunitas adat,
SESUAI dengan kebutuhan Masyarakat
adat yang bersangkutan. Free, Prior and Informed Consent (FPIC) harus menjadi
landasan dalam upaya-upaya menyusun program bersama komunitas. AMAN dapat
bekerjasama dengan Dirjen KAT untuk mengidentifikasi komunitas-komunitas adat
tersebut dan kebutuhan-kebutuhannya.
25.
Depsos
harus menghentikan program resettlement terhadap komunitas-komunitas adat,
karena program ini telah menyebabkan konflik horizontal, serta menyebabkan
hilangnya sistem budaya komunitas adat yang bersangkutan.
Terkait dengan
Kementrian Dalam Negeri :
26.
Sistem-sistem
kepercayaan asli atau agama asli di komunitas-komunitas adat, harus diakui
secara formal oleh Negara. Tidak adanya pengakuan ini telah menyebabkan
terjadinya diskriminasi sosial dan politik terhadap komunitas-komunitas adat
yang menganut sistem-sistem kepercayaan asli tersebut. Negara harus memberikan pelayanan yang sama dan
setara bagi semua penganut agama dan pemeluk kepercayaan asli.
27. Pemekaran-pemekaran propinsi, kabupaten/kota
atau desa yang terjadi selama ini telah menyebabkan terjadinya banyak konflik
tapal batas antar komunitas adat, serta menghancurkan sistem budaya dan
kekerabatan di komunitas-komunitas adat. Oleh sebab itu, pemekaran propinsi,
kabupaten/kota atau desa harus dilakukan sesuai prinsip-prinsip FPIC.
28. Pemerintah harus mengakomodir penyelesaian
konflik oleh komunitas-komunitas adat, terkait dengan tapal batas administrasi
negara yang berada di wilayah-wilayah adat.
Terkait
Hal Khusus :
29.
Mendesak Pemerintah untuk mengakui Masyarakat Adat
Rongkong, termasuk Lembaga Adat, Hukum Adat dan Tanah Adatnya.
30.
Meningkatkan taraf hidup
Masyarakat Adat Rongkong dengan mempercepat model-model pembangunan yang sesuai
dengan keingingan Masyarakat Adat Rongkong.
Sebagai
penutup dari Deklarasi ini, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membuat
langkah-langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan konflik-konflik terkait
tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah-wilayah Masyarakat Adat.
Kami Masyarakat Adat Nusantara bersedia bekerjasama dengan
Pemerintah dan semua pihak yang relevan untuk mencapai pemenuhan Hak-Hak
Masyarakat Adat di Indonesia.
Disepakati dengan kosensus, oleh
seluruh peserta Rapat Kerja II, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (RAKER II
AMAN), 22 September 2011, di Desa Rinding Allo, Kec. Limbong Kab. Luwu Utara,
Sulawesi Selatan. (Jopi Peranginangin/PB AMAN)
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Sabtu, September 24, 2011
Tidak ada komentar:
Senin, 19 September 2011
Rakernas AMAN : Wabup Minta Cabut HGU Seko Fajar
Indah Putri Indriani |
JURnaL Celebes-Sabbang. Wakil Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani kembali meminta kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Seko Fajar Plantation di Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara. Pemkab Luwu Utara, Sulawesi Selatan menilai, HGU di atas lahan 23.718 hektar itu merugikan masyarakat adat yang mediami tujuh desa di Seko.
Permintaan itu disampaikan Indah Indriani pada pembukaan Rapat Kerja Nasional dan Konsultasi Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Lapangan Sabbang, Luwu Utara, Minggu (18/9/2011). Indah mengemukakan permintaan ini saat tampil sebagai narasumber Konsultasi Nasional sebelum giliran Kepala BPN Joyo Winoto menyampaikan pidato yang saat itu dilanjutkan dengan penandatanganan nota kesepahaman antara AMAN dan BPN.
Menurut Indah, semua proses pencabutan HGU PT Seko Fajar sudah direalisasikan, namun belum juga ada rekomendasi dari BPN.
Sementara Kepala BPN Joyo Winoto kepada wartawan setelah acara pembukaan Rakernas dan Konsultasi Nasional AMAN menyatakan bahwa permohonan dari Pemkab Luwu Utara untuk mencabut HGU PT Seko Fajar sudah diterima dan semua persyaratannya sudah lengkap. Namun, pihak BPN masih mengkaji permohonan tersebut sebelum mengeluarkan rekomendasi.
PT Seko Fajar Plantation memegang HGU sejak 1995. Perusahaan itu hanya satu tahun melakukan aktivitas pembibitan dan penanaman teh. Setelah itu, lahan HGU yang meliputi 85 persen luas wilayah Kecamatan Seko itu ditelantarkan hinga saat ini.
HGU PT Seko Fajar Plantation awalnya akan memanfaatkan lahannya untuk bidang perkebunan seperti teh hijau, kopi arabika, markisa dan tanaman hortikultura lainnya. Bukti penguasaan HGUnya tersendiri terlihat dalam sertifikat HGU Nomor 1/1996 tanggal 10 Agustus 1996 dengan lahan seluas 12.676 hektar dan berakhir hingga 16 Agustus 2020 sedangkan HGU yang kedua bernomor 02/1996 tertanggal 16 Agustus 1996 seluas 11.042 hektar dan berakhir tanggal 16 Agustus 2020.
Masyarakat Seko kemudian merasa resah dengan kondisi ini, karena menduga ada kepentingan lain dari perolehan HGU yang kemudian ditelantarkan ini. Atas keserahan tersebut, masyarakat adat Seko meminta Pemkab Lutra untuk mencabut HGU tersebut karena merugikan masyarakat karena wilayah yang masuk HGU untuk merupakan kawasan keloa masyarakat.
Pada tahun 2009 lalu, Pemkab Luwu Utara ketika itu masih dipimpin Bupati Luthfi A. Mutty juga telah mendesak BPN untuk mencabut HGU perusahaan itu. (must)
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Senin, September 19, 2011
Tidak ada komentar:
AMAN : Depsos Harus Hentikan Pola KAT
JURnaL Celebes-Masamba. Seluruh peserta Konsultasi Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Minggu (18/9/2011) malam, meminta Departemen Sosial menghentikan program pemberian bantuan dengan pola memindahkan atau mengubah (resettlement ) pemukiman masyarakat adat lewat program Komunitas Adat Terpencil (KAT). Keseluruhan pengurus AMAN menilai program ini menimbulkan konflik horisontal dan hilangnya sistem budaya komunitas adat.
Dalam acara yang merupakan rangkaian dari kegiatan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN, di Hotel Remaja Indah Masamba ini, peserta mendebati narasumber Sonny W. Wanalu, Kepala Sub Direktorat Pemberdayaan KAT, Departemen Sosial.
Menurut sekitar 140 peserta konsultasi nasional AMAN yang hadir malam itu, KAT menggunakan dimenasi kemiskinan dalam menentukan katagori terhadap sebuah komunitas masyarakat adat untuk memberikan bantuan. Hal ini menyebabkan bantaun salah sasaran, tidak memenuhi kebutuhan, malah kemudian menimbulkan konflik. Di banyak kasus, bantuan KAT berupa pemukiman, kemudian tidak diterima komunitas adat karena tidak sesuai pola hidup komunitas. Program KAT kemudian hanya mengejar realisasi target proyek.
Dalam perdebatan itu kemudian peserta memberi catatan akan mendukung program KAT apabila Departemen Sosial melakukan perubahan devinisi soal kemiskinan. Apabila KATdapat mendukung perubahan di masyarakat adat melalui program-program pemberdayaan komunitas adat sesuai kebutuhan masyarakat adat.
Peserta konsultasi nasional menekankan paling penting mekanisme KAT harus berlandaskan pada prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) atau memberi informasi yang layak sebelum mengimplementasikan program dan memenuhi penerimaan tanpa paksaan dari masyarakat adat. Jika ini terpenuhi, maka AMAN dapat bekerjasama dengan Dirjen KAT untuk mengidentifikasi komunitas-komunitas adat dan kebutuhan-kebutuhannya.
Rakernas dan konsultasi nasional AMAN berlangsung mulai 18-22 September di Masamba, Ibukota Kabupaten Luwu Utara dan Desa Rinding Allo, Kecamatan Limbong, Kabupaten Luwu Utara. Konsultasi nasional dan rapat umum dilangsungkan di Masamba, sementara rakernas dihelat di Desa Rinding Allo, sebuah kampung komunitas adat Rongkong di dataran tinggi gugusan verbek Sulawesi. (mustam arif)
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Senin, September 19, 2011
Tidak ada komentar:
Sony Keraf : Pemerintah Abaikan Kedaulatan Pangan
(Tanah Adat
dan Petani Jadi Sumber Utama Pangan Nasional)
Sony Keraf |
JURnaLCelebes-Masamba. Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Sony Keraf, mengkritik
pemerintah karena hanya mengejar ketahanan pangan dan mengabaikan kedaulatan
pangan. Akiabtnya, pemerintah hanya bertumpu pada ketersiadaan hasil bumi dan
impor pangan yang justru akan mengancurkan potensi pangan-pangan lokal yang
akan berdampak pada krisis pangan nasional.
Pernyataan
ini disamapikan Sony Keraf pada Rapat Umum dan Konsultasi Nasional menandai
pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) di Lapangan Sabbang, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Minggu
(18/9/2011.
Tampil
sebagai narasumber di hadapan sekitar 150 masyarakat adat yang memenuhi
Lapangan Kecamatan Sabbang itu, Sony Keraf juga menyatakan tanah-tanah adat dan
petani menjadi sumber utama produksi yang memenuhi kebutuhan pangan nasional. Karena
itu dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim dan REDD+, masyarakat adat harus
dilibatkan karena sebagai pemilik wilayah adat, hidup mereka sangat tergantung
pada hutan. Sebagai pengawal hutan dan sumber daya alam, masyarakat adat
menjadi benteng terakhir yang menjaga kelangsungan pangan masa depan.
Tentang
ketahanan dan kedaulayan pangan, Sony mengatakan, kedaulatan atas pangan tidak
sama dengan ketahanan pangan. Ketahanan pangan dapat berarti negara bertumpu
pada hasil bumi atau produk-produk impor dari luar untuk memenuhi kebutuhan
pangan. Sementara kedaulatan atas pangan bertumpu pada kekuatan lokal dalam
negeri, untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Jika pola ketahanan pangan terus
dipertahankan, pemerintah akan merusak potensi lokal dan itu berarti merusak
potensi pangan nasional.
‘’Biarkan
orang NTT makan jagung, jangan dipaksa makan nasi. Biarkan orang Papua makan
sagu dan jangan dipaksa makan nasi, sebab sumber kekuatan lokal mereka adalah
jagung dan sagu, bukan beras. Biarkan orang Luwu Utara makan nasi dan sagu
karena dua sumber pangan itu berada di sini. Kalau masing-masing daerah sudah
bertumpu pada kekuatan pangan lokal masing-masing, pemerintah tidak perlu susah
payah dan ironis mengimpor beras, kedele, kacang,’’ papar Sony Keraf.
Penulis buku Etika Lingkungan Hidup ini juga mengkritik pengelolaan sumber daya energi
yang hampir secara keseluruhan masih bertumpu pada minyak bumi dan batubara.
Menurut Sony, pemerintah Indonesia harus melakukan identifikasi dan mendorong
pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan, misalnya panas bumi, mikrohidro,
panas matahari, atau gas dari kotoran hewan, yang dapat diakses dan dikelola
oleh masyarakat adat.
‘’Padahal
sesuai pengalaman, dua ekor sapi bisa menghasilkan energi gas untuk memenuhi
kebutuhan beberapa rumah tangga, selain menghasilkan pupuk organik,’’ ungkap
Sony memberi contoh.
Lahan-lahan
produktif, tambah Sony, sumber-sumber pertanian rakyat, sumber-sumber air dan
sumber-sumber pangan organik harus dilindungi dan dilestarikan. Sepanjang
sejarah proses ini telah dilakukan masyarakat adat.
Rakernas
dan konsultasi nasional AMAN berlangsung mulai 18-22 September 2011 di Masamba,
Ibukota Kabupaten Luwu Utara dan Desa Rinding Allo, Kecamatan Limbong,
Kabupaten Luwu Utara. Konsultasi nasional dan rapat umum dilangsungkan di
Masamba, sementara rakernas dihelat di Desa Rinding Allo, sebuah kampung
komunitas adat Rongkong di dataran tinggi gugusan verbek Sulawesi. (mustam arif)
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Senin, September 19, 2011
Tidak ada komentar:
Tanah Adat Bukan Sejauh Mata Memandang
Kasmita Widodo |
Karena itu, Kasmita yang menjadi narasumber pada Konsultasi Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Senin (19/9/2011) meminta kepada masyarakat adat untuk proaktif mendata dan memetakan wilayah adat masing-masing. Hanya dengan cara ini, kata Kasmita yang juga Koordinator Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), masyarakat bisa mempunyai bukti dan nilai tawar dalam upaya memperoleh pengakuan dan kepastian hukum dalam mengelola wilayah adat.
Menurut Kasmita, dalam meperjuangkan wilayah adat, masyarakat adat harus mempunyai bukti-bukti otentik atas tanah adat, tidak bisa hanya dengan kalim dengan berbatas benda berupa pohon dan batu-batu. Jamainan untuk itu bisa diperoleh jika tanah-tanah adat yang ada sekarang ini harus terpetakan.
''Tidak perlu memikirkan apakah di atas tanah itu ada hutan lindung, wilayah konsensi atau HGU. Yang penting adalah petakan saja, karena dengan memetakan bisa menjadi data untuk kemudian berupaya memastikan wilayah adat tersebut,'' papar Kasmita.
Menurut Kasmita, hingga saat ini dari 1.163 wilayah adat yang terdaftar, baru ada 56 wilayah komunitas adat yang diregistrasi dengan luas wilayah mencapai lebih dari 723 ribu hektar. Dari jumlah itu, baru ada enam wilayah yang diverifikasi atau telah tuntas menjadi peta secara konperensif. Karena itu, ke depan BRWA akan membuka kantor oeprasional di seluruh Indonesia dan Kasmita mengharapkan semua stakeholder berparan mendorong percepatan pemetaan partisipatif wilayah-wilayah adat. (must)
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Senin, September 19, 2011
Tidak ada komentar:
Minggu, 18 September 2011
AMAN dan BPN Bersepakat Jamin Tanah Adat
Kepala BPN Joyo Winoto (kiri) dan
Sekjen AMAN Andon Nababan
|
JURnaL Celebs-Sabbang. Masyarakat adat memperoleh jaminan dari BPN dalam memperoleh kejelasan hak atas tanah atau wilayah adat. Pada pembukaan Rapat Kerja Nasonal (Rakernas) dan Konsultasi Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Lapangan Sabbang, Kabupaten Luwu Utara, Minggu (18/9), AMAN dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menandatangani nota kesepahaman untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat adat dalam konteks pengeolaan tanah adat.
Nota kesepahaman itu ditandatangani Kepala BPN, Joyo Winoto, dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN, Abdon Nababan, diiringi teriakan haru dan tepuk tangan bergemuruh raturan masyarakat adat serta tarian penghormatan di Lapangan Sabbang. Rakernas dan Konsultasi Nasional berlangsung 18-22 September di Masamba dan di Desa Rinding Allo, Kecamatan Limbong, Luwu Utara.
Dalam nota kesepahaman berjangka waktu lima tahun itu disepakati antara lain; mengakomodir hak-hak masyarakat adat dan wilayah adat dalam konteks pembaruan hukum pertanahan, serta pengembangan model-model reforma agraria. Sehubungan dengan itu, melakukan identifikasi dan inventarisasi keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya untuk perlindungan hukum.
Dalam noto kesepahaman itu juga disepakati AMAN dan BPN bersama-sama merumuskan mekanisme dan penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan di wilayah masyarakat adat. Selain itu, AMAN dan BPN juga akan melakukan pertukaran informasi dan pengetahuan untuk meningkatkan peran dan tugas masing-masing.
Sekjen AMAN, Abdon Nababan dalam pidato di hadapan ratusan masyarakat adat di Lapangan Sabbang menekankan AMAN menilai hanya ada tiga aspek yang menentukan ada tidaknya masyarakat adat yakni identitas, darah, dan tanah. Dari tiga aspek itu, tanah merupakan persoalan yang sangat krusial bagi masyarakt adat, karena tanah-tanah adat telah dirampas oleh pengelola negara untuk berbagai kepentingan. Padahal tanah bagi masyarakat adat bukan sekadar tempat untuk bercocok tanam, tetapi merupakan identitas spiritual, kultural dan sosial.
Sementara Kepala BPN Joyo Winoto dalam pedatonya mengharapkan kepada AMAN dan segenap masyarakat adat untuk bersama-sama mendorong reforma agraria untuk kembali menata tanah, agar tanah-tanah di negeri terutama tanah-tanah adat dapat dikelola secara adil dan proposional. Joyo Winoto mengakui selama ini ada penyelewengan dan ketidakadilan dalam implementasi hukum pertanahan, dan konflik lahan menjadi masalah yang tidak pernah selesai. Karena itu, menurut Kepala BPN, sekaranglah waktunya untuk menata kembali tanah di negeri ini, dan cara terbaik adalah lewat reformasi agraria, dan AMAN diharapkan menjadi salah satu lokomotif perjuangan reforma agraria. (mus)
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Minggu, September 18, 2011
Tidak ada komentar:
Sabtu, 17 September 2011
Rakernas AMAN: Peserta Mulai Bedatangan
JURnaL Celebes-Makassar. Peserta Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan Konsultasi Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hari ini sudah mulai berdatangan. Direncanakan hari ini akan tiba rombongan AMAN dari Mataram, Banjarmasin, Denpasar, Baikpapan, Maraoke Papua, Ambon, Medan, Jambi, Palembang, Jakarta dan Pintianak. Sedangan malam nanti dari Manado, Bengkulu dan sebagian dari Banjarmasin.
Rakernas, seminar nasional dan konsultasi nasional AMAN akan dilangsungkan mulai 18-21 September 2011, di Masamba ibukota Kabupaten Luwu Utara, dan di wilayah adat Rongkong, Kecamatan Limbong, Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Sesuai informasi, Tim Penjempatan dari AMAN Sulsel, rombongan dari Mataram, Banjarmasin dan Denpasar rencananya akan tiba siang hari ini di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Dari Bandara Hasanuddin, rombongan langsung dijemput oleh bus yang sudah disediakan langsung melanjutkan perjalanan ke Masamba, Ibukota Kabupaten Luwu Utara yang menjadi tempat kegiatan. Perjalanan dari Makassar ke Masamba ditempuh dengan bus sekitar 9-10 jam.
Sedangkan rombongan dari Ambon, Medan, Jambi dan Palembang diperkirakan juga tiba di Bandara Hasanuddin menjelang petang dan langsung ke Masamba. Sedangkan rombongan dari Bengkulu dan Manado diperkiarakan tiba di Bandara Hasanuddin petang hari ini, juga langsung melanjutkan perjalanan ke Masamba.
Kegiatan seminar nasional/konsultasi dihelat di Masamba, ibukota Kabupaten Luwu Utara. Sedangkan rakernas akan dilaksanakan di wilayah adat Rongkong, Kecamatan Limbung, Luwu Utara.
Kegiatan seminar nasional menghadirkan pembicara antara lain Kepala Badan Pertanahan Nasional, Joyo Winoto, Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Ilyas Asaad, Kepala Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Bappenas, Basah Harnowo, dan Bupati Luwu Utara. Sedangkan konsultasi Nasional menghadirkan narasumber masing-masing mantan Menteri Nergara Lingkungan Hidup, Sony Keraf, Sekjen AMAN, Abdon Nababan, Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim. Dalam konsultasi nasional juga diisi oleh materi dari AMAN, Badan Registrasi Wilayah Adat, serta Nonette Royo dari The Samdhana Institute.
Rombongan jurnalis dan media akan berangkat sore hari ini bersama panitia pelaksana dari Makassar dan Jakarta, ke Masamba. (rizal)
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Sabtu, September 17, 2011
Tidak ada komentar:
Kamis, 28 Juli 2011
Bersinergi Mengatasi Kebakaran di Makassar
JURnaL Celebes-Makassar. Kebakaran menjadi salah satu dari tiga jenis bencana yang rutin terjadi di Kota Makassar. Untuk mencari solusi masalah ini, Jaringan Masyarakat Peduli Bencana (JMPB) Makassar, Kamis (28/7/2011) mengelar diskusi mencari solusi mengatasi masalah kebakaran di Makassar. Dalam diksusi tersebut, masing-masing pihak bersepakat bersinergi untuk pencegahan bencana kebakaran di Kota Makassar.
Diskusi yang dihelat di Kantor Ombudsman Kota Makassar ini menghadirkan berbagai pihak masing-masing Dinas Kebakaran Kota Makassar, PLN Wilayah Makassar, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan, PDAM Makassar, Komite Nasional Keselamatan untuk Instalasi Listrik (Konsuil), Dinas Tata Ruang Kota Makassar. Pihak pertamina dan AKLI yang diundang, tidak sempat hadir dalam diskusi tersebut.
Dalam diskusi tersebut juga menyepakati pembentukan forum pencegahan bahaya kebakaran di Makassar terdiri atas berbagai pihak terkait. Forum ini memulai langkah awal menyosialisasikan bahaya kebakaran langsung kepada masyarakat.
Sebagai langkah awal pula, forum ini menyepakati JMPB Makassar merencanakan lagi langkah berikutnya serta persiapan dengan parapihak untuk sosialisasi.
Dalam diskusi yang berlangsung dalam suasana santai itu juga menyimpulkan bahwa selain keterbatasan sarana dan prasarana dalam penanggulangan bencana kebakaran, juga persoalan utama adalah masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat, terutama dalam memanfaatkan sarana kelistrikan atau penggunaan kompor gas. Karena itu, penyadaran masyarakat dianggap menjadi maslah paling penting yang harus dipenuhi.
Berdasarkan data dari Dinas Pemadam Kebakaran Kota Makassar, penebab kebakaran yang diduga karena arus pendek listrik makin meningkat setiap tahun.
Tahun 2008 terjadi 102 kejadian di Kota Makassar 42 persen akibat arus pendek. Tahun 2009 terjadi 102 kasus kebakaran 42 persen akibat arus pendek. Tahun 2010 terjadi 148 kasus kebakaran dengan 59 persen akibat arus pendek. Sementara tahun 2011 hingga Juli ini, sudah terjadi 67 kali kebakaran dan 75 persen akibat arus pendek, salah satunya kebakaran yang kebakaran yang menghabiskan Pasar Sentral Makassar, Juni lalu.
Menyangkut kelistrikan, pihak PLN dalam diskusi itu mengemukakan bahwa tanggungjawab PLN sampai pada meteran dan pembatas. Dengan demikian, jika terjadi kebakaran karena pelanggaran atau kelalaian pelanggan. Pihak PLN juga menyatakan selama ini jika terjadi kebakaran, PLN selalu menjadi kambing hitam, padahal kemungkinan karena kelalaian masyarakat atau pelanggan PLN. Berkaitan dengan ini, Konsuil dalam diskusi ini juga memaparkan hal-hal yang terkait dengan keamanan penggunaan listrik yang patut diketahui oleh masyarakat pelanggan konsumen listrik.
Dalam diskusi yang dipandu Asmar Exwar dari JURnaL Celebes ini juga mengemuka masalah tidak berfungsinya hidran pemadam (fire hydran) yang tersebar di Kota Makassar. Untuk masakah ini, perlu kejalasan tanggungjawab karena air untuk setiap pemadaman kebakaran dibebankan kepada air bersih dari PDAM, sementara di satu sisi, PDAM juga kadang mengalami krisis air bersih, terutama di musim kemarau.
JMPB Makassar berupakan sebuah forum yang terbentuk sejak tahun 2008 beranggotakan 16 lembaga/organisasi masyarakat sipil. Jariangan ini terbentuk sebagai salah satu output dari program aksi kolektif pengurangan risiko bencana di Sulawesi Selatan yang dilaksanakan JURnaL Celebes dan Oxfam GB. JMPB Makassar telah menyusun rencana kedaruratan (contigency plan) internal untuk bencana-bencana yang dominan terjadi di Kota Makassar. (m)
Rabu, 27 Juli 2011
RUU Pengadaan Tanah Patut Ditolak
JURnaL Celebes-Makassar. Diskusi publik tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang dilaksanakan di Makassar, Rabu (27/7/2011) merekomendasikan untuk menolak RUU ini karena akan menciptakan konflik horisontal dan merugikan masyarakat. Pengesahaan RUU ini sebaiknya ditunda, kalau tidak bisa dibatalkan.
Prof.Dr. Farida Patittingi, SH, MH, guru besar hukum agraria dari Universitas Hasanuddin menjadi pembicara pada diskusi yang digelar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ini menyatakan banyak pasal-pasal dalam RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang tidak jelas dan mengandung multiinterpretasi. Hal ini menurutnya berbahaya karena akan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan dalam mengambil tanah-tanah masyarakat atas nama kepentingan umum.
Arti kepentingan umum dalam RUU ini juga menuut Farida, tidak jelas rumusan pengertianya. Ini akan menjadi ''pasal karet'' yang akan memberi keleluasaan pemerintah untuk mengambil tanah-tanah masyarakat dengan alasan untuk kepentingan umum.
Farida menyatakan ketika pemerintah membutuhkan tanah untuk pembangunan kepentinganpublik, harus menganut prinsip keseimbangan antara kepentingan rakyat dengan pembangunan, karena hak atas tanah itu adalah hak dasar untuk hidup.
Selama ini pengambilalihan tanah masyarakat oleh pemerintah, jelas Farida, tidak menjamin
kelangsungan hidup masyarakat.
Sekretaris Jenderal KPA, Idham Arsyad, yang juga sebagai pembicara dalam diskusi ini mengemukakan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan akan menimbulkan 10 problem di antaranya berpotensi kesemena-menaan pemerintah merampas tanah rakyat. Implementasi undag-undang ini, menurut Idham, akan makin menajamkan konflik agraria termasuk konflik-konflik di masyarakat adat.
Idham menilai, dengan cepat terealisasianya RUU ini, menandakan bahwa pemerintah Indonesia terkesan disetir oleh pengusaha yang diduga mensponsori RUU ini. Pengusaha selalu beralasan kendala utama berinvestasi karena sulitnya membebaskan lahan. Padahal, sesuai data BPN, ada 7,2 juta hektar lahan ditelantarkan pengusaha.
RUU ini menurut Idham, berdalih untuk proyek kepentingan umum, padahal proyek-proyek infrastrktur ini dibiayai, dimiliki, dan dikelola swasta dan asing, seperti bendungan, jalan tol, pasar modern, yang bukan menjadi kepentingan masyarakat kecil, bahkan memiskinkan rakyat.
Sementara Kepala Badan Perancang Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulawesi Selatan, Tan Malaka Guntur sebagai narasumber diskusi itu mengemukakan Pemerintah Sulawesi Selatan bertekad menjadi daerah 10 besar dalam pelayanan hak dasar masyarakat, salah satunya adalah jaminan atas hak kepemilikan tanah bagi masyarakat. Karena itu, tidak ada alasan bagi aturan yang menghambat kepastian hak atas tanah atau merampas hak-hak tanah dari masyarakat atas nama pembangunan.
Sedangkan Indra Jaya yang mewakili Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulsel yang juga sebagai pembicara dalam diksusi yang dimoderatori Anwar, SH dari Pokja Tata Ruang ini mengemukakan hal-hal teknis tentang konflik-konflik kepemilikan tanah. Peserta diskusi mencecari berbagai pertanyaan diantaranya masalah sertifikat ganda. Tentang hal ini, peserta diskusi dari berbagai pihak tersebut meminta BPN harus mengelola data base yang baik, untuk mencegah kesalahan administrasi dalam penerbitan sertifikat.
Diskusi in juga menampilkan Andi Paulangi yang mewakili masyarakat korban konflik tanah di Pandan Raya Makassar untuk memberikan testimoni. (m)
Selasa, 19 Juli 2011
Masyarakat Adat Togian Tolak Sosialisasi Taman Nasional
JURnaL Celebes-Togian. Masyarakat adat Togian Lipu Bangkangi, Kepulauan Togian, Kabupaten Tojo Una una, Sulawesi Tengah, menolak sosialisasi penetapan zonasi Taman Nasional Kepulauan Togian (TNKT). Sardin Engke,tokoh adat Lipu Bangkangi, Senin (18/7/2011) menginformasikan, pada Minggu malam, tiga staf Balai Taman Nasional Kepulauan Togian (BTNKT) datang ke Lipu Bangkangi untuk menyosialisasikan penetapan zonasi TNKT. Namun, secara tegas, masyarakat setempat menolak sosialisasi itu atau menolak penetapan zonasi.
Kepada masyarakat, Kepala Desa Lipu Bengkangi serta tiga staf TNKT menyatakan bahwa penujukan TNKT sudah mendapat persetujuan Bupati Tojo Una Una, sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk menolak. Namun alasan tersebut tidak bisa meluluhkan sikap masyarakat. Bahkan masyarakat adat tersebut menyatakan akan terpaksa mengusir staf dari TNKT, kalau tetap ngotot untuk melakukan sosialisasi.
Melihat tanggapan masyarakat tersebut, tiga staf TNKT serta Kepala Desa kemudian tidak memaksakan melakukan sosialiasi. Pada malam itu juga, petugas TNKT kembali ke Wakai, ibukota Kecamatan Una Una.
Atas kejadian ini, beberapa tokoh adat kemudian mengubungi Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kepulauan Togian, lewat handphone, untuk meminta pendapat tentang sikap masyarakat tersebut. Pengurus Daerah AMAN Kepulauan Togian, melalui Ketua Pengurus Daerah menyampaikan kepada masyarakat adat Lipu Bangkagi bahwa keberadaan TNKT ini memunculkan keresahan dan resistensi di masyarakat adat Kepulauan Togian. Hal ini terjadi karena selain penunjukan TNKT tersebut secara sepihak tanpa mempertimbangkan hak dan akses masyarakat atas sumber daya alam. Menurut AMAN Kepulauan Togian, penetapan zonasi secara sepihak ini dikhawatirkan akan semakin mempertegas marginalisasi masyarakat adat atas wilayah-wilayah adat mereka.
Menyikapi kondisi yang terjadi di Lipu Bangkagi ini, AMAN Kepulauan Togian dalam waktu dekat akan memfasilitasi masyarakat adat Lipu Bangkagi untuk melakukan dialog dengan Bupati dan DPRD Kabupaten Tojo Una Una. Mereka meminta penjelasan mengapa penetapan TNKT justru meresahkan masyarakat adat di Kepulauan Togian. (Basir Pangewang)
Diposting oleh
Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan
di
Selasa, Juli 19, 2011
Tidak ada komentar:
Langganan:
Postingan (Atom)